Visi, Bukan Untuk Dicapai

Bekerja di perusahaan yang mempunyai visi besar meski absurd dan tak logis, tetap lebih baik ketimbang di perusahaan yang tak punya angan-angan apa pun.

Mari bicara tentang manajemen dan visinya.

+ Menurut Oom Ale, untuk tujuan apa manajemen menyatakan visinya?

– Pernyataan visi manajemen haruslah didasari maksud-maksud yang jelas. Bukan cuma mau ikut-ikutan supaya terlihat keren di mata perusahaan lain. Atau gagah-gagahan di depan karyawan. Atau sekedar mengikuti apa kata konsultan manajemen. Bukan pula sebagai buzzword yang populer sesaat.

+ Jadi untuk apa?

– Karena visi adalah komitmen, maka semestinya visi adalah untuk dicapai!

+ Kok semestinya? Memangnya ada yang tidak semestinya?

– Nah itu dia. Menariknya, ternyata ada manajemen yang menuliskan visinya justru bukan untuk dicapai.

+ Kok begitu?

– Misal: ada perusahaan yang dalam visinya ingin menjadi perusahaan the best in the world, terbaik sejagat, tapi mereka sendiri tidak tahu apa yang dimaksud dengan being the best. Mungkin ada perusahaan yang mengartikan being the best adalah being the bigest sales atau the bigest bottom line. Sedangkan bagi perusahaan lain, the best adalah the best in profitability, stock price atau market share.

+ Apakah menurut Oom Ale, manajemen tidak boleh punya visi menjadi the best?

– Boleh-boleh saja. Namun perlu diingat, istilah the best bukanlah sebuah posisi tanpa ukuran. Justru sarat dengan batasan. Dan, batasan yang paling mutlak adalah faktor waktu. Jika manajemen menyatakan mereka ingin menjadi yang the best, tetapi tidak tahu ukurannya, tidak menyadari keterbatasannya, maka itu sama saja tidak rasional. Kalau tidak rasional, namanya absurd. Kalau visinya saja absurd, maka bagaimana manajemen bisa mencapainya.

+ Bukankah, dalam buku-buku manajemen ditulis bahwa visi adalah mimpi, dream, yang ingin dicapai.

– Itu mengajarkan sekaligus mengakui bahwa dalam menentukan tujuan, manusia dan manajemen tidak selalu rasional. Artinya, visi boleh tidak rasional. Ngaco silakan. Ngawur juga monggo.

+ Lantas kenapa manajemen tetap menuliskan visinya, meski tahu itu tidak akan tercapai?

– Memang bukan untuk dicapai, tetapi untuk diperjuangkan. Seringkali visi, bagi manajemen, bukanlah tujuan yang mungkin tercapai, melainkan wahana perjuangan sehari-hari. Banyak manusia senang dengan iming-iming impian meski mereka tahu tidak mudah bahkan muskil mewujudkannya, tapi toh tetap diangankan sebagai penggerak semangat. Sangat penting bagi kebanyakan manusia untuk being somebody great or attached to something great. Maka dari itu bekerja dalam lingkungan manajemen yang mempunyai visi besar meski absurd dan tak logis, tetap lebih baik ketimbang dalam lingkungan manajemen yang tak punya angan-angan apa pun. Setidaknya mereka punya satu alasan, satu tujuan, untuk tetap bertahan. Tanpa itu, kebanyakan dari kita bakal limbung. Oleh karena itu, visi sebenarnya lebih merupakan permainan mental, temuan psikologi manajemen yang cukup cerdik untuk mengobati kerasnya kehidupan kerja.

+ Tapi itu berarti visi bisa dicapai kan?

– Dalam pertempuran yang lama dan melelahkan, seorang jenderal pun perlu memberikan kemenangan. Dalam jangka pendek, visi sangat perlu untuk bisa dicapai agar manajemen bisa merayakan keberhasilan demi keberhasilan. Tetapi, untuk sebuah impian yang jauh di sana, tampaknya kebanyakan orang lebih menyukai hal yang nyaris tak tercapai. Kalau toh titik itu akan kita raih, maka manajemen perlu membuat jarak lebih lebar lagi. Bukankah ini sebuah game of mind yang menarik, jika kita menyadarinya?

***

+ Oom, sebagai blogger, aku punya visi: to be the greatest blogger in human history. Ukurannya: setiap pagi blogku dibaca oleh semua orang di muka bumi ini.

– Wow! Visi yang super keren, sekaligus tanda-tanda sindrom megalomania.

23 Feb 2009