Akuntan Takkan Bisa Jadi Presdir

“Tidak ada akuntan yang bisa jadi presdir. Kalian tahu, kenapa?” Oom Gatut berbicara berapi-api. “Akuntan tidak diajarkan menjadi pengambil keputusan…!!!”

Meski anda mungkin bukan seorang akuntan, ada baiknya menyimak obrolan para sarjana akuntansi di sebuah sesi reuni berikut ini. Siapa tahu nasib yang dialami para akuntan ini menimpa anda juga.

Setelah lebih dari sepuluh tahun tidak bertemu, akhirnya Oom Ale bisa reuni dengan teman-teman kuliah di jurusan akuntansi. Kami menyandang gelar sarjana ekonomi akuntan, disingkat SE. Ak. Keren kan? Kata orang awam, para akuntan banyak dibutuhkan perusahaan-perusahaan. Gampang dapat kerja. Konon pula, gaji akuntan lebih tinggi dibanding staf lain. Karirnya pun lebih melejit.

Ini semua tak lepas dari pentingnya peran akuntan dalam sebuah perusahaan. Apa sih peran seorang akuntan dalam perusahaan, sampai-sampai profesi ini diminati banyak orang?

Ketika kuliah dulu, para dosen bilang, akuntan sangat penting bagi perusahaan karena bertugas melakukan pencatatan dan pelaporan keuangan. Apakah itu berarti akuntan adalah tukang catat dan tukang lapor doang? Tentu tidak…!! Peran yang lebih utama adalah melakukan analisa keuangan perusahaan.

Analisa ini penting supaya direksi bisa menjalankan perusahaan dengan lebih baik, dapat untung besar, harga saham bagus, likuiditas moncer sehingga menarik minat para investor. Dalam bahasa kerennya, role of accountants is to support top management in decision making.

Tanpa kerja akuntan, para direksi, komisaris, general manajer sampai manajer hanya bisa termangu-mangu di ruang rapat tak tahu harus berbuat apa. Bila akuntan absen kerja, maka petinggi-petinggi perusahaan bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Bingung mau berbuat apa. Hebat bukan?

Jelas hebat! Coba lihat teman-teman Oom Ale ini. Oom Gatut adalah manajer keuangan di pabrik kecap terlaris di negeri ini. Oom Dhegog menjabat sebagai manajer keuangan di pabrik sandal multinasional. Yang paling mengagumkan adalah Oom Beckam, senior manager di sebuah grup perusahaan besar yang menguasai beribu-ribu hektar lahan hutan produksi. Kata Oom Beckam, dengan ilmu akuntansinya beliau telah terlibat di berbagai transaksi penting. Mulai dari masalah hutang piutang sampai jual beli perusahaan. Ck ck ck… kami semua bertepuk tangan buat Oom Beckam. Sedangkan Oom Ale sendiri, bertitel manajer administrasi di sebuah pabrik jamu. Lumayan lah buat bergaya.

Berkat kuliah di akuntansi kami dipandang sebagai aset berharga oleh perusahaan. Maka, acara reuni di sebuah restoran ala Jepang itu pun berlangsung gayeng dan meriah. Dipenuhi wajah-wajah cerah, percaya diri dan penuh kebanggaan. Hidup akuntansi…!!!

“Tapi… jangan keburu over-confident,” celetuk Oom Gatut. “Pengalamanku mengatakan, paling tinggi akuntan cuma bisa menjabat jadi manajer. Akuntan tidak bakal bisa jadi presdir atau dirut atau CEO. Akuntan tidak akan bisa jadi pemimpin perusahaan.”

Kami mengernyitkan dahi. Kami pikir Oom Gatut sudah kebanyakan minum alkohol.

“Coba lihat, siapa yang menjadi presiden direktur di perusahaan kita masing-masing. Adakah yang bergelar sarjana akuntansi? Presiden direkturku bukan seorang akuntan. Dia insinyur kimia. Sebelum jadi presdir, dia direktur sales,” Oom Gatut berdiri dan menebar telunjuknya ke hidung kami masing-masing.

Mungkin Oom Gatut benar juga. Presdir di perusahaan Oom Ale bekerja adalah seorang dokter yang berkarir di bagian marketing. “CEO-ku insinyur teknik, ahli quality,” kata Oom Beckam. “Big bosku lulusan manajemen, tapi sebelumnya lebih banyak mengurus planning dan logistik,” timpal Oom Dhegog.

“Nah, betul kan? Tidak ada akuntan yang bisa jadi presdir. Kalian tahu, kenapa akuntan tidak akan bisa jadi presdir?” Oom Gatut berbicara berapi-api. Kami diam saja, menunggu pidato selanjutnya.

“Karena akuntan tidak dididik mempunyai karakter sebagai pemimpin tertinggi perusahaan. Semua buku diktat dan dosen akuntansi kita yang pintar-pintar itu hanya mengajarkan mental buruh pada mahasiswa akuntansi. Bukan mental seorang presiden direktur!” Oom Gatut semakin lantang.

“Selama kuliah kita diajarkan tentang peran akuntan di perusahaan, yaitu memberikan support bagi top manajemen untuk mengambil keputusan. Hanya support! Kita tidak diajarkan untuk menjadi pengambil keputusan itu sendiri. Jangan heran jika tidak ada akuntan yang jadi presdir. Seorang presdir harus bermental pemimpin, bukan bermental supporter alias pembantu.”

Wah… sepertinya apa yang diteriakkan Oom Gatut tidak terlalu salah. Pekerjaan rutin Oom Ale di kantor adalah memeriksa, mencatat transaksi, membuat laporan keuangan, menganalisa lalu menyajikannya pada Pak Bos. Setelah mempelajari dan mengutak-utik laporan, Pak Bos mengambil keputusan ini dan itu. Oom Ale sama sekali tidak pernah membuat keputusan. Oom Ale hanya membuat laporan. Kalau dipikir-pikir tidak ada bedanya dengan tugas Mbak Ulfa, bagian pantry yang setiap pagi membuat kopi. Sebagai akuntan, Oom Ale hanya jadi pembantu Pak Bos dalam memanajemeni pabrik.

“Hipotesamu salah Oom,” bantah Om Ale. “Ada anak perusahaan jamu tempat aku kerja yang dipimpin oleh seorang akuntan. Sebelumnya dia adalah direktur keuangan.”

“Kalau ada akuntan yang bisa menjadi presdir, aku yakin dikarenakan selama ini dia bekerja bukan semata-mata sebagai akuntan yang bertugas membuat laporan, melainkan bekerja selayaknya sebagai seorang pemimpin perusahaan yang berani mengambil keputusan. Mental akuntan hanya membuat laporan. Sedangkan mental presdir memakai laporan untuk menjalankan bisnis. Dua hal ini berbeda jauh. Jadi, selama akuntan hanya sebagai pembantu, maka dia tetap akan jadi pembantu, bukan bos perusahaan! Titik!” pidato Oom Gatut begitu menggelegar.

Kami terdiam. Sesaat luruhlah semua kebanggaan yang baru saja kami besar-besarkan.

“Tapi… jangan berkecil hati,” kata Oom Gatut tenang. “Bagaimana pun aku terima nasibku sebagai seorang akuntan, pembantu manajemen, dengan ikhlas. Pidatoku tadi hanya berlaku untuk para akuntan yang berambisi ingin menjadi presdir: bekerjalah kalian sebagaimana presdir bekerja. Jangan cuma bisa membuat laporan, tetapi seharusnya juga bisa memberikan keputusan.”

Kami tersenyum mendengar pidato penutup dari Oom Gatut. “Yaahh, aku juga tidak bermimpi jadi CEO kok,” ujar Oom Ale lirih yang disambut anggukan oleh Oom Dhegog, juga Oom Beckam. “Kalau begitu,” suara Oom Gatut kembali lantang. “Mari kita toast untuk merayakan kesadaran akan nasib kita sebagai seorang pembantu di perusahaan. Hidup akuntan! Hidup pembantu! Hidup akuntan! Hidup pembantu! Kampai…!!”

***

Pesan buat para dosen di almamater tempat Oom Ale dulu kuliah, “Sebaiknya mahasiswa akuntansi diajari juga ilmu tentang bisnis agar sarjana akuntan tidak melulu jadi pembantu, melainkan bisa jadi pemimpin bisnis. Juga jangan lupa diajari humaniora, supaya akuntan bisa jadi a person, not just an accountant.”

2 Mar 2009