Pria yang tak mempunyai kenangan tentang wanita, tak punya masa lalu. Ia telah hidup sia-sia. Apa pun sejarah yang terukir, tak ada kehidupan terbaik tanpa wanita.
Penulis: Bre Redana
Judul: Rex
Penerbit: Penerbit Nalar, Jakarta
Tahun: Cetakan I, Mei 2008
Tebal: vi + 145 hal
Apalah arti masa lalu? Bagi Bre Redana itu berarti banyak. Tak seorang pun hidup tanpa kenangan. Sebagaimana harusnya, kenangan adalah untuk dikenang. Ia memang tidak ada. Ia hanya ada dalam pikiran. Ia fiksi. Ia angin di telapak tangan. Tapi kenangan, serapuh apa pun itu, memberikan kekuatan. Ia menyadarkan bahwa kita telah eksis dan seyogyanya masih ada saat ini.
Untuk membangkitkan kenangan, Bre membutuhkan simpul-simpul. Beberapa simpul itu adalah sesuatu yang klasik: bioskop! Bukan sekedar bioskop, melainkan sebuah bangunan tua dengan film-film lawas dan loket karcis yang semua itu nyaris hanya ada dalam ingatan orang-orang seusia Bre (dan saya!).
Kereta api dan stasiun adalah menu wajib, selain pemandangan di balik jendela gerbong. Sekaleng atau sebotol bir juga obyek “meditasi” yang baik. Ia biasanya bergandengan dengan hasrat dan gairah.
Di atas semua itu, wanita adalah simpul kenangan terbaik.
Pria yang tak mempunyai kenangan tentang wanita, tak punya masa lalu. Ia telah hidup sia-sia. Apa pun sejarah yang terukir, entah pergaulan liar, romansa anggun atau mungkin sekedar khayalan yang menyedihkan, tak ada kehidupan terbaik tanpa wanita. Kumpulan cerpen ini tentang kenangan, ingatan, memori (apa pun istilahnya) dan wanita.
REX. Paradoks gagap peradaban dalam skala mikro. Bre, lajang asal kota kecil di Jawa Tengah, tercebur dalam keleluasan libido ibukota ditunggu cintanya oleh Donna, perempuan keturunan Indo. Kesetiaan hanya ada di masa lalu yang perlu diruntuhkan sebagaimana Rex, bioskop tua, yang harus diganti dengan mall, tempat manusia modern mencari jati dirinya. Tapi, mengapa Bre harus menangis?
Stella Artois. Belgium pilsner yang kadar alkoholnya hanya 5% ini ternyata memberi efek yang cukup kurang ajar bagi Bre. Pertama, soal makna hidup boleh berubah, tapi soal seks tidak ada yang perlu ditunda-tunda. Ke dua, apa pun yang diawali dengan minuman ini, akan berujung di ranjang. Ke tiga, selalu ada semacam matrix, apakah ini nyata atau sekedar lanturan ala Stella Artois.
Pramex. Kerinduan kaum urban pada stasiun tua, ladang tebu, sawah jagung dan percintaan agung, di sela-sela gaya hidup khas kota besar: kulit putih yang terawat, cutex merah dan tentu saja rajukan-rajukan seduktif. Selain merindukan bioskop, rupanya Bre punya banyak kenangan pada stasiun
Misteri Borobudur. Lanturan Bre semakin menjadi-jadi. Mungkinkah itu semacam imajinasi seksual mutakhir (yang tak mengenal apa itu modernisme atau postmodernisme). Bagaimana jika seorang perempuan bule Amerika mengajak bercinta seorang tukang becak di seputaran Borobudur (pilihan lokasi yang membuat geregetan)?
Teman Dekat. Di Plaza Senayan, Juni 2006, Bre menemukan kesadaran baru. Jangan-jangan wanita ibukota ini hanya sekedar menggoda, menikmati rayuan dan tatapan liar para lelaki yang terlalu melambungkan hasrat bercintanya. Pesannya: wahai lelaki bodoh berhentilah melata dan mulailah berjalan dengan harga diri.
Kota Yang Menyenangkan (Rahasia Putri Kukis). Bre sendiri mengakui, cerita ini agak dekaden. Tapi bukankah begitu skenario hidup. Ada masa-masa begitu banal. Lalu pada ujung mendekati akhir kita perlahan berhenti, dan membiarkannya jadi cerita butut hanya bagi diri sendiri, tentu saja.
Dan Daun-Daun Berterbangan. Bre pun menjadi melankolis saat bertemu senja. Ia melayang singgah pada tempat-tempat yang eksotis untuk ditulis dalam sebuah cerpen dan bertemu wanita segar yang membangunkan ribuan inspirasi. Tapi Bre pun sadar, senja datang setiap hari, sedangkan wanita itu, jangan-jangan tidak nyata. Betapa rumitnya menjadi romantis di kota besar.
Somerset. Mohon maaf sebelumnya, entah mengapa membaca cerpen ini saya teringat pada cerpen-cerpen percintaan mutakhir nan elegan dari Bondan Winarno. Tentu saja tidak sama. Percintaan bagi Bre adalah rekonstruksi dari masa lalu.
Midnight Express. Sebuah kisah klise dan beberapa metafora. Tentang perempuan dari tepian hutan yang diboyong oleh pangeran malam ke ibukota menjadi bintang selebritas. Ya, dugaan anda benar, kini sang bintang hidup dalam penantian hampa.
Indrakila. Ini adalah cerpen favorit saya. Bre dengan baik bercerita bagaimana waktu dan angan-angan mempermainkan kita, dalam sosok seorang pensiunan jurnalis. Agaknya hidup telah habis terhisap oleh kesibukan masa muda. Ketika saat purna itu tiba, yang tersisa adalah ingatan terbaik dari masa lalu yang justru selama ini terkubur dalam paya-paya metropolitan.
Ciawi Junction. Banyak orang hidup dalam kenangan, atau, adakah seseorang yang hidup tanpa kenangan? Lagi-lagi, bioskop menjadi simpul pancang bagi Bre untuk mereka-ulang kenangan-kenangannya. Tanpa gedung bioskop apalah artinya kota ini? Apalah artinya kita?
Mbak. Saya tersenyum membaca cerpen ini. Apakah ini obsesi Bre, atau semoga hanya sekedar imajinasi sehat seorang cerpenis? Benarkah cerpenis suka membawa wanita ke tempat tidur, membiarkannya telanjang di lembar-lembar tulisannya?
Wanita Dari Balik Kabut. Rasanya Bre tidak banyak menggunakan alam sebagai obyek. Kali ini tentang kabut. Bre menebak-nebak sembari membiarkan bulu kuduk berdiri, apa yang datang dari balik kabut. Sebagaimana yang selalu ada di setiap cerpennya, yang datang itu adalah seorang wanita.
Ing Ratri. Kumpulan cerpen ini ditutup dengan cerita yang manis. Sebuah reuni di misa pernikahan menjelang malam natal. Lagi-lagi Bre bersama masa lalu yang begitu rapuh, namun selalu menguatkan saat kita mengingatnya lagi.
Cerpen-cerpen Bre tak lepas dari liputan kehidupan kaum urban (baca: kaum kota kecil yang berpindah ke ibukota). Bre tahu apa yang dirindukan, dimistifikasi dan diangankan mereka. Jika dulu bioskop dianggap sebagai simbol sebuah kota, dalam cerpen-cerpen Bre bangunan itu perlahan dirubuhkan untuk diganti dengan mall. Sebelum mall-mall itu berdiri, Bre ingin membangunkan ingatan kita bahwa di sana, di bioskop tua itu, pernah terjadi berjuta kenangan.
Sebuah alarm bagi pelajaran ilmu sosial budaya. Kita perlu menemukan hal-hal serupa yang mulai terkikis, yang membawa kita berpindah identitas dari kota kecil menjadi penduduk metropolitan. Ya, Bre tidak menulis tentang desa, tetapi kota kecil.
Mengenai bauran realitas dan fiksi, masa lalu dan kini, tentu saja diperlukan untuk mengkonfirmasi apa itu kenangan.
September 2010