Seratus kata adalah untuk memenuhi dahaga kita akan kisah-kisah manusia yang rumit, dramatis, tragis namun kita tak cukup waktu untuk berbasa-basi dengan tetek bengek sastra.
Penulis: Kumpulan Cerita
Judul: 100 Kata: Kumpulan Cerita 100 Kata
Penerbit: Antipasti, Jakarta
Tahun: Cetakan II, Februari 2010
Tebal: vi + 111 hal
100 kata..? Menulis cerita hanya dalam 100 kata. Pas. Tidak bisa ditawar. Awalnya saya pikir ini hanya main-main. Cerita apa yang bisa diceritakan hanya dalam seratus kata? Mungkin hanya lelucon yang bisa ditulis kurang dari seratus kata. Apakah ini semacam lucu-lucu dalam seratus kata. Bahkan untuk sebuah cerita humor, seratus kata terlalu panjang bukan? Namun saya singkirkan pikiran sinisme itu, dan biarkan keinginan-tahuan saya menuntun untuk membeli buku “Kumpulan Cerita 100 Kata” ini.
Tidak ada nama-nama “terkenal” di daftar penulis cerpen: Andi F. Yahya, Hotma Juniarti, Jamaluddin Ahmad, Jessy ‘Jay’ Faiz, Krisna Adityawan, Laila Achmad, Nita Sellya, Nurkastelia Anugrasindy. Saya pun mulai meyakini, jangan-jangan ini adalah semacam trend baru imbas perkembangan teknologi jaman sekarang.
Teknologi modern yang katanya memberikan ruang seluas-luasnya bagi imajinasi kreatif justru ditantang oleh dirinya sendiri melalui media-media yang membatasi ruang geraknya. Misal, satu sms tak lebih dari 160 karakter. Satu Tweet hanya beberapa belas kata saja. Bagi kita, mungkin itu sudah lebih dari cukup. Densitas aktivitas yang semakin hari semakin rapat, ditambah semakin terlalu banyaknya lalu lintas data yang berseliweran di ruang hidup menuntut kita menemukan cara berekspresi yang semakin ringkas namun tak kehilangan impresi. Sesuai hukum ekonomi; efisien, efektif dan effortless.
Sebelum lebih jauh, saya berusaha bersikap positif. Bukankah dalam dunia puisi kita bisa temukan aturan-aturan yang membatasi, baik dalam hal jumlah baris, bait, suku kata juga bunyi. Toh tak sedikit puisi-puisi yang penuh aturan itu menjadi karya sastra yang patut dikagumi. Ambil contoh yang cukup ekstrim: haiku. Hanya dengan tiga baris kalimat, atau dalam tradisi asli Jepang ditambah dengan batasan jumlah suku kata 5 – 7 – 5, penulis-penulis haiku terkemuka mampu menyajikan keindahan dan naturalitas yang menakjubkan. Akankah cerita 100 kata mampu menampilkan haiku 100 kata, yang saya bayangkan itu berarti 100 kali keterpukauan. Atau, harapan saya berlebihan?
Saya coba berpikir realistis. Menulis cerita dalam seratus kata adalah sebuah percobaan dan tantangan yang menarik. Saya penasaran dengan kata Damhuri Muhammad di cover belakang buku ini, bahwa menulis cerita seratus kata mengharuskan penulis membuang semua basa-basi, tidak ada kulit, semua isi, semua substansi, yang lantas disudahi dengan pelbagai modus “surprise ending” yang jitu, tajam dan mencengangkan. Jika demikian, nyaris benar dugaan saya, cerita seratus kata mungkin bukan cerita lelucon, melainkan meminjam modus cerita lelucon dalam menutup cerita yang mengguncang dan mengecoh pembaca dalam arti positif.
Cerita pertama di buku Kumpulan Cerita 100 Kata berjudul “Surat Cinta” karya Nurkastelia Anugerasindy membuyarkan hipotesa saya. Ternyata surprise atau lebih tepatnya ketegangan itu sudah dimulai di kalimat pertama “Temanku memotong urat nadinya Senin lalu.” Lalu cerita bergerak tangkas mencekam, cerdik dan efisien. Ia menuntut saya cepat membaca. Di kalimat terakhir, cerita ditutup dengan kejutan yang tak kalah mengganggu. Ia tak menjawab ketegangan yang dibangun mulai awal, justru menimbulkan keseruan baru.
Belum usai saya mampu menenangkan diri dari ketegangan di akhir cerita pertama, saya sudah dituntut membaca cerita ke dua tepat di halaman sampingnya “Aku Sayang Kamu” karya Krisna Adityawan. Kalimat pertamanya pun tak kalah menarik kerah leher saya, “Bilang ‘aku sayang kamu’, dong..” Trik berulang, semua kalimat minta perhatian, membangun rasa penasaran, sampai akhirnya ditutup dengan kalimat yang berusaha menohok kita begitu saja. Ada sekitar 90 cerita yang berlomba mencari perhatian kita secepat mungkin. Hanya dengan seratus kata.
Tanpa sadar saya menyudahi buku ini hanya dalam hitungan lebih kurang seratus menit saja. Saya merasa ini terlalu cepat. Apakah saya kurang menikmatinya? Saya pikir, saya menikmati cerita-ceritanya. Terbukti, saya sering tersenyum sendiri di ujung sebuah cerita. Tetapi saya merasa ada suatu kenikmatan yang hilang dibanding ketika saya membaca cerita-cerita konvensional. Cerita seratus kata terlalu sesak, terlalu ringkas, juga terlalu efektif. Ia seperti sepiritus. Begitu dibakar ia kontan menyulut panas, namun hanya beberapa detik ia menguap dan hilang tanpa bekas. Ia tak memberi ruang bagi saya untuk merasakan hangat menuju panas lalu turut meleleh. Namun anehnya, saya ingin merasakan lagi sensasi itu. Maka saya pun bergegas menuju cerita selanjutnya untuk menemukan ketegangan dan sensasi baru. Kumpulan Cerita Seratus Kata ini tak memberikan kesempatan bagi saya untuk menghela nafas, menutup buku sejenak, menghirup kenikmatan sebelum melanjutkan cerita baru.
Apakah cerita-cerita seratus kata boleh dibilang jelek? Oo.. tidak, saya tidak mengatakan itu. Meski sebagian besar cerita-ceritanya boleh dibilang mengutamakan sensasi, ada beberapa cerita yang saya suka. Laila Achmad adalah penulis favorit saya karena ia mampu menulis dengan berbagai gaya dan tema. “Puisi-Puisi”, “Kasih Ibu, Kepada Beta…”, “Istri Yang Baik”-nya membuat saya mengangguk, seratus kata? Ya, kenapa tidak. Seratus kata pun mampu untuk menjadi tragis. Laila Achmad juga perlu diapresiasi karena seratus katanya dalam bahasa Ingris: “This Is How I Learned My Colors” dan yang paling saya suka “Lull”.
Cerita “Jasamu Tiada Tara” karya Nurkastelia Anugerasindy ringkas namun memberikan rasa trenyuh sebagaimana saya membaca karya-karya Jujur Prananto. Ceritanya yang lain “Terakhir” dan “Mengenai Perempatan” juga baik dibaca. Krisna Adityawan banyak menulis cerita tentang kerumitan seks, namun yang unik adalah seri “Si Kucing Jantan”. Agak nyeleneh, ia menulis “Aku Menjemput” dengan gaya puitis. Cerita-cerita lain patut diperhitungkan “Kekasih Kedua” Andi F. Yahya, “Aman” dan “Keikhlasan” Hotma Juniarti, “Bolehkah Aku Berdiri di Sebelahmu?” dan “Ironi” Jessy ‘Jay’ Faiz, “Menunggu” Nita Sellya, “Dramatis” Jamaluddin Ahmad.
Untuk apa seratus kata? Ya… ini adalah seratus kata untuk memenuhi dahaga kita akan kisah-kisah manusia yang rumit, dramatis, tragis namun kita tak cukup waktu untuk berbasa-basi dengan tetek bengek sastra. Bagaimana pun ini sebuah awal yang menjanjikan. Saya harus yakin bahwa kelak akan hadir sebuah cerita seratus kata yang cantik, dalam dan berwibawa sehingga ia dilirik oleh para pujangga-pujangga kita.
Ijinkan saya mengutip cerita berikut:
***
“Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku apa sih artinya cinta?”
Jeglek! Tuuuuutttttt….
Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh dompetnya. Tak ada lagi koin di sana. Ia banting gagang telepon itu dengan kesal.
Pengantre yang sejak tadi menunggu segera menyerobot dengan setengah memaksa. Pengantre lain pun mendekat dengan wajah mengancam. Semua orang punya keperluan penting. Tak seorang pun peduli dengan wanita itu, yang setelah menukarkan uang kertasnya dengan setumpuk koin di kios rokok, segera ikut menunggu kembali, meskipun hujan turun dengan deras.
Wanita indah yang wajahnya gelisah itu tidak lari berteduh – ia tetap menunggu, sampai basah kuyup. Ia juga punya keperluan penting. Ia masih menyimpan sebuah pertanyaan untuk cinta.
***
Kutipan di atas bukanlah cerita seratus kata. Total kata-katanya sekitar 115 buah. Nyaris seratus kata bukan. Takkah ia bisa dimaafkan? Lagipula ia memang hanya paragrap-paragrap terakhir dari sebuah cerpen cantik “Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta” karya Seno Gumira Ajidarma.
Mei 2010