Banyak orang ingin menjadi penyair karena Sapardi menulis syair-syair. Banyak orang ingin bisa menulis puisi sebagaimana Sapardi berpuisi. Banyak orang ingin menjadi Sapardi. Bukan menjadi dirinya sendiri.
Media: Buku
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Judul: Duka-Mu Abadi
Penerbit: Yayasan Bentang Budaya, Jogjakarta
Tahun: Cetakan I, Juni 2002
Tebal: viii + 52 halaman
“Kau bertanya tentang puisi yang indah. Berulang kali aku bilang, aku tak tahu batas-batasnya. Aku hanya tahu tentang puisi yang begitu aku baca, hatiku terisi penuh sekaligus kosong. Benderang sekaligus syahdu. Gejolak sekaligus redam. Ia mengungkungku sekaligus membebaskanku. Bukankah tiada yang lebih indah ketika semua warna terpancarkan. Ketika kita terbeku tanpa memilih. Membiarkan semua berlalu tanpa sebuah penilaian? Bagaimana aku bisa menggambarkannya dengan pisau analisa?”
duka-Mu abadi pertama kali terbit pada tahun 1969 oleh Balai Pustaka. Memuat puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dari periode 1967 dan 1968. Pada 2002 diterbitkan ulang oleh Yayasan Bentang Budaya. Inilah buku kumpulan puisi terindah yang pernah ditulis oleh salah satu penyair terbaik Indonesia.
Indah, karena puisi-puisi Sapardi Djoko Damono memberikan ruang sekaya-kayanya bagi imaji dan emosi pembaca.
Tiba-Tiba Malam pun risik
tiba-tiba malam pun risik
beribu Bisik
tiba-tiba engkau pun lengkap menerima
satu-satunya Duka
Indah, karena puisi Sapardi Djoko Damono mampu bercerita tentang sesuatu yang menggetarkan dengan kelembutan. Puisi Berjalan di Belakang Jenazah bercerita tentang betapa dahsyatnya kematian dan betapa syahdunya kehidupan. Di puisi Sapardi, kematian jadi peristiwa akbar tanpa menggurui bab eksistensi manusia. Sedangkan kehidupan jadi pengalaman syahdu manusia tanpa menjadikannya ringkih.
Berjalan di Belakang Jenazah
berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
Indah, karena puisi Sapardi Djoko Damono membiarkan sebuah peristiwa sederhana memancarkan pesonanya sendiri, sehingga tiba-tiba hidup jadi teka-teki yang tak lagi perlu dijawab bulat-bulat.
Dalam Bus
langit di kaca jendela bergoyang
terarah ke mana
wajah di kaca jendela yang dahulu juga
mengecil dalam pesona
sebermula adalah kata
baru perjalanan dari kota ke kota
demikian cepat
kita pun terperanjat: waktu henti ia tiada
Indah, karena puisi Sapardi Djoko Damono tak memaksa kita dengan makna-makna. Ia membiarkan kita menemukannya sendiri. Dalam waktu yang diam.
Dalam Doa: II
saat tiada pun tiada
aku berjalan (tiada
gerakan, serasa
isyarat) Kita pun bertemu
sepasang Tiada
tersuling (tiada
gerakan, serasa
nikmat): Sepi meninggi.
Banyak orang ingin menjadi penyair karena Sapardi menulis syair-syair. Banyak orang ingin bisa menulis puisi sebagaimana Sapardi berpuisi. Banyak orang ingin menjadi Sapardi. Bukan menjadi dirinya sendiri.
Ada 42 puisi, 24 dari periode 1967, dan 18 dari periode 1968. Sebuah buku yang patut disimpan bak permata.
Januari 2009