Sapardi Djoko Damono – Pengarang Telah Mati

Mungkin buku cerpen ini terbit terlalu cepat bagi seorang penulis cerpen pemula. Meski kemungkinan besar laku keras karena ditulis oleh sastrawan terkemuka Indonesia.

Media: Buku
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Judul: Pengarang Telah Mati
Penerbit: IndonesiaTera, Magelang
Tahun: Cetakan I, Juli 2001
Tebal: ix + 156 halaman

“Pernahkah ketika kau mulai merasa bisa menulis puisi, kau begitu bersemangat. Seolah batinmu mengembang sesak penuh dengan ide dan kata. Kemudian tiba-tiba kau menulis teramat lancar, deras, dan bertubi-tubi. Tanpa sadar hari itu kau menulis lebih banyak puisi dari yang ditulis oleh penyair kesohor pada hari itu juga? Semua tampak mudah. Semua tampak gembira.”

“Pernahkah pula kau rasakan setelah itu, balon ide dan kantung katamu mengempis. Puisimu pun menetes satu satu. Itu bukan karena kau merasa lelah. Bukan pula kau merasa enggan. Hanya kempis begitu saja.”

“Pernahkah kau coba membaca lagi ke dua kumpulan puisimu tadi; yaitu yang mengalir deras tanpa lelah, dan yang menetes satu satu. Mana yang lebih memikatmu? Yang penuh keceriaan kanak-kanak? Atau, yang berdehem kebapakan? Tentu saja, taka da jawaban yang benar atau salah. Terkadang kita sekedar ingin tahu.”

Berpuluh-puluh tahun Sapardi Djoko Damono menulis puisi. Bukan hanya menulis puisi, ia sudah menulis kumpulan puisi terindah yang pernah ada di negeri ini. Selain dikenal sebagai penyair, Sapardi banyak menerjemahkan berbagai karya penulis asing, baik puisi maupun cerpen. Tak heran jika Kemudian Sapardi tergerak untuk menulis cerpen.

April 2000 cerpen pertamanya lahir. Diikuti beberapa cerpen lain yang mengalir lancar. Dua cerpen tadi dikirim ke harian Kompas, dan dimuat! Bertambahlah semangat Sapardi untuk menulis lebih banyak cerpen. Hanya dalam hitungan bulan kumpulan cerpen pertamanya, “Pengarang Telah Mati” diterbitkan tahun 2001 oleh IndonesiaTera.

Buku kumpulan cerpen ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama: Kitab Pertama, berisi tiga belas cerita amat pendek. Kemudian, Selingan, berisi satu cerita pendek yang cukup panjang, berjudul “Pengarang Telah Mati” yang juga menjadi judul buku kumpulan cerpen ini. Dan, terakhir, Kitab Kedua, yang sebagaimana Kitab Pertama memuat tiga belas cerita amat ringkas.

Secara umum, cerpen-cerpen pendek di bagian pertama dan kedua tidak terlalu memuaskan, kalau tidak boleh dikatakan cukup mengecewakan dari seorang Sapardi Djoko Damono. Tampaknya Sapardi sedang bersemangat menulis cerpen sesingkat mungkin, menggunakan bahasa puitis, mengangkat tema-tema bernuansa spiritual. Bolehlah dikatakan semacam haiku dalam bentuk cerpen.

Menurut saya, itu tak sepenuhnya berhasil. Keasyikan yang biasa muncul di saat membaca haiku tidak terasa di cerpen-cerpen Sapardi. Penggunaan bahasa puitiknya agak canggung. Ceritanya tidak cukup inspiratif. Kalau boleh dibilang, temanya tidak terlalu orisinil. Di beberapa cerpen, kejutan dan moment inspiprasinya terlambat datang. Atau terlalu cepat muncul. Atau malah bertele-tele. Akhirnya, puisi Sapardi jauh lebih cantik.

Namun begitu, dalam buku ini Sapardi menunjukkan ia cerpenis pemula yang amat eksploratif. Ia merambah berbagai tema, gaya dan kemungkinan. Cerpen-cerpen berjudul, Adam, Apakah Engkau Ada?, Berhitung, Daun, Di Bawah Bulan, Kalender Dan Jam, Main Catur, Perihal Air Kehidupan, Stasiun, Sungai, Sup Gibran, tampaknya mempunyai semangat yang sama: bertema spirtiual, hendak disajikan dalam bentuk semacam haiku. Sedangkan cerpen-cerpen berjudul, Bis Jemputan Sekolah, Bis Kota, ditulis dalam gaya yang beda meski berada dalam kumpulan cerita yang berhaiku. Di cerpen lain, Tata Ruang, misalnya, Sapardi bergerak cukup detail.

Yang mengesankan adalah Malam Wabah. Ini cerita amat ringkas yang paling mengena. Hanya ada satu kalimat yang mengganjal dan tidak perlu, yaitu: “Zaman revolusi, segalanya serba susah.”

Apakah anda kenal puisi atau cerpen Afrizal Malna yang biasanya ajaib? Ya, di cerpen Saksi yang diperuntukkan pada Afrizal Malna, Sapardi menulis cerpen bergaya ajaib ala Afrizal. Meski lebih tepat dijadikan sebagai puisi saja. Ini cerpen yang tidak perlu, karena tidak orisinil dan bukan sosok Sapardi.

Sekarang tentang cerpen “Pengarang Telah Mati” itu sendiri. Tampaknya Sapardi tak tahu harus bagaimana memulai dan mengakhiri cerita ini. Tetapi bukan Sapardi jika tak cerdik untuk memilih pola penulisan seperti ini. Tema ceritanya adalah seputar dosen yang baru pulang dari belajar di luar negeri dan menghadapi situasi di seputar demo mahasiswa dan kerusuhan Mei. Temanya cukup menggugah. Dan Sapardi tahu bagaimana menulis inti cerita menjadi menarik. Namun beberapa cacat: banyak bertele-tele, mengulang-ulang yang tidak perlu alias mubazir, penggambaran tokoh cerita yang tak jelas.

Mohon maaf buat Pak Sapardi Djoko Damono juga para fans, kalau kurang berkenan dengan pendapat ini. Tentu saja Sapardi adalah pemula yang cepat belajar dan mau belajar apa pun. Kumpulan cerpen ini adalah bukti bahwa Sapardi tak ragu menunjukkan kepemulaannya kepada khalayak sehingga awam pun bisa sama-sama belajar. Mungkin karena Sapardi seorang guru.

Buku ini dihiasi dengan ilustrasi dari Jeihan Sukmantoro, yang sulit dimengerti apa maksudnya, apa indahnya dan mungkin juga tidak perlu, kecuali sekedar sebuah nama tenar untuk cerpen yang ditulis oleh penyair tenar. Akhirnya, mungkin buku cerpen ini terbit terlalu cepat bagi seorang penulis cerpen pemula. Meski kemungkinan besar laku keras karena ditulis oleh sastrawan terkemuka Indonesia, terlebih lagi beberapa bulan sebelumnya sang presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, menerbitkan kumpulan cerpennya yang pertama: Hujan Menulis Ayam.

Juni 2009