Sitor Situmorang adalah penyair yang memiliki nyawa rangkap. Buku kumpulan puisi ini adalah buktinya. Ini adalah kumpulan puisi yang belum pernah dikumpulkan. Dan, kita tak yakin semunya telah terkumpul.
Media: Buku
Penulis: Sitor Situmorang
Judul: Biksu Tak Berjubah
Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta
Tahun: 2004
Tebal: xvii + 157 halaman
Editor: J.J. Rizal
“Anugerah, ya anugerah. Umur panjang adalah anugerah. Mencipta sajak juga sebuah anugerah. Seorang penyair renta yang terus berdaya menulis sajak-sajak setidaknya dianugerahi kebaikan hati semesta yang tak terkira.”
“Mestinya kebaikan hati semesta ini tidak turun tiba-tiba, begitu saja. Bisa jadi ia merupakan pembalasan manis atas berbagai ‘dosa dan pahala’ yang selama ini diperbuat. Maka, tak ada yang lebih mewah ketika hidup jadi sesuatu yang terus dijalani, dan dirayakan.”
2 Oktober 2005, genap Sitor Situmorang berusia 81 tahun. Tahun lalu, ketika usianya genap 80 tahun, hari kelahirannya dirayakan oleh Komunitas Bambu dengan menerbitkan sebuah buku kumpulan puisinya. Bukan sebuah kumpulan puisi terpilih, atau edisi “the best of”, melainkan kumpulan puisi yang selama ini tercecer dan tak terbukukan. Padahal Sitor Situmorang termasuk penyair Indonesia yang subur. Buku kumpulan puisinya sudah mencapai sepuluhan judul. Namun, rupanya ia masih menyimpan nafas ke sembilan. Biksu Tak Berjubah adalah kumpulan puisi yang lebih merupakan dokumentasi dan bukti dedikasi Sitor Situmorang. Tak pelak lagi, inilah perayaan yang pantas untuk Sitor.
Buku ini memuat puisi dari era perjoeangan, Ratap Biola (1948) sampai era digital Riak Syair Perahu (2004), yang dikumpulkan dari berbagai majalah, koran, buku, arsip HB Jassin, sampai koleksi pribadi Sitor. Suatu pekerjaan yang tak mudah dan melelahkan bagi tim editor yang diketuai J.J.Rizal. Karena itu, J.J.Rizal dalam catatannya menyampaikan beberapa hal yang lebih merupakan pembelaan bagi Sitor. Misal: Sitor bukanlah penyair yang terasing dari dunianya. Di era perjoeangan awal kemerdekaan, Sitor pun menulis puisi-puisi perjoeangan, “Ke Yogya” dan “In Memoriam”. Ketika negara sibuk dengan revolusi politik, Sitor merevolusi seorang diri.
Terlepas dari semua itu, perjalanan hidup Sitor Situmorang sungguh menarik dan luar biasa kaya. Ia seorang penyair angkatan 45 yang pernah jadi wartawan, aktivis politik, dipenjara selama delapan tahun oleh Orde Baru sampai kemudian menikah dua kali, yang terakhir dengan seorang diplomat yang memungkinkannya berkeliling dunia. Sebuah hidup yang penuh riuh rendah yang menarik dirayakan.
Ada banyak puisi yang menarik dalam buku ini. Misal: Silence et Solitude (1953), Asap Di Sawah Tanda Hidup (1956), Sandi Digital (2002), dan banyak lagi.
Silence et Solitude
Untuk Tiene Woworuntu
Rivai Apin
Sepi
Sepi kebun
Di belakang
Rumah
Anggrek
di dinding tua
Takkan berbuah
Sepi kami
Kawat
Di langit senja
Sepi
Sepi kebun
Di belakang
Rumah
di balik kota
Sepi kami
Retak kaca jendela
Kilasan hari di ujung rasa
Pisau bermata dua
(Asap di sawah tanda hidup)
Asap di sawah tanda hidup
orang membakar jerami panen lalu
jadi pupuk di musim baru
Sandi Digital
Suaranya bening
gairah rindu
membaca sajak
lewat telpon
pesan lugu
sekaligus tertutup
dalam sandi semiotika
melulurkan batas
antara Penanda
dan yang Ditandai
hanyut banjir
metabahasa tanpa kata
ingin berita
sepatah
sepatah kata saja
Di akhir catatan, editor masih belum yakin bahwa penerbitan buku ini sudah melengkapi semua puisi Sitor yang tercecer. Mungkin masih ada nafas ke sepuluh? Bagaimana pun, jika Sitor masih menulis satu puisi saja di usia senjanya, itu benar-benar anugerah yang tak terkira.
Februari 2009