Kegemaran Pamusuk Eneste adalah menggelambar dengan “jangan-jangan ini, jangan-jangan itu”, “seandainya begini seumpama begitu”, “mungkin anu mungkin inu”.
Penulis: Pamusuk Eneste
Judul: Tuan Gendrik
Penerbit: IndonesiaTera, Magelang
Tahun: Cetakan II, Januari 2003
Tebal: viii + 103 hal
Sepuluh cerpen Pamusuk Eneste dalam buku ini bukanlah cerpen-cerpen yang “menyenangkan” untuk dibaca, jika yang dimaksud dengan “menyenangkan” adalah setidaknya ada akhir atau tindakan yang bisa diterka sebagai sikap tokoh atau penulisnya. Hampir semua tokoh tidak menunjukkan apa-apa selain menduga-duga, bertanya-tanya. Sedangkan dugaan dan pertanyaan-pertanyaan itu boleh dibilang cukup “mengganggu”.
Masing-masing tokoh menjadi judul cerpen. Nama-nama mereka kurang menarik untuk dijadikan ide atau koleksi. Rupanya Pamusuk Eneste memang sengaja untuk mengganggu pembacanya. Anda tentu bisa merasakan beda antara menggelitik dan mengganggu bukan? Namun Pamusuk Eneste punya sedikit alibi, nyaris seluruh ceritanya berlatar belakang kota Anustadt, di negara Anuland. Tempat yang mungkin jauh di benua awang-awang, namun sial rupanya cukup dekat dengan gerbang tol Jakarta.
Ini bukan kebetulan. Pamusuk Eneste memang sedang bercerita tentang apa pergumulan yang terjadi pada beragam manusia saat dirajam persoalan. Persoalan itu terkesan absurd, mengada-ada dan ganjil. Tapi jika tidak demikian, untuk apa manusia bermasalah? Dan, tokoh-tokoh itu, meski mempunyai nama-nama yang asing, sebenarnya tidak jauh dari kita-kita juga. Maka, itu persoalan kita.
Barero. Mengapa amal baik dan kehormatan tidak mensterilkan Barero dari masalah? Jika demikian, apalah artinya pahala jika penjahat-penjahat tidak pandang bulu?
Bugatti. Mestinya kita bisa menikmati cerita ini. Namun jika anda jeli, anda akan sangat terganggu dengan berbagai kontradiksi yang disampaikan secara halus dan manipulatif oleh penulis.
Mekeba. Kadang-kadang Mekeba berpikir, alangkah sulitnya memahami kehidupan ini. Orang yang menginginkan, malahan tidak mendapat. Sebaliknya orang yang tidak mengharapkan, justru diberi. Lantas praduga Mekeba mengembara. Sampai akhir cerita, saya masih tak yakin benarkah Mekeba mempunyai suami?
Tuan Gendrik. Tuan Gendrik yang menjadi single kumpulan cerpen ini adalah pengusaha sukses, direktur perusahaan, yang di tangan Pamusuk Eneste menjelma begitu tolol bila tanpa pekerjaan, tanpa agenda, terlebih lagi tanpa sekretarisnya. Sebuah penertawaan yang menyakitkan. Tapi, bukankah ini sebuah persoalan eksistensi?
Molli. Betapa liarnya prasangka manusia saat mendapat masalah. Meski Molli hanya staf biasa, prasangkanya bisa mendakwa dan menghukum siapa saja. Untung Pamusuk segera menghentikan ceritanya sebelum Molli tak lagi bisa membedakan mana simulasi mana fakta.
Benino. Mari berandai-andai. Anda yang tak pernah ikut ronda kampung, suka membolos, membuang sampah sembarang dinobatkan menjadi warga kota teladan. Akankah anda terima penghargaan ini? Bagi istrinya, keputusan Benino untuk menerima atau tidak sangatlah penting untuk menentukan apakah ia akan keramas atau tidak esok hari. Penutup yang dahsyat!
Kitti. Ini satu cerita yang ditutup dengan sangat melegakan. Akhirnya Pamusuk Eneste iba juga melihat saya tersiksa dengan pertanyaan yang tak terjawab, dugaan yang tak berdasar, serta prasangka yang tak jua diadili. Tapi tetap saja, Pamusuk tak pernah kehabisan akal untuk menggoda kita dengan persoalan sederhana namun menjerikan.
Bruno Paparici. Bolehkah kita memuja seseorang hanya dari berita-berita koran? Sedangkan di file ingatan kita tertulis sesuatu yang nyata terhadap orang tersebut. Apakah pahlawan adalah sebuah permainan persepsi dan pencitraan? Bagaimana kita kelak mempertanggungjawabkannya pada semesta?
Harlem. Satu perbuatan yang seolah kebetulan, begitu saja, bahkan tak lebih dari sambil lalu, bisa jadi hantu seumur hidup.
Ponderos. Dengan cerita yang gesit, kita berharap segera menemukan jawaban atas kerumitan Ponderos. Tapi, sebagaimana kita kenal di kumpulan cerpen ini, Pamusuk Eneste sangat pelit memberikan latar belakang dan alasan-alasan. Bahkan Marsose tampak seperti orang yang tak mempunyai kemampuan diagnostik sedikit pun, selain kemudian melontarkan persoalannya pada sidang pembaca.
Kegemaran Pamusuk Eneste adalah menggelambar dengan “jangan-jangan ini, jangan-jangan itu”, “seandainya begini seumpama begitu”, “mungkin anu mungkin inu”. Sesaat Pamusuk Eneste menjadi pengarang yang menyebalkan dengan sama sekali tak berkompromi memberikan petunjuk-petunjuk. Sesaat yang lain seolah menjadi dosen filsafat dan etika dengan pekerjaan rumah yang tak berkesudahan. Tentu bukan tugas kita untuk menjawab semua itu, sebagaimana Pamusuk Eneste tak merasa bertanggung jawab menuntaskan ceritanya. Setidaknya kita diajak untuk mempertanyakan kembali apakah kita telah cukup tajam melihat persoalan kehidupan kita dan mempunyai landasan yang kokoh untuk dipijak.
Bagaimana pun bentuk dan tema cerpen-cerpen Pamusuk Eneste dalam “Tuan Gendrik” patut diapresiasi sebagai khazanah cerpen Indonesia. Tidak banyak yang melakukan selain Pamusuk Eneste.
Oktober 2010