Wilson Tjandinegara – Antologi Sajak Klasik Dinasti Tang

Mengapa sajak-sajak dari Tiongkok menarik? Karena kemampuannya menggambarkan berbagai kejadian secara romantis dan sederhana.

Media: Buku
Penulis: Wilson Tjandinegara
Judul: Antologi Sajak Klasik Dinasti Tang
Penerbit: Komunitas Sastra Indonesia
Tahun: 2001
Tebal: 231 halaman

“Apakah kalian khawatir pada bangsa yang mampu membuat dan menjual mesin, kain, mebel, plastik dan lain-lain dengan harga begitu murah dan kualitas sepadan? Sedangkan, mesin, kain, mebel, plastik dan barang-barang yang kalian produksi tak diminati bangsa kalian sendiri? Tentu saja kita perlu khawatir.”

”Tetapi mengapa kalian tak khawatir pada bangsa yang mampu melahirkan ribuan sastrawan dengan jutaan sajaknya? Atau, ratusan atlet dengan ribuan keping medali keunggulan? Atau, puluhan jenius dengan ratusan penemuannya? Harusnya, kalian lebih khawatir pada jiwa kalian ketimbang sekedar urusan dagang sepeser dua peser.”

Mandarin, Cina, Tiongkok atau apalah namanya, selalu menyuguhkan sisi romantisme Asia yang tak kunjung habis. Mulai dari seni kaligrafi, sajak, musik sampai cerita-cerita silat Tiongkok. Gambar di sebelah kiri atas ini adalah sampul buku antologi sajak klasik dari Dinasti Tang yang dikumpulkan dan dialihbahasa oleh Wilson Tjandinegara, pria yang giat menjadi jembatan pertukaran budaya Indonesia-Tiongkok.

Ada seratus judul sajak dari berbagai penyair di jaman Dinasti Tang (618-907M), yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan text aslinya berdamping-dampingan. Buku ini diberi pengantar oleh Abdul Hadi yang menulis beberapa data sejarah sajak-sajak di jaman Dinasti Tang.

Mengapa sajak dari Tiongkok menarik? Karena kemampuannya menggambarkan berbagai kejadian secara romantic dan sederhana. Berikut penggal awal sajak Ketika Mendengar Kabar Pasukan Kami Telah Membebaskan Henan Dan Hebei, karya Du Fu.

Di luar lintasan Jianmen Guan
tiba-tiba terdengar kabar
pasukan kami berhasil membebaskan Hebei.
ketika mendengarnya pertama kali
aku gembira hingga teteskan air mata bahagia
membasahi baju,
lantas berpaling, memandang istri
masihkan ada sisa kemurungan?
kukemasi buku-buku sajak sebisanya
luapan kegembiraan membuatkan tak tahan hingga nyaris edan.

Mengantar Orang Kembali Ke Utara Setelah Pemberontakan Ditumpas
Karya: Sikong Shu

Tahun-tahun yang morat-marit
kita ke selatan bersama,
kini negeri tenang
engkau justru kembali ke utara sendirian.
mengungsi ke kampung orang
uban telah lama tumbuh di kepala
ketika tiba di kampung halaman
mendapati yang belum berubah, hanya gugusan gunung hijau itu
subuh, bersama rembulan
melewati reruntuhan dan kubu tua
gemintang bertaburan di langit
kau menumpang tidur di Guguan yang tandus.
Oh
unggas di musim dingin
dan rumput liar kayu,
semua tempat yang dilalui
menemani rona wajahnya yang selalu murung.

Rindu Dendam
Karya: Li Bai

Perempuan selembut semolek itu
Diam-diam menggulung tirai jendela,
Duduk di situ, lama
Mengeryitkan kening.
Sekonyong tampak
Roman wajahnya dialiri air mata
Entah
Lelaki mana yang dibenci hatinya?

Pengantin Baru
Karya: Wang Jian

Hari ketiga
aku masuk dapur
mula-mula basuh tangan
lalu coba memasak sup kental
karena belum paham
selera ibu mertua,
aku persilakan ipar perempuan
mecicipi lebih dahulu

Mencari Si Pertapa Tak Ketemu
Karya: Jia Dao

Di bawah pinus tua
kutanyakan si bocah pengikut Tao,
jawabnya:
“Guru tua sedang memetik obat,
tahuku hanya
ia ada di gunung ini,
hanya awan putih bergumpal-gumpal
tak tahu guru berada di sudut mana.”

Berikut penggalan awal sajak Li Bai berjudul Minum Seorang Diri Di Bawah Rembulan

Di tengah rumpun bunga, meletakkan sekendi arak,
menuang sendiri, meneguk sendiri
tiada kawan, tiada pula orang terkasih,
kujunjung cawan setinggi-tingginya,
mengundang rembulan di langit
datang minum bersamaku,
aku pun bersama rembulan,
lalu menghadap bayanganku
begitulah kami bertiga minum.

Masih ada puluhan sajak lain yang terasa manis dibaca sekerat demi sekerat. Buku ini dibeli beberapa tahun lalu seharga Rp. 25.000, entah sekarang.

April 2009