Nugroho Suksmanto – Anak Mencari Tuhan

Puisi-puisi Nugroho Suksmanto jelas, kontan, apa adanya. Blak-blakan. Tidak memelintir dengan bunga-bunga kata. Tidak menebarkan pukau filsafat.

Penulis: Nugroho Suksmanto
Judul: Anak Mencari Tuhan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun: Cetakan I, Mei 2010
Tebal: vii + 87 hal

Di esai pengantarnya Putu Wijaya sudah menulis semuanya tentang puisi-puisi Nugroho Suksmanto “Anak Mencari Tuhan”. Tidak banyak yang tersisa. Dan tentu saja, jitu. Saya hanya bisa mengiyakan.

Singkatnya, “Beginilah,” kata Putu Wijaya, “Puisi-puisi Nugroho Suksmanto jelas, kontan, apa adanya. Blak-blakan. Tidak memelintir dengan bunga-bunga kata. Tidak menebarkan pukau filsafat. Tidak menembak gagasan besar yang spektakuler. Semuanya sederhana, gamblang, nakal, tapi cerdas. Pilihan kata dan rangkaian kalimatnya gampang. Tidak seram, tidak misterius, tidak gelap, tidak garang, tetapi menyengat. Ada kenakalan tetapi bukan kekurangajaran untuk menarik perhatian. Ada kepalan-kepalan yang ditonjokkan, tetapi bukan kebencian. Kumpulan sajak ini adalah teror mental. Ia tidak sekedar mengganggu, tetapi melontarkan renungan dan pikiran-pikiran. Ajakan merenung yang pintar.”

Sajak-sajak dalam buku ini adalah hasil pengamatan Nugroho Suksmanto terhadap hubungan-hubungannya dengan berbagai hal. Bab pertama, adalah perihal hubungan sang penyair dengan Tuhannya. Tanpa basa-basi Nugroho melindas banyak hal, utamanya otoritas penafsiran tentang Tuhan.

; mencari Tuhan (1)

Tuhan, mengapa Engkau sembunyi
Di tempat yang sulit kutemukan
Keluarlah menampakkan diri
Atau katakan saja sebenarnya Kau Tak ada
Hingga guru mengajiku tak lagi mencari
Mencari dengan kitab suci dan kedalaman hati

Nugroho menonjok kemunafikan perilaku yang bersembunyi di balik tata santun dalil-dalil agama. Jelas dari ide siapa sajak ini berasal. Di bagian akhir, Nughoro melontarkan tinjunya. 1:0 buat Nugroho.

; lagu pencari “Madu”

Bangunlah pagi gosoklah gigi
Ambillah wudlu sholatlah dulu

Jagalah hati slalu teruji
Jagalah kalbu jauhkan nafsu

Berpoligami ku tak mengerti
Yang aku tahu mencari “Madu”

; “Bila seperti itu
Akan kutonjok Bapakku!
Tapi jangan ah, nanti malah Ibu diceraikan
Tapi kalau dapat separo dari 14 triliun
Boleh juga!
Daripada digilir seperti selir?!”

Tetapi Nugroho tidak berhati batu sebagaimana yang kita duga. Ia bisa dengan mudah melembut. Ia menjadi syahdu bukan karena keindahan kalimat-kalimat kutbah, melainkan kejadian nyata. Tuhan tidak ada dalam kata-kata, Ia ada di airmata.

; doa dari Pelupuk Mata

Adik, tangismu jangan kautahan
Simaklah kata mereka
yang berguru dari kesempurnaan alam;
“Jiwa takkan berhias pelangi, manakala mata tak mampu berkaca-kaca.”
Kucurkan air matamu
Biar rumah kita berhias pelangi
Bias jiwamu kan menjadi bianglala
Menutup kabut yang dapat bergantian
Dan saat Tuhan mendengar
lalu menyaksikan
dari pelupuk matamu mengalir doa
pasti kemudian …
tak hanya mengusap dengan sapuan tangan

Bab berikut dalam buku ini adalah puisi-puisi kritik sosial. Karena Nugroho tidak suka bertedeng-aling-aling, kita dengan mudah melihat siapa-siapa yang menjadi sasaran serapahnya. Puisi-puisinya baik juga dibacakan di depan Istana atau gedung Dewan.

; hati Presiden

Presiden,
Mengapa hatimu kecil
Padahal badanmu besar
Mengapa kau tak seperti
Presiden yang berbadan kecil
Tetapi berhati besar ;
Menggunakan technologie tinggi
Menjelajah dirgantara
Melepas “jajahan” jadi merdeka

Lagi-lagi Nugroho membuldozer ketidak-cocokan antara ajaran kesantunan beragama dengan keberingasan saat berteriak atas nama membela agama.

; di China dan di kita

Di China
Bebas tak beragama
Orang-orangnya santun
Saat menentang Agama

Di Kita
Agama sedikitnya lima
Orang-orangnya beringas
Saat membela agama

Di China
Pemimpinnya keji
Saat memberantas korupsi
Tak segan menembak mati

Di Kita
Para pemimpin baik hati
Berderma dari hasil korupsi
Pergi haji berkali-kali

Coba simak sajak ; bukan Pembunuh bukan Penculik dan ; para Pesolek Muka. Meski Nugroho tidak menyebut satu nama pun, namun dengan mudah kita terkekeh dan terang siapa orang yang dimaki dan diludahi Nugroho di sini.

; bukan Pembunuh, bukan Penculik

Aku bukan pembunuh
Hanya pencabut nyawa
Membunuh itu pekerjaan tentara
Sedang aku menjalankan tugas
Negara
Seperti malaikat, mengabdi Yang Maha Kuasa
Aku bukan penculik
Tugasku sebagai penyelidik
Demi keamanan dan ketertiban publik
Agar demonstran berkelakuan baik
Dan bila makar akan kucekik
Mengapa kalian cemburu
Kalau aku ikut pemilu
Menjadi kandidat baru
Dari pada yang itu-itu
Uasu!

Di bab ke tiga Nugroho menuliskan hubungannya dengan keluarga. Semula saya mengira Nugroho menulis tentang apa yang terjadi antara ia dengan keluargnya sendiri. Ternyata Nugroho menulis kritik sosial kehidupan berkeluarga Indonesia yang modern dan gelisah.

; mengeluh kepada kakek (1)

Kek,
Ibu menangis
Semalaman
Karena Bapak bilang
Ingin kawin lagi

Kek,
Aku tak dapat mengeluh pada Tuhan
Karena, katanya Dia mengizinkan

Nugroho menangkap banyak kegetiran sekaligus kesyahduan dalam kehidupan sosial kita. Ia menulis betapa lebih berbahagia anak-anak kampung yang bermain air banjir Jakarta ketimbang anak orang kaya yang berenang sendirian di kolam renang rumahnya (; duka anak orang kaya). Nugroho menghela nafas, ketika memahami bahwa hukum agama memberikan warisan bagi si adik dan tidak bagi sang kakak yang lahir di luar nikah (; kakak).

Puisi-puisi kegeraman dan kegelisahan Nughoro berakhir di bab alam dan kehidupan. Di sini Nugroho bebas berkelok-kelok menghujamkan seruannya. Ia menulis pengamatannya pada gerimis, elang, tanah, langit, anak-anak. Bahkan suara tokek pun bisa jadi bahan kontemplasi dalam.

; menebak senandung tokek

Tokek
Bersenandunglah dalam bilangan ganjil
Hingga saat tebakan kuawali dengan “kaya” tidak jatuh “miskin”
Tetapi aku sadar
Suatu ketika pasti pasti bilanganmu genap
Hingga saat tebakan kuawali dengan “hidup”,
Akan berakhir dengan “mati”

Pengamat selalu keras memprotes, namun selalu bisa lembut bersenandung. Saya senang menemukan puisi ; anak-anak dan kehidupan.

; anak-anak dan kehidupan

Bagi anak-anak
Kehidupan adalah;
Adzan pada waktu subuh
Lonceng di menara teduh
Sesaji di pintu candi
Layang-layang terbang
Dan
Kerlip kunang-kunang

Dan hiburan terbaik saya ada di puisi pamungkas buku ini. Darimana Nugroho Suksmanto menemukan kegairahannya menulis puisi.

; wajah Sastra terkini

Tak muncul Wiji Tukul
Tak lahir orasi Munir
Tak terdengar resah Marsinah

Yang hadir penyair langganan
Tampil elite di koran Kompas
Menyingkirkan karya-karya “picisan”

Ini buku puisi yang straight forward. Saya suka dengan gaya Nugroho Suksmanto yang langsung. Yang menyentil kemana-mana. Bukti ia bukan sekedar pengusaha yang akrab dengan topi golf berbordir logo Callaway FT-3, melainkan mempunyai kepekaan sosial yang tinggi. Ia sastrawan dalam bentuknya sendiri. Ia tak malu untuk menulis kata-kata sederhana namun cespleng. Untuk itu saya sampaikan tabik untuk Nughoro Suksmanto.

Agustus 2010