Cerita-cerita cinta Seno menguatkan paradoks betapa ibukota yang dihuni oleh manusia-manusia perkasa ternyata di hadapan cinta mereka lemah. Rapuh bagai daun segar dirayap ulat.
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Judul: Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun: Cetakan VI, Maret 2008,
Tebal: 96 hal
“Kau berikrar tentang cinta yang kau tinggalkan di desa. Ibukota tak perlu cinta, begitu kau berkata sambil mengecup kening istri kau sebelum melambaikan tangan perpisahan, menaiki bus malam yang membawa kau menembus ratusan kilometer, menuju ladang impianmu: ibukota. Ya, kota besar tak butuh cinta kau. Ia lebih suka menghisap keringat, mengunyah otot dan mengerat daging kau. Kau bilang ini Rumosha. Tapi demi cinta yang kau tinggalkan di desa, kau bergelut untuk memenangkan kehidupan dan menjaga angan-angan tetap bersemi.”
“Ibukota tak butuh cinta kau. Ibukota hanya butuh perselingkuhan sejenak kau. Ibukota punya sejuta alasan untuk membenarkan semua itu. Ya, kau benar! Kau tetap tinggalkan cinta kau di desa. Kecupan kau pada ibukota bukanlah cinta, ia hanya sebuah pertanyaan untuk cinta. Sebuah pertanyaan yang tak pernah kau coba untuk jawab, karena kau lebih suka menggelutinya. Bercinta tanpa banyak tanya. Dan cinta yang tinggalkan di desa, tetap sebuah cinta yang tak butuh pertanyaan.”
Mengejutkan, buku kumpulan cerpen “Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta” karya Seno Gumira Ajidarma ini boleh dibilang buku tua. Pertama terbit tahun 1996. Namun ia terus dicetak, dicetak ulang dan dicetak ulang sampai yang ke enam kalinya pada tahun 2008. Seno dan Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta menjadi ikon cerpen urban yang bercerita tentang kisah yang tak kalah tua: cinta. Inilah buku kumpulan cerpen yang bercerita tentang kisah tradisional dalam kehidupan modern yang tampaknya akan terus menemukan relevansinya hingga bertahun-tahun ke depan.
Empat belas cerita pendek dalam buku ini semuanya bercerita tentang cinta di kota besar. Sebuah perasaan manusia yang kompleks dalam kehidupan yang rumit. Dalam cerita Seno, yang semakin hari semakin terbukti nubuatnya, cinta bukan jawaban. Ia sebuah pertanyaan besar yang terus-menerus diabaikan oleh para pelakunya. Cinta bukanlah kupu-kupu yang terbang dan hinggap di bunga yang tepat. Cinta pun bukan hujan yang jatuh ke ladang begitu saja. Ia adalah hujan yang jatuh ke kawat listrik, lalu ke genting, lalu ke selokan, dan entah kapan kembali ke laut luas.
Empat belas cerita pendek ini bukan jawaban tentang cinta. Secara serampangan saya boleh katakan ini tips praktis bagaimana bercinta di ibukota yang gelisah.
Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta: “Masih cintakah kamu pada istrimu?” Meluncur lagi satu koin … “Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku, apa sih artinya cinta?” Jeglek! Tuuuutttt… Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh dompetnya. Tak ada lagi koin di sana. Ia banting gagang telepon itu dengan kesal. Jangan pertanyakan cinta.
Empat Adegan Ranjang: Maya membuka pintu kamar di rumahnya. Masih tercium olehnya bau Johan ketika melihat suaminya di ranjang itu, padahal ia sudah menciprati dirinya dengan White Kinen dari Estee Lauder banyak-banyak. Berperanlah untuk cinta. Berperanlah dengan sungguh-sungguh.
Rahasia: Tapi sampai 1000 hari setelah kematian suaminya, setelah Jose yang rupawan tinggal seonggok kerangka, tak seujung rambut pun pernah diketahuinya sesuatu tentang wanita itu. … Siapakah wanita yang begitu sedihnya kehilangan Jose sehingga menangis tersedu-sedu sambil sesekali menyebut nama Jose dengan tertahan-tahan? Jagalah cintamu sedemikian rupa sampai-sampai tangan kirimu tak mengetahui apa yang dikerjakan oleh tangan kananmu.
Nocturno: Lelaki itu bangkit, menutup pintu, menutup gorden, mematikan televisi, dan akhirnya mematikan lampu. Wanita itu diam saja, duduk di tepi tempat tidur dan membuka tali sepatunya dalam kegelapan. Barangkali malam itu ia akan menunda kepergiannya. Kau berjanji untuk tak lagi bercinta, lalu kau ingkari begitu saja.
Petai: Namun sebelum tidur tiba-tiba diingatnya, suaminya yang penggemar petai itu sebenarnya telah berhenti makan petai sejak perkawinan mereka yang telah berjalan selama 15 tahun. Cinta membawakan angan-angan indahmu sampai ke ribuan tahun silam seolah baru kemarin.
Sembilan cerita pendek lainnya ditulis dengan pola yang sama: terbuka. Seno tak memberikan jawaban untuk cinta. Ia memotret bagian-bagian, dan membiarkan bagian-bagian lain menjadi tugas pembaca untuk menyelesaikan dan menikmatinya. Karena bercerita tentang cinta, Seno bergerak gemulai namun padat dan ringkas. Seno bercerita tentang perzinahan secara penuh kontemplatif. Cinta dan ibukota selalu bertutur syahdu. Cinta di ibukota adalah luka yang diterima sebagai suka cita.
Cerita-cerita cinta Seno di kumpulan cerpen ini seolah menguatkan paradoks betapa ibukota yang dihuni oleh manusia-manusia perkasa, pekerja keras bahkan boleh dibilang pejuang gagah berani, ternyata di hadapan cinta mereka tampak lemah, tak berdaya, tak kuat. Mental mereka tak setangguh yang dibayangkan. Hidup mereka rapuh bagai daun segar dirayap ulat.
Jika buku ini telah dicetak ulang enam kali, boleh jadi, betapa banyak mereka, pembaaca, yang menemukan jawaban atas takdir cintanya di cerpen-cerpen Seno.
Bolehlah saya titipkan bacaan ini untuk seorang rekan yang sudah sepuluh bulan ini bertarung hidup sendiri di ibukota, meninggalkan cinta sejatinya di kaki gunung sejuk. Sembari saya bertanya, adakah telah kau temukan pertanyaan untuk cinta itu? Kau tak perlu menjawab. Selamat menikmati Seno Gumira Ajidarma, cerpenis favorit saya selama ini.
Je t’aime: “Tidak usah mengalihkan pembicaraan,” sergahnya, “kamu selalu menolak kalau aku mencabuti ubanmu, kenapa sekarang kamu biarkan orang lain mencabuti ubanmu? Kamu bilang kamu ingin apa adanya, beruban ya beruban, tidak usah dicabut, tidak usah disemir. Sekarang ini terbukti hidupmu ternyata cuma palsu.”
Februari 2010