Buku kumpulan cerpen Rashomon karya Ryunosuka Akutagawa ini buku serius, meski penerbit memperkenalkannya sebagai bacaan alternatif selain komik Jepang.
Penulis: Ryunosuke Akutagawa
Judul: Rashomon (Kumpulan Cerita Akutagawa Ryunosuke)
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun: Cetakan I, Jakarta 2008
Tebal: vi + 167 hal
Sastrawan yang baik bukan sekedar penyampai cerita yang baik. Ia adalah pemikir yang brillian. Pemikir yang selalu mencari cara-cara penulisan yang baru, menemukan plot dan menggali tema-tema segar. Ia pun perenung agung. Perenung yang merenungkan tentang manusia berikut kesadaran-kesadarannya. Bisa diduga tokoh-tokoh semacam ini sangat langka. Salah satunya adalah Ryunosuke Akutawaga.
Tentang Ryunosuka Akutawaga, lebih baik saya kutipkan apa yang tertulis di halaman-halaman akhir buku kumpulan cerita pendek Ryunosuka Akutagawa, Rashomon, yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, tahun 2008. Ryunosuka Akutagawa, lahir di Tokyo, 1 Maret 1892, adalah cerpenis terbaik yang pernah dimiliki Jepang. Akutagawa mendapat predikat sebagai sastrawan yang mewakili zaman Taisho (1912-1926) dan dianggap sebagai pencerah dan mewakili kaum neo-realis.
Selama sekitar 12 tahun masa kepengarangannya, ia lebih banyak menulis cerita pendek, jumlahnya mencapai ratusan. Sebagian besar telah dialihbahasakan, termasuk ke bahasa Indonesia. Buku kumpulan cerita pendek Ryunosuka Akutagawa, Rashomon, ini memuat beberapa cerita pendek terpentingnya, seperti Rashomon, Benang Laba-laba (Kumo no Ito), Di Dalam Belukar (Yabu no Naka), Hidung (Hana) dan cerita agak panjang Kappa.
Keterangan yang disampaikan penerbit buku Rashomon ini cukup standar untuk memperkenalkan sosok Akutagawa, namun tidak tentang karya-karyanya. Saya sendiri baru mengenal Akutagawa melalui cerita-cerita di kumpulan cerpen ini, ditambah beberapa cerita pendek lainnya yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris yang terserak di internet. Setelah membaca cerita-cerita pentingnya, saya menangkap bahwa Akutagawa bukan sekedar cerpenis, ia adalah perenung yang cukup tajam mengulik sisi-sisi dalam manusia.
Ia berbicara tentang moralitas yang ternyata tidak mutlak, melainkan relatif bahkan patut diragukan (Rashomon). Ia menulis tentang betapa rapuhnya pandangan manusia tentang dunia ini. Bahkan, ia juga tak segan menertawakan kesaksian langit sekaligus mempertanyakan netralitas pengadilan akhirat (Di Dalam Belukar). Ia bisa membaca apa arti dan apa yang ada di balik sebuah kepuasan yang selama ini diangan-angankan (Bubur Ubi).
Saya menyambut gembira buku kumpulan cerpen Rashomon yang memuat karya-karya penting Ryunosuka Akutagawa. Ini buku serius, meski penerbit memperkenalkannya sebagai bacaan alternatif selain komik Jepang.
Rashomon. Di tengah Kyoto yang runtuh dan mencekam, moralitas dipertaruhkan. Seorang samurai kasta rendah baru saja dipecat. Ia kelaparan, dan sedikit lagi dekat dengan maut. Ia tak sendiri. Seorang wanita tua juga. Bedanya, wanita tua itu mencabuti rambut-rambut orang yang sudah mati untuk dijual sebagai sanggul, sehingga punya sedikit harapan untuk bertahan hidup. Bagi si wanita tua tindakannya adalah pantas, karena mayat-mayat itu sebenarnya milik perempuan penipu. Si samurai tak ingin mati kelaparan, “kalau begitu jangan salahkan jika aku…”
Di Dalam Belukar. Seorang mayat samurai ditemukan di semak-semak bambu pinggiran Kyoto. Lima kesaksian di depan penyidik. Satu pengakuan dosa di kuil Kiyomizo. Satu petunjuk roh melalui mulut biksuni kuil Shinto. Adalah tujuh persepsi yang berbeda. Cerita yang menakjubkan tentang betapa nisbinya pandangan manusia terhadap realita, bahkan arwah pun merasa berhak mempunyai penafsirannya sendiri. Sebuah cerita yang luar biasa dan brillian. Menghantam keyakinan. Mempertanyakan kemampuan manusia dalam mencerna dunia.
Kappa. Lagi-lagi cerita yang brillian. Kali ini Akutagawa-san menggunakan lakon makhluk aneh dalam khazanah cerita-cerita rakyat Jepang, Kappa, untuk menertawakan berbagai hal dalam kehidupan manusia. Puncaknya ada pada puisi yang sangat satiris: “Di antara rumpun bunga dan bambu. Buddha sudah lama tertidur. Agaknya Kristus pun telah mati. Bersama batang ara yang layu sepanjang jalan. Tapi kita semua harus beristirahat, meski di bawah kelir belakang panggung sandiwara.” Kalau di lihat, di balik kelir itu hanyalah kanvas yang penuh sambungan compang-samping.
Bubur Ubi. Cita-cita seorang goi, pelayan kelas rendah, ini sederhana saja, yaitu bisa menyantap bubur ubi sepuasnya. Ia rela mendapat perlakuan terhina sekali pun demi menjaga api impian bubur ubinya tetap menyala. Penulis berbaik hati: impian itu menjadi kenyataan. Tuan si goi mengajaknya melakukan perjalanan jauh yang penuh keajaiban. Dan tentu saja keajaiban tertingginya adalah pesta bubur ubi. Kepiawaian Akutagawa-san dalam mengorek pikiran-pikiran terkelam manusia kembali ditunjukkan di sini. Cerita ini diakhiri dengan kepuasan si goi dengan menyantap semangkuk bubur ubi, sekaligus melegakan karena ia tak perlu lagi makan bubur ubi lainnya. Ada apa dengan bubur ubi? Silakan simak cerita mengagumkan ini dengan penuh refleksi.
Benang Laba-laba. Saya menduga, Akutagawa-san mengadaptasi cerita ini dari kisah-kisah Buddha. Ini tentang sang Buddha yang berusaha menyelamatkan Kandata dari lantai neraka. Meski pendosa besar, semasa hidupnya Kandata pernah melakukan kebaikan, yaitu menyelamatkan nyawa seekor laba-laba. Kini saatnya laba-laba membalas budi dengan mengulurkan benang ke neraka agar bisa diraih dan dipanjat Kandata keluar dari neraka. Bagi mereka yang telah banyak membaca cerita-cerita Buddha, mungkin cerita ini tidak terlalu istimewa. Bagi saya, bagian yang dahsyat adalah penutup cerita. Meski nilai-nilai moral kisah upaya penyelamatan Kandata ini adalah peristiwa besar, namun bunga-bunga teratai tidak menghiraukan sedikit pun.
Si Putih. Superman, eh superdog itu bernama Shiro yang berarti putih. Namun putih adalah dulu, sebelum ia melakukan tindakan pengecut, yaitu tidak menolong temannya dari pemburu anjing. Penyesalannya mengubah wujudnya menjadi seekor anjing hitam. Penyelasan pulalah yang membuatnya menjadi anjing pahlawan. Namun meski telah menjadi superhero, anjing tetaplah anjing yang ingin kembali pada tuannya. Sayang tuannya tidak lagi mengenali si Shiro yang hitam, karena Shiro adalah putih. Lagi-lagi sebuah cerita sarat ambiguitas moralitas dalam sebuah plot yang menarik.
Hidung. Biksu Naigu berusia 50 tahun. Semua orang mengenalnya sebagai biksu dengan hidung yang menjuntai sepanjang 16 sentimeter sampai ke bawah mulutnya. Seorang biksu pun bisa tak puas pada penampilannya. Ia merasa ditertawakan banyak orang karena hidungnya. Upaya pengobatan pun dilakoninya. Hidungnya menjadi pendek. Namun orang tetap menertawakannya. Ia ingin hidungnya kembali panjang. Sebuah cerita menarik, disajikan secara unik, tentang manusia yang terombang-ambing oleh keinginannya.
Hidup Akutagawa pun seolah menjadi cerita kelam tersendiri. Ia bunuh diri di usia sangat muda, 35 tahun, pada 24 Juli 1927, dengan menegak obat tidur secara berlebihan, setelah mengalami berbagai kelelahan mental dan keterguncangan mental.
Kini nama Akutagawa digunakan sebagai award bagi kesusastraan yang paling bergengsi bagi penulis-penulis baru di Jepang. Saya berharap ada penerbit yang berkenan menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya Akutagawa pilihan lainnya sebagai bahan bacaan, pemikiran dan perenungan yang tak kunjung terselesaikan.
April 2010