Kemenangan Pandawa tidak menuntaskan semua hal. Meski Mahabharata telah ditamatkan ribuan tahun lampau, pertempuran tak jua meredup.
Penulis: Triyanto Triwikromo
Judul: Pertempuran Rahasia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun: Cetakan I, Mei 2010
Tebal: vi + 98 hal
Apa yang tersisa dari perang besar keluarga Bharata? Dalam Mahabharata versi sederhana, tokoh hitam dan putih diwakili oleh dua silsilah yang jelas: Kurawa dan Pandawa. Bharatayuddha adalah perang untuk menuntaskan ajaran bahwa Pandawa, yang dicintai dewa-dewa, akan menang atas para durjana, Kurawa. Kebenaran pada akhirnya ditegakkan. Penonton bertepuk tangan. Sang dalang pun senang.
Tapi, perlukah kebenaran memangsa begitu banyak korban? Dalam dunia yang penuh dengan motif dan alasan, bagaimana kita bisa membedakan kebenaran dan pembenaran?
Sepanjang Masa Kesedihan Arjuna
// Kaubilang aku akan mencapai kesempurnaan jika aku tak takut bertempur dengan siapa pun. Adakah yang lebih bohong dari sabda yang kau bisikkan dengan takabur itu? Kau bilang setiap pertempuranku akan kauberkati selalu. Adakah yang lebih dusta dari sutra yang kaudesiskan di telinga yang sudah kutulikan sejak kereta klita menembus kepulan debu?
Apakah perang-perangmu juga untuk kesempurnaanmu, ya Kresna? Apakah prajurit-prajurit yang tersungkur itu juga korban suci untukmu? Apakah jika aku tak bertempur untukmu, kau akan menganggapku sebagai pencuri tak tahu malu? //
Salah satu kedahsyatan Mahabharata tidak hanya terletak pada kisah-kisah besar tentang kebenaran dan kebathilan, serta pustaka cerita yang semakin hari semakin kaya. Melainkan juga pada terbukanya pintu tafsir juga pertanyaan-pertanyaan.
Kemenangan Pandawa tidak menuntaskan semua hal. Sebaliknya, selalu saja ada keheranan-keheranan. Meski legenda Mahabharata telah ditamatkan ribuan tahun lampau, pertempuran tak jua meredup. Bharatayuddha tak lagi berkecamuk di Kurukshetra, melainkan di tempat-tempat yang lebih gelap, tersembunyi, dimana pembunuhan dan kematian demi kematian terjadi tanpa satu saksi pun. Labyrinth itu adalah pikiran manusia.
Pertobatan Kresna
// Ia masih ingin mengatur bagaimana menumpas habis Kurawa ketika tak ada lagi pertempuran di Kurusetra. Ia masih ingin mendengar roda kereta kencana menggilas kepala musuh ketika tinggal kepulan debu yang tersisa. Ia masih ingin melihat panah-panah api melesat di angkasa dan menghujam di tubuh rapuh para prajurit yang telah mengabur dalam ingatan para pujangga. Ia masih berharap memenangkan perseteruan yang tidak pernah dibayangkan oleh Kunti atau Gendari yang senantiasa menangis sesenggukan sebelum genderang Bharatayuda ditabuh kesetanan oleh para niyaga. //
Dengan bergaya prosa liris, Triyanto Triwikromo mementaskan pertempuran-pertempuran lain para pelaku kisah Mahabharata. Pertempuran itu tidak terjadi sebagaimana yang mestinya dibeber di hadapan layar. Melainkan berkecamuk dalam benak masing-masing lakon. Triyanto, sebagai dalang, menggumamkan apa yang mungkin dipikirkan para wayang itu kala sedang menunggu giliran dimainkan, bahkan kala masih terlipat rapi dalam kotak dalang. Pertempuran itu terjadi secara diam-diam. Secara rahasia.
Dalam dunia pikiran, segala sesuatu dimungkinkan. Siapa nyana, Arjuna yang tampak takzim menyimak wejangan suci Sri Kresna mungkin harus bergulat melawan pikirannya sendiri. Pikirannya mungkin tak mengerti, meragukan bahkan menentang sang Prabu. Siapa pula mengira, Sri Kresna yang selalu tegar, penuh siasat, tak gentar pada siapa pun mungkin sesekali menyesali peranannya. Mungkin sesaat Sri Kresna merasa perlu bertobat dan menganggap lakonnya menyedihkan.
Triyanto berusaha menggali apa-apa yang tak kasat mata. Mencoba menemukan sisi-sisi yang mungkin bertumbukan. Sebenarnya ini bukan hal yang baru. Sudah cukup banyak dalang yang bersikap kritis atas cerita-cerita yang dibawakannya. Namun Triyanto melangkah lebih jauh. Tingkat kritik Triyanto liar menerabas pakem-pakem. Pertobatan Kresna. Penyesalan Arjuna. Hujatan Antareja pada Kresna. Sabda sesat Dewa Ruci. Adalah gugatan Triyanto pada lakon-lakon Mahabharata yang mengundang resiko. Oleh karenanya secara cerdik dan hati-hati Triyanto mengkompilasinya dalam lakon baru berjudul “Pertempuran Rahasia”. Tak ada yang bisa disalahkan dalam dunia pikiran, sepanjang ia tak mewujud mengubah arus besar legenda.
Dari sekian banyak hujatan sporadisnya, cukup tampak bahwa Triyanto mempertanyakan peran Kresna dalam perang Bharatayuddha. Triyanto menawarkan dugaan-dugaan berbahaya tentang Kresna. Sri Prabu Kresna mungkin tak semulia yang dipuja-puji selama ini.
Percakapan Sengkuni Dengan Durna Menjelang Bharatayuda
1
“Jadi siapa yang akan kita bunuh lebih dulu?”
“Siapa lagi jika bukan Kresna? Kita tak akan membunuh siapa pun setelah panglima paling digdaya itu tergilas roda kereta.”
Pintu Neraka Yamadipati
// Dari pintu neraka, aku selalu berhasrat membunuhmu paling awal, Kresna, selalu ingin kutusukkan rencong ke ulu hati agar kau mati agar kau tak bergegas mengatur siasat menumpas Kurawa menumpas siapa pun yang kau anggap musuh Pandawa. Apakah kau tak mengenalku, Kresna? Apakah kau tak mengenal Dewa Kematianmu? //
Racun Antareja
Akhirnya aku tahu, Ibu
Uak Kresna pun
penuh dosa
Ia menipuku
Ia membunuh putra Bima
yang tak henti-henti memuja dirinya
Apakah dewa juga boleh berkianat, Ibu?
Selain Mahabharata, Triyanto memainkan pula kutipan beberapa lakon: Ramayana, Semar dan Togog, serta pengembaraan Bima bertemu Dewa Rutji. Tak kalah garang, Triyanto mempertanyakan keksatriaan Rama, serta menawarkan tafsir keagungan Rahwana.
Pembakaran Sinta
3
Dan hujan api itu, Ibu
hujan api itu tak hendak menjilat bibir ranumku tak hendak memanaskan gelegak birahi suciku pada Rama – menantu pengecut kesayanganmu.
Dan setelah pembakaran itu sembunyikan lagi aku ke dalam tanah terbelah
surga yang tak pernah dijamah oleh raksasa santun dan ksatria pengecut yang selalu kau puja itu
Dan kelak, katakan kepada cucu-cucumu:
Kau memang tak pernah mengenal Sinta kau memang tak pernah mengenal kisah kesetiaan seekor angsa pada keheningan telaga
maka aku ingin menjadi abu
dari arang yang kaubakar
dengan amarahmu, Ibu
Aku ingin menjadi ibu
Bagi api Rama
yang menghanguskan kesetiaanku. Aku ingin…
Kutukan Rahwana
3
Apakah setiap yang najis hanya boleh bersekutu dengan senja yang amis, Ibu? “Tidak anakku, kau akan jadi raja harum, kau akan jadi resi wangi, kau akan jadi kekasih sejati…” tapi kelak aku akan remuk, Ibu, kelak aku akan terpuruk… “Tidak anakku, kau bukan pecundang, kau dan istana indahmu akan senantiasa dikenang oleh musuh-musuhmu…”
Triyanto mengusung kecenderungan mutakhir: puisi semakin panjang, di saat cerpen semakin ringkas. Itu bukan hal penting untuk diperdebatkan karena tujuan Triyanto bukan pada bentuk, melainkan gugatannya. Justru karena itulah, Triyanto seyogyanya untuk menjawab tantangan dirinya sendiri; yaitu membuat sebuah kisah yang lebih utuh.
Sebagaimana Agus Sunyoto dengan Rahuvana Tattwa-nya, Triyanto Triwikromo perlu menulis tafsirnya dalam format tebal. Semestinya ini bukan persoalan serius bagi Triyanto, selain masalah waktu. Dengan referensi yang melimpah serta ketrampilan literer yang mumpuni Triyanto diyakini bisa mengerjakan. Kisah tentang sidang peradilan perang Bharatayuddha bisa jadi topik yang panas dan mengerikan. Yang patut dipertimbangkan adalah konsekuensi kritik dari para peyakin kebenaran Mahabharata. Di titik inilah ujian sebenarnya. Bukan hanya bagi Triyanto Triwikromo, melainkan juga pembaca.
Juli 2010