Inilah kisah tentang bagaimana sebuah peraturan dibuat lalu pelan-pelan dilanggar. Hingga akhirnya dilupakan. Tetapi itu lebih baik: setidaknya kita pernah punya peraturan.
Hampir saja pabrik jamu tempat Oom Ale bekerja gagal mempertahankan sertifikat ISO. Soalnya sepele saja: auditor ISO menemukan non conformity pada “tujuh aturan rapat”. Namun buat auditor, ini masalah serius.
Ya, sudah setahun ini perusahaan menerapkan sistem ISO 26071-968. Anda tidak perlu repot-repot mencari tahu tentang ISO 26071-968. Sistem ISO ini cuma ada di celoteh-celotehnya Oom Ale. Jika sistem ISO 9001 membandingkan dokumen SOP dengan penerapannya, maka ISO 26071-968 akan menguji penerapan komitmen manajemen, pidato para bos, bahkan poster dan spanduk yang biasanya berisi kata-kata indah. Apakah semua itu dilaksanakan, atau hanya sekedar jadi rayuan gombal belaka.
Non conformity pertama ditemukan oleh auditor justru pada saat rapat pembukaan audit.
Ceritanya begini: di meja ruang rapat dipajang plakat tujuh aturan rapat. Ini ide Pak Bos. Tujuannya, supaya rapat berjalan efektif dan menghasilkan keputusan penting. Sepertinya sudah jadi pengetahuan umum, manajer Indonesia hobi rapat berjam-jam tapi keputusannya tidak jelas.
Isi tujuh aturan rapat simple dan normatif saja. Yaitu: rapat dimulai tepat waktu. Ada agenda dan catatan rapat. Peserta rapat harus siap dan aktif, tetapi tidak boleh mengobrol sendiri. Supaya konsentrasi rapat tidak terganggu, peserta rapat dilarang membawa handphone alias HP, wireless, pager, HT dan segala macam alat komunikasi lain. Aturan ini ditulis dalam bahasa Indonesia juga bahasa Inggris, dicetak di atas plakat besar, dan dipajang di semua meja rapat.
Pak Bos tidak berhenti di situ saja. Supaya aturan ini berwibawa, bagi yang melanggar akan didenda Rp. 50 ribu. Uang denda akan dipakai untuk membeli pisang goreng dan dimakan ramai-ramai di rapat berikut.
Pada minggu pertama penerapan aturan baru ini, rapat berjalan luar biasa. Meski sedikit kaku, tapi hasilnya betul-betul efektif. Tokcer! Cuma dalam waktu satu jam, semua persoalan beres. Di minggu kedua, everything is almost okay. Lho kok almost? Ya, karena ketika sedang enak-enaknya rapat, tiba-tiba HP Pak Manajer Produksi berdering keras sekali. Semua orang tersentak kaget lalu tertawa-tawa melihat Pak Manajer Produksi membayar denda sambil bersungut-sungut. Walhasil, HP Pak Manajer pun dimatikan dan disita oleh sektretaris sampai rapat usai.
Di rapat berikutnya giliran HP Pak Bos yang terbawa masuk ruang rapat. Katanya, beliau tadi terburu-buru dan lupa meninggalkan HP di ruang kerjanya. Ketika ditegur oleh Bu Manajer Pembelian supaya membayar denda, Pak Bos berkilah, “Lho, HP saya kan tidak berbunyi, jadi tidak perlu didenda dong. Yang kena denda adalah yang HP-nya berdering.”
Maka pada rapat berikut, banyak manajer membawa HP ke ruang rapat. Supaya tidak dianggap melanggar peraturan dan kena denda, para manajer yang kreatif ini menyetel HP mereka ke mode silent. Sehingga, ketika ada telpon atau sms masuk, HP mereka tidak berbunyi, tapi cuma bergetar. Dddrrttt… dddrrtt… Diam-diam mereka keluar ruangan untuk menjawab panggilan atau membalas sms.
Tapi itu pun masih belum berjalan mulus. Tiba-tiba masih ada juga dering HP. Tuuiit.. tuuiit.. tuuitt… Ternyata Pak Bos lagi. Sewaktu ditegur dan ditagih untuk membayar denda oleh Bu Manajer Pembelian, Pak Bos tak kehabisan alasan, “Ah, ini kan cuma sms dan tidak mengganggu rapat. Yang mengganggu rapat adalah kalau anda menjawab panggilan telpon. Itu yang harus didenda dengan setimpal.” Ya, bisa ditebak, di rapat berikut semua manajer tidak perlu lagi repot-repot keluar rapat hanya untuk mengetik sms balasan.
Apakah ceritanya sudah selesai? Belum, saudara-saudara..!! Kisah tentang HP ini masih berlanjut. Di rapat berikut, lagi-lagi HP Pak Bos berderit-derit. Muka Pak Bos langsung masam. Tapi begitu melihat nomor yang masuk, Pak Bos langsung angkat telpon dan bicara cukup keras. Rapat pun terhenti untuk memberi waktu buat Pak Bos berbicara dengan seseorang di ujung telpon sana.
Sebelum ditegur, Pak Bos langsung berbicara, “Itu tadi dari Pak Presdir. Saya memang menunggu telpon beliau. Itu kenapa HP tidak saya silent-kan. Ada masalah penting yang harus segera diselesaikan. Menurut anda sekalian, lebih penting mana menjawab telpon dari Pak Presdir atau membayar denda Rp. 50 ribu?”
Tidak ada yang menjawab. Itu pertanda semua manajer sepakat dengan pendapat Pak Bos. Jangan heran kalau di rapat-rapat berikut, semua orang berbondong-bondong membawa HP dan tak sungkan-sungkan lagi menerima telpon dalam ruang rapat. Dan, yang tak kalah penting, tak perlu membayar denda.
Termasuk pada saat rapat pembukaan audit ISO 26071-968. Tttrriiittt… trriiitt… Tidak jelas HP siapa yang berbunyi. Yang jelas bunyinya nyaring sampai-sampai para auditor yang seram-seram itu melonjak terkaget-kaget. Karuan saja auditor mencatatnya sebagai temuan non conformity yang cukup serius. Pak Manajer QC langsung bertindak dan membantah itu bukan non conformity. Tapi auditor tidak mau kalah. Kata mereka, “Jelas ini pelanggaran terhadap aturan yang anda ciptakan sendiri. Tujuh aturan rapat ini untuk ditaati agar rapat berjalan baik, bukan sekedar jadi hiasan di atas meja.”
“Memang benar begitu,” Pak Manajer QC mencoba menjelaskan duduk perkaranya. “Tapi, itu bukan berarti sebuah rapat menghalangi kami untuk menyelesaikan hal lain. Telpon yang masuk tadi pasti penting. Jika tidak, HP tadi tidak mungkin dibawa-bawa sampai ke ruang rapat ini. Menurut anda, mana yang lebih penting: menjawab telpon yang sangat penting di saat rapat atau membayar denda Rp. 50 ribu?” Pak Manajer QC mencontek jurus yang pernah dimainkan Pak Bos.
Tetapi auditor bukan anak kemarin sore. Katanya, “Sebagai auditor, bukan hak kami untuk menilai apakah telpon tadi penting atau tidak. Tugas kami adalah menilai apakah anda melanggar aturan yang anda buat sendiri. Ini bukan sekedar tentang HP di ruang rapat. Ini adalah tentang bagaimana manajemen anda memegang komitmen. Kalau untuk hal mendasar, seperti tujuh aturan rapat ini, manajemen anda sudah terbiasa melanggar, bagaimana dengan aturan-aturan lain yang lebih rumit, seperti: kualitas? Kami tidak bisa menerima argumen anda. Atau, kami hentikan saja proses audit ini?”
Auditor mulai ngambek. Mereka mengancam tidak akan meneruskan audit jika pelanggaran atas tujuh aturan rapat ini tidak boleh dilaporkan sebagai temuan non conformity. Untunglah Pak Ton, manajer personalia yang cerdik pandai itu menemukan jalan keluar. Kata Pak Ton, “Bunyi HP tadi tidak melanggar tujuh aturan rapat, karena berbunyi sebelum rapat dimulai. Selama rapat belum dibuka secara resmi, maka tujuh aturan rapat belum berlaku.” Ya, rapat memang belum dibuka secara resmi, meski sudah panjang lebar berbasa-basi.
Setelah berpikir beberapa saat, para auditor bisa menerima. Semua orang tersenyum lega. HP-HP dimatikan dan dititipkan di sekretaris rapat. Rapat dimulai. Tok… Tok… Tok… Dan, sertifikat ISO 26071-968 pun tetap di tangan. Hore.. plok.. plok.. plok…
19 Jan 2009