Jujur Prananto – Parmin

Jujur Prananto adalah pengamat sosial yang menulis pengamatannya dalam cerpen-cerpen. Ia sesungguhnya mengkritik banyak hal, mulai dari pejabat, orang kaya, orang pinggiran juga diri kita sendiri.

Penulis: Jujur Prananto
Judul: Parmin
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Tahun: Februari 2002
Tebal: xiv + 160 hal

Tidak ada kisah nyata dalam cerita-cerita Jujur Prananto, meski membacanya seolah ia dekat dengan hal sehari-hari. Sebagaimana yang diakui Jujur dalam pengantarnya yang menarik untuk buku kumpulan cerpennya, Parmin, bahwa sebagian besar cerpennya hanyalah terinspirasi bukan berdasarkan kejadian nyata. “Karena saya memang tidak pernah tega (atau tidak tega) begitu saja mengalihkan suatu kejadian nyata menjadi sebuah cerita. Mengarang bagi saya lebih dekat dengan proses berandai-andai. Seandainya saya mengalami kejadian itu.. seandainya bukan seperti itu yang terjadi.. seandainya yang terjadi adalah sebaliknya..”

Namun itu bukan berarti Jujur juga tidak tega mengolok-olok kejadian nyata dalam cerpen-cerpennya. Justru tutur cerita Jujur yang seolah nyata adalah “kejahilan” (meminjam istilah Jujur sendiri) untuk mengacak-acak kejadian nyata, menertawakan realita, memplesetkan peristiwa. Dengan lihainya Jujur memilin inspirasi kejadian nyata dengan pretensinya sehingga pembaca menemukan sisi lain dari satu peristiwa yang mungkin terasa kejam, atau mungkin syahdu, bahkan mungkin terasa tertetawakan.

Sang Pahlawan (1998). Tema cerita ini semestinya menarik, tentang mafia tipu-tipu antara pengusaha dan penguasa. Namun, ada beberapa kesembronoan detil yang mengganggu kesan realisme cerpen. Misal, bagaimana mungkin tugas mengantar uang sogokan yang cukup besar diserahkan pada kurir bersepeda motor. Mungkin ini cara Jujur untuk mengolok-olok, betapa bodohnya seorang “pahlawan”.

Nasib Seorang Pendengar Setia (1996). Tentu saja mendengar itu baik. Bersikap setia pun baik. Namun menjadi pendengar setia adalah konyol. Sama konyolnya menjadi pembicara yang mengharapkan selalu ada pendengar setia. Sebuah ledekan tajam tentang hubungan atasan-bawahan yang palsu. Saya tersipu-sipu sendiri membaca cerita ini.

Luka (1997). Sebuah tafsir tentang masyarakat yang penuh kasak-kusuk, dimana kebenaran adalah hasil sugesti dan ancaman. Protes halus masa-masa Orde Baru dalam cerpen bergaya surealis.

Perjalanan Dua Pencari Alamat (1992). Jakarta adalah rongga mulut besar yang akan menelan siapa saja yang memasuki wilayahnya yang dari hari ke hari semakin tak bernama saja.

Perjalanan Terpanjang (1990). Kau boleh membual setinggi-tingginya tentang deretan keberhasilan perusahaanmu, tentang melimpahnya kehidupanmu, atau tentang perjalanan duniamu yang menggiurkan. Namun semua tumpukan kartu kreditmu, atau sertifikat depositomu, juga Dollar Amerikamu sama sekali tak berarti saat kau berada di dusun terpencil. Mereka takkan bisa membelikan apa-apa untukmu, hanya Rupiah yang bisa bicara.

Bahasa Inggris (1992). Seorang pejabat tinggi harus berpidato di forum internasional, dalam bahasa Inggris tentunya, bahasa yang sama sekali tak bisa ia ucapkan. Silakan tebak apa yang harus ia lakukan. Lagi-lagi sebuah bahan tertawaan yang mungkin keterlaluan, namun kapan lagi kita bisa menertawai pejabat-pejabat bodoh yang kariernya melejit hanya karena pandai menjilat sana-sini.

Parmin. Cerpen terbaik Jujur Prananto. Cerita yang sangat menyentuh. Saya yakin banyak pembaca yang terharu membaca kisah Parmin, es krim dan tiga anaknya, yang notabene diadaptasi dari pengalaman otentik sang cerpenis.

Seorang Ayah dan Anak Gadisnya. Tak cukup jelas, apakah Jujur hendak mengeksplorasi aspek psikologis sang ayah atau anak gadisnya. Sang ayah tampak baik-baik saja bahkan terlalu ideal. Sedangkan kecemasan si gadis mungkin agak berlebihan.

Ibu Memintaku Segera Pulang (1989). Cerita ini tidak cukup berhasil menyentuh saya. Awal cerita yang penuh basa-basi mengaburkan pergulatan kebimbangan si aku yang semestinya bisa sangat menarik. Pergulatan itu baru muncul di halaman-halaman akhir cerita yang membuatnya tampak terlalu padat dan terburu-buru.

Wabah (1991). Sindiran nyinyir dan sarkastik Jujur Prananto pada fenomena judi “Porkas” yang marak di akhir tahun 80-an. Menarik.

Ibu Senang Duduk Depan Warung (1991). Salah satu cerpen favorit saya. Bagi saya, cerpen ini sebagusnya dihentikan di bagian “Kaki Asih melemas dan ia pun jatuh pingsan”. Ia akan memberikan efek haru yang pantas. Sedangkan scene terakhir, yaitu kegelisahan Asih di tempat tidur terutama ajakan suaminya hanya akan menganggu dan mengalihkan nuansa haru-biru ke hal-hal yang tidak perlu bagi cerita.

Dua Pemerkosa (1993). Imajinasi liar Jujur Prananto tentang dua orang pemerkosa yang melarikan diri dari penjara. Agaknya bagi Jujur, hukuman penjara kurang menjera para penjahat pemerkosa. Hukuman paling pas bagi pemerkosa adalah…? Ada sisi psikopatik dalam diri Jujur Prananto.

Helm. Sebuah helm baru adalah setangkup cerita. Ia bukan sekedar pelindung kepala, melainkan juga bahan renungan yang menggelisahkan.

Paduan Suara (1994). Jika anda menyukai cerpen “Bahasa Inggris”, kali ini Jujur menawarkan bahan yang tak kalah menarik untuk ditertawakan. Masih tentang perilaku orang-orang di lingkungan pemerintahan. Jika saat ini anda masih bisa menertawakannya, maka kita patut bersedih karena itu berarti perilaku itu tak jua berubah meski Jujur telah menamparnya di tahun 1994.

Reuni (1993). Jujur menohok lagi. Saya suka cerita ini. Ia menjewer saya mentah-mentah. Usai membaca cerpen ini, hati saya berjanji untuk mengunjungi adik saya minggu depan… Ya, minggu depan.

Peran-peran Semu (1985). Salah satu cerpen lawas Jujur Prananto. Katanya, cerpen ini terinspirasi setelah menonton acara lawak di tv. Dan bukan Jujur bila tidak menemukan konteks sosialnya. Eksploitasi dunia panggung, perjuangan artis pinggiran untuk menjadi ada, juga riuhnya masyarakat untuk menonton karena gossip, bukan karena pertunjukan itu sendiri. Dan, itu semua masih ada sekarang.

Jujur Prananto adalah pengamat sosial yang menulis pengamatannya dalam cerpen-cerpen. Ia sesungguhnya mengkritik banyak hal, orde baru, kehidupan modern, Jakarta, pejabat pemerintah, orang kaya, orang pinggiran bahkan diri kita sendiri. Semuanya ditulis dalam bahasa yang ringan-ringan saja. Cerpen-cerpennya bisa dinikmati sembarang waktu. Dan, langsung mengena. Langsung mengusik. Tidak perlu kening berkerut berkepanjangan. Mungkin beberapa cerpennya kurang dalaman. Hampir seluruh cerpen-cerpen Jujur saya kenal melalui rubrik sastra koran yang memberikan ruang sangat terbatas bagi penggalian-penggalian. Namun itu bukan masalah besar. Jujur hendak menghibur dan membuat kita sesekali tersedak. Jujur tahu bagaimana bergerak deras tanpa kehilangan saat-saat reflektif.

Jujur menulis banyak cerpen. Namun entah apa yang melandasi pemilihan cerpen-cerpen dalam buku kumpulan cerpen “Parmin” ini. Jika menilik tahun-tahun tayang, tentu mestinya cerpen “Kado Istimewa” (1991) dan cerpen kesukaan saya “Nurjanah” (1991) atau cerpen cantik “Jakarta Sunyi Sekali Di Malam Hari” (1999) patut dikompilasi. Juga cerpen-cerpen lain yang terserak di mana-mana.

Pada saatnya kelak kita perlu menerbitkan antologi lengkap cerpen-cerpen Jujur Prananto, karena diakui atau tidak, Jujur Prananto adalah salah satu cerpenis kesayangan Indonesia.

April 2010