Puisi bagi Mawie, bukan soal bentuk, meski ia punya disiplinnya sendiri, melainkan soal isi. Dan, ia tak hendak menyembunyikannya. Itu kenapa puisi-puisi Mawie tampak lebih jujur dari kebanyakan.
Penulis: Mawie Ananta Jonie
Judul: Cerita Untuk Nancy
Penerbit: Ultimus, Bandung dan Lembaga Sastra Pembebasan
Tahun: Cetakan I, Bandung, September 2008
Tebal: x + 118 hal
Saya tak hendak membicarakan politik, meski politik senantiasa berusaha menggempur hidup kita, pagi siang, malam. Saya lebih tertarik mengamati apa yang terjadi dalam diri saya saat bercermin pada kisah-kisah hidup orang lain, termasuk orang yang pernah dibenci secara politik oleh rezim penguasa. Salah satu orang itu adalah Mawie Ananta Jonie. Nama yang mungkin tak cukup bergaung dalam lembar-lembar sastra tanah air. Itu bisa dipahami. Mawie adalah aktivis IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), kelompok pelajar yang dianggap dekat dengan PKI. Mawie adalah sebagian dari anak Pertiwi yang tak pulang, menjadi kaum exile. Dan, kaum exile itu menulis puisi.
Dia Yang Telah Diberitakan Mati
Lelaki itu pulang ke kampung asalnya dari negeri bawah laut,
setelah puluhan tahun tanpa pasport-kewarganegaraannya dicabut.
Seorang guru sahabat karibnya datang membawa segenggam hati,
dalam satu percakapan ia bercerita lelaki itu diberitakan telah mati.
Kenalan seorang tentara bilang lelaki itu wartawan komunis,
telah terbunuh bersama Aidit dan pengikutnya ditumpas habis.
Bulan Desember tahun 1964 lelaki itu meninggalkan tanah air,
untuk tugas belajar di negeri Yang Zhe Jiang terus mengalir.
Masih hidup lelaki itu dan bertemu orang sekampung yang setia,
sedang penguasa masih saja ditopang dosa dosa dan senjata.
Mawie menulis puisi dengan pola khas. Setiap baitnya terdiri dari dua kalimat yang ditutup dengan irama yang sama. Mawie tidak berdiet kata-kata, setiap barisnya bisa memuat kalimat-kalimat panjang. Membacanya selalu berirama.
Tentu saja buku kumpulan puisi Mawie Ananta Jonie, sang eksil itu, dipenuhi puisi-puisi perjuangan yang dibalut dengan kerinduan.
Kenangan Dan Ingatan Itu
Ketika aku pulang dan mampir di Payakumbuh
apakah yang menjadi keinginanku datang dari jauh?
Bukan penyaram atau gelamai kesukaan masa mudaku,
tapi tegur sapa pemakai bajukurungnya menyemai rindu.
Aku anak Lubuk Alung tempat kereta api bersibak jalan,
satu bersimpang ke Bukittinggi satu lagi ke Pariaman.
Lalu apa yang menjadi ingatanku dengan kedua kota ini?
yang pertama ngarainya yang kedua ombak dan badai.
Bila pekik dan teriak turunkan harga BBM teRdengar lantang,
di depanku kelaparan dan kemiskinan sedang meradang.
Orang bilang kau kan punya paspor Belanda mengapa?
aku sudah lama bilang hati kami Indonesia.
Namun kerasnya perjuangan dan resahnya hidup dalam keterbuangan tidak membuat hati Mawie mengeras. Puisi-puisinya bertutur lembut. Mawie mendekati peristiwa dan alam secara halus.
Matahari Musim Semi
Burung jalak itu sudah lama tak kudengar suaranya lagi,
sejak bulan bulan dingin menjadi hari demi hari.
Semua berjalan seperti tak terduga kejadian demi kejadian,
atau langkah langkah datang dibawa rasa dan impian.
Ada yang jatuh lalu berpecahan melukai kepingan masa lalu,
dan apa yang jadi buah pikiran itu jadi gumpalan bisu.
Matahari musim semi pagi ini menembus kaca jendela,
mengetuk hatiku yang pintunya senantiasa terbuka.
Aku Kehilangan Masa Laluku
Dulu ketika kereta api di daerahku masih saja merangkak,
bendi dan pedati menjadi pendukungnya berpihak.
Sekarang di manakah kau kereta penghubung desa dengan kota,
penyambung sawah ladang dengan pasar yang terbuka.
Nagari berkembang menjadi kecamatan lalu lintas dilupakan,
tanah pusaka rang kampung dibidik jadi sasaran pembangunan.
Aku tak dengar lagi burung bubut bersuara di pohon pisang,
mengantarkan kabar hujan panas di pagi atau di petang.
Terasa sekali satu satu peninggalan lama lenyap dari kampungku,
Seperti lesung penumbuk padi ke manakah ku cari suaramu.
Lahir di Minang, turut berjuang di Tiongkok dan kini menetap di Belanda tercermin dalam beberapa puisi Mawie. Semacam puisi Tiongkok dengan cengkok Minang kental dilabur tema pergerakan.
Sehabis Penyeberangan Sungai Maong Thang
Sehabis penyeberangan sungai Maong Thang malam itu,
lalu bersaling dan segera bergerak sebelum diburu.
Ini pengunduran penyelamatan kekuatan menyerang,
karena untuk berhadaphadapan tak seimbang.
Pagi hujan teduh mereka rebut waktu di sebuah hutan,
memasak nasi dan sayur liar untuk dimakan.
Sehari semalam perut lapar perjalanan jauh,
pesawat datang menembaki tempat berteduh.
Hutan dan rimba jadi saudara kandung,
di langit suara serak meraungraung.
Bergerak.. dan tetap bergerak.. meski usia Mawie tak lagi muda, bahkan mulai khawatir pada gejala Parkinson. Dalam puisinya bertebaran kalimat-kalimat bersemangat perjuangan, seperti: Tapi di atas segala galanya itu, kita masih punya tinju (Kita Orang Orang Yang Tak Mau Jadi Budak), Di atas pisang di bawah jantung, di tengah tengah pohon kelapa, biar dipasang biar digantung, asal kita tetap merdeka (Di Batas Renville), Hujan dan petir jatuih di ngarai, ini kerja belum selesai. (Bergerak Ke Selatan Membuka Jalan Utara), Kalau ingin bendera kemerdekaan itu berkibar, bebaskan kampung dari lapar (Musim Gugur Tahun 1968), Bung aku masih mampu bertahan dan berlawan. Catatkan namaku hai kawan kawan! (Bung Aku Masih Mampu Bertahan).
Pada Sebuah Sisi Pinggiran Kota
Orang orang berusia senja itu datang dari jauh,
berkunjung pada taman kanak-kanak yang tak pernah mengeluh.
Di sini mereka dihangati api dan semangat dari ruangan kosong,
tanpa bangku tanpa buku terpisah dari anak-anak gedong.
Guru guru tak bergaji dan kerja dengan tenaga sukarela,
didukung penduduk yang tak punya kerja.
Sebuah ruangan tanpa bangku tanpa buku,
puluhan anak anak bermain dengandua tiga ibu guru.
Cingkareng di pinggir kali,
Pernahkah Gubernur melirik kemari?
Mengapa membaca Mawie? Selain karena membaca puisinya adalah membaca pergulatan manusia, saya percaya amarah, kebencian dan prasangka hanya berguna untuk sebuah tingkat kewaspadaan, namun sama sekali sia-sia untuk berkenalan sebagai sesama manusia. Ya, kita manusia yang sama, yang pada saatnya akan menyadari hidup ini sesungguhnya tak butuh lebih banyak lagi, selain menjalin kalimat saudara. Namun sebelum itu, turunkan dulu tirai politik.
Ada Bulan Dalam Kabut
Dari seberang pagar gubuknya bayangan kekasih datang,
sunyi di pegunungan suara langkahnya semakin terang.
Mereka berlepas rindu dan turun ke tepian mandi bersimburan,
pada lika liku perjalanan jauh ini pertemuan dinyalakan.
Tertutup wajah itu oleh rambutnya yang keriting sedikit sedikit,
Desah air bersentuhan dengan pekik belibis jauh di langit.
Ada bulan dalam kabut,
melepas mimpi hanyut ke laut.
Buku kumpulan puisi Mawie Ananta Jonie, bertitel “Cerita Untuk Nancy” berisikan puluhan puisi-puisi Mawie, yang bercerita tentang hidupnya. Pergerakan, kerinduan, keterasingan, ketakutan juga kecintaannya. Puisi-puisinya seperti puisi Tiongkok, dengan beberapa kata Melayu. Kalimat-kalimatnya cenderung lurus-lurus saja, sederhana, tidak banyak menyembunyikan sesuatu.
Mawie membiarkan kalimat-kalimatnya panjang dan bercerita. Seolah tak terpengaruh oleh hiruk pikuk gelombang perubahan gaya puisi-puisi Indonesia, puisi Mawie terkesan kuno. Tapi Mawie berteguh hati, ia tetap bertahan pada gayanya. Karena agaknya bagi Mawie, bukan soal bentuk, meski ia mempunyai disiplinnya sendiri, melainkan soal isi. Tentang cerita. Tentang kisahnya. Ya, Mawie ingin bercerita tentang pergulatan hatinya. Dan, ia tak hendak menyembunyikannya. Itu kenapa puisi-puisi Mawie selalu tampak lebih jujur dari kebanyakan.
April 2010