“Kalau kita memilih menjadi karyawan benar maka siap-siaplah sering kena semprot atasan. Sebaiknya kita cari selamat saja. Kita turuti apa kemauan bos,” begitu kata Pak Syam.
Ini adalah pertanyaan klasik dari hampir semua orang yang ditakdirkan menjadi karyawan pabrik seperti Oom Ale ini. Pertanyaan ini Oom Ale dengar pertama kali belasan tahun lalu saat memulai karir sebagai karyawan. Dan kemarin Oom Ale mendengarnya lagi sewaktu rekan-rekan kerja Oom Ale ribut membahas topik ini. Ternyata tidak ada jawaban yang memuaskan.
Pilih benar atau selamat? Apakah kalau kita bertindak benar, kita tidak akan selamat? Atau, apakah kalau kita ingin selamat, kita harus melakukan hal-hal yang tidak benar? Apakah benar dan selamat adalah dua hal yang berbeda?
Pak Syam punya jawabannya, “Jelas beda! Kalau kita memilih menjadi karyawan benar maka siap-siap saja kena semprot atasan. Masih untung kalau cuma kena semprot. Kalau dipecat bagaimana? Oleh Karena itu, kita cari selamat saja. Kita turuti apa kemauan bos. Bos selalu punya seribu satu alasan untuk melemparkan kesalahannya pada orang lain, terutama bawahan. Meski kita sudah melakukan hal yang benar, tapi kalau tidak sesuai dengan kemauan bos, pasti tidak selamatlah kita. Habislah kita! Lebih baik jadi orang selamat.”
Kalau anda mengira Pak Syam adalah karyawan biasa yang tidak bisa berbuat banyak untuk menentukan nasibnya sendiri, anda salah besar. Beliau adalah salah seorang petinggi pabrik yang sudah malang melintang di berbagai perusahaan besar. Jabatannya adalah manajer teknik. Dalam struktur organisasi dan daftar penerima jatah fasilitas kantor, beliau termasuk seorang bos. Meski begitu, ternyata beliau masih beranggapan menjadi bos yang selamat lebih baik ketimbang menjadi bos yang benar.
Pak Syam sedikit meralat, “Bukan begitu. Maksud saya, kita tetap perlu menyampaikan saran yang benar kepada manajemen meski bos tidak suka. Tetapi, jika ternyata bos memutuskan berbeda, kita ikuti saja apa kemauan bos. Dengan begitu, kita telah melakukan sesuatu yang benar. Dan ujung-ujungnya kita tetap selamat.” Wah, lihai juga Pak Syam ini.
Bu Fen punya pendapat lain. “Pendapat saya beda!” katanya sambil mengepalkan tangan. Bu Fen adalah manajer senior yang terkenal tegas, berani dan kukuh dalam pendirian. Cocok menjadi lawan tanding para bos yang keras kepala.
“Kita memang harus menyampaikan pendapat sebenar-benarnya sesuai profesi kita. Itu wajib! Tetapi, kita juga harus memperjuangkan pendapat kita agar bisa diterima dan dilaksanakan. Saya menolak bertanggung jawab atas kesalahan yang terjadi akibat manajemen tidak melakukan sesuatu dengan benar. Saya tidak takut berbeda pendapat dengan atasan. Saya tidak takut disemprot. Saya juga tidak takut dipecat. Buktinya, sudah beberapa kali bos perusahaan ini berganti, tetapi tak seorang bos pun memecat saya hanya karena saya berani melakukan hal yang benar. Ini bukti nyata. Kalau kita benar maka kita selamat,” pidato Bu Fen menggelegar sampai terdengar di pabrik sebelah.
Wuih! Semangat Bu Fen mengingatkan Oom Ale pada perjuangan arek-arek Suroboyo di masa kemerdekaan. Anda bisa bayangkan betapa serunya diskusi antara Bu Fen dengan Pak Bos. Hidup Bu Fen!
“Kenapa meributkan antara benar dan selamat? Kalau kita melakukan hal yang benar, tentu kita akan selamat. Sebaliknya kita selamat karena kita benar.” Nah, yang angkat bicara kali ini adalah Pak Ton yang kalem itu. Beliau adalah bos alias petinggi perusahaan yang berpengalaman dan ulung berdiplomasi. Kita simak saja apa katanya.
Kata Pak Ton, “Kuncinya ada pada SOP, Standard Operating Procedure. Kalau kita ingin benar dan selamat, tetaplah berjalan sesuai SOP. Kalau SOP-nya belum ada, maka buatlah SOP, lalu mintakan persetujuan ke manajemen.”
Jawaban yang cespleng. Ada yang mau membantah?
“Sekarang kita tanya ke Pak Ale. Bapak pilih yang mana? Benar atau selamat?” Pak Syam menoleh ke Oom Ale yang sedari tadi sibuk mencatat jawaban setiap orang.
“Saya sih jadi karyawan saja pak.”
“Iya, karyawan yang bagaimana? Yang benar atau selamat? Pilih yang tegas! Atau mau pilih dua-duanya?” Pak Syam sedikit menggertak.
Oom Ale jadi agak grogi juga. Tiba-tiba dalam benak Oom Ale terlintas wajah Mbah Ud, pensiunan pegawai negeri yang sekarang rajin mengajarkan meditasi. Segera Oom Ale jawab, “Paling enak yaaa jadi karyawan yang happy pak! Saya pilih jadi karyawan yang selalu bahagia saja.”
***
Mbah Ud pernah berujar, “Yang kita cari dalam hidup ini adalah kebahagiaan; kebahagiaan yang sejati; true happiness. Dalam kebahagiaan tidak ada lagi pertentangan; yang ada hanyalah ketenangan; kedamaian.”
Tapi apakah mungkin, kita sebagai karyawan bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam pekerjaan di kantor? Dimana setengah meter di depan kita selalu terpampang wajah Pak Bos yang ditekuk 45 derajat. Ditambah tumpukan tugas dengan deadline yang datang silih berganti. Plus omelan (dan air ludah) yang menyemprot bertubi-tubi seolah tak mau mengerti. Apa mungkin? Rasanya tidak mungkin lah kita menemukan kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan dalam pekerjaan kita.
“Hahahaha” sela Mbah Ud santai. “Kebahagiaan terletak di jiwa, bukan di pekerjaan, bukan di kantor, bukan di pabrik, bukan pula di jabatan, apalagi dalam dokumen-dokumen SOP.”
12 Jan 2009