Cerita Tentang Rakyat Yang Suka Bertanya

Buku ini berharap para penulis mampu merefleksikan pengalaman berdemokrasi bangsa ini agar bisa dijadikan sebagai bahan pencerahan. Ya, ini beban yang sangat berat.

Penulis: Kumpulan Cerpen
Judul: Cerita Tentang Rakyat Yang Suka Bertanya
Penerbit: Demos, Jakarta
Tahun: Cetakan I, Januari 2010
Tebal: viii + 186 hal

Kemudian kita meminta tolong pada pendongeng untuk mengabarkan tentang negeri ini. Di antara mereka ada yang mengumpat betapa bedebahnya bangsa ini. Ada pula yang menertawakan, alangkah lucunya negara dan tanah air yang kita cintai. Sangat sedikit yang melihat titik api ungun di kejauhan malam berkabut. Itu kenapa politisi, meski habis dicaci dan dimaki, toh masih dicari-cari. Janji-janji manis mereka ternyata cukup mujarab untuk jadi mimpi-mimpi.

Memang bukan pekerjaan pendongeng untuk menawarkan gula-gula pereda pahitnya kehidupan. Justru kebanyakan dari mereka malah menjelentrehkan kegetiran untuk sama-sama kita tertawakan. Tidak ada yang lucu memang, malah sangat keterlaluan. Namun hidup siapakah yang lebih baik ditertawakan selain hidup kita sendiri? Negara manakah yang lebih baik kita guyonkan selain negara kita sendiri? Semakin keras tawa kita, benarlah kata pedongeng-pendongeng itu, semakin lucu dan bedebahlah berkebangsaan kita.

Buku kumpulan cerpen dengan judul yang sangat politis “Cerita Tentang Rakyat Yang Suka Bertanya” agaknya disusun dengan tugas untuk mendongengkan kisah-kisah mutakhir berkebangsaan kita, terutama tentang bagaimana kira berdemokrasi. Tugas itu datang dari penerbit buku ini, Demos, yang notabene adalah sebuah lembaga kajian demokrasi dan hak asasi.

Dalam kata pengantarnya yang berapi-api, Antonio Pradjasto, direktur eksekutif Demos, menulis bahwa demokrasi Indonesia dibangun di atas pondasi yang lapuk. Pertandanya adalah semakin merosotnya kualitas kebebasan sipil, semakin banyaknya kekerasan yang menimpa kelompok-kelompok berkeyakinan tertentu, diskriminasi etnis yang tak membaik, masih banyaknya penggusuran, perampasan, dan rendahnya angka kecukupan gizi anak-anak, penyimpangan terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional, tingginya anak putus sekolah, termasuk anjloknya supremasi hukum diinjak-injak mafia. Namun demikian, demokrasi sebagai pilihan harus terus diperkuat. Demokrasilah yang membebaskan sekaligus mengikat orang dalam tatanan kehidupan bersama.

Maka buku kumpulan cerpen ini diharapkan bisa menggambarkan dinamika kehidupan sehari-hari bangsa kita dalam berdemokrasi. Demos percaya, pengalaman-pengalaman nyata atau setidaknya pencerapan para pendongeng dalam melihat kehidupan bisa ditransformasikan agar kelak bisa menjadi bagian dari bangunan demokrasi. Ini sebuah target yang boleh dibilang heroik. Saya segera membayangkan cerita-cerita yang gagah berani, getir, tragis, epik namun dengan akhir mencerahkan. Melihat nama-nama cerpenis yang terlibat dalam proyek ini, saya tak mempunyai sedikit keraguan.

A.S. Laksana – Bagaimana Berpolitik Melalui Seekor Kodok. A.S. Laksana adalah pengganggu. Esai-esainya yang rajin muncul di koran dan situs-situs internet tak pernah kehabisan bahan untuk memerahkan telinga mereka yang disentil. Sebagai cerpenis, A.S. Laksana adalah penutur ulung yang mengasyikkan. Namun untuk cerpennya kali ini, saya tidak menemukan apa-apa selain ocehan ngalor-ngidul tanpa maksud memberikan pemahaman. A.S. Laksana tetap menulis bak pendekar yang menjewer ke sana-kemari, seperti ibu mertua cerewet.

FX Rudy Gunawan – Cerita Tentang Rakyat Yang Suka Bertanya. Tugas FX Rudi Gunawan di proyek ini adalah sebagai editor. Sebuah tugas yang tidak mudah. Sekali lagi maafkan saya, cerpen FX Rudi Gunawan pun tak memenuhi harapan saya terhadap buku ini. Sama seperti A.S. Laksana, FX Rudi Gunawan hanya bermaksud menjadi bocah bandel yang mempertanyakan segala sesuatu.

Irwan D. Kustanto – Monolog Tongkat. Semestinya cerita kali ini bisa dibangun dengan menarik. Penulis, Irwan D. Kustanto, adalah pelaku sesungguhnya tokoh utama, si tuna netra yang harus jatuh bangun kehilangan tongkat saat memperjuangkan nasib dan hak-hak penyandang tuna netra di depan gedung bundar. Cara penulisannya yang menebarkan kalimat-kalimat puitis patut dinikmati. Hanya saja, itu malah membuatnya jauh kesan tragis.

Lan Fang – Festival Topeng Nasional. Nama Lan Fang sebagai cerpenis dan penggiat seni semakin harum saja. Festival Topeng Nasional bercerita tentang pembuat topeng yang termakan oleh topengnya sendiri. Niatnya cukup baik. Namun, bagi saya, cerpen Lan Fang ini serba tanggung. Seolah ia ingin mengangkat topik mutakhir melalui pendekatan etnik nan esoterik. Seolah ia ingin menulis sebuah metafora yang eksotik. Saya tidak menangkap semua itu terjalin secara nyaman. Saya merasa, cerpen ini ditulis dalam tenggat waktu yang mendesak.

Linda Christanty – Para Pencerita. Saya suka cerita ini. Saya membacanya beberapa kali. Linda Christanty cukup berhasil menulis sebuah cerita tentang pergulatan “demokrasi” dalam kehidupan yang sangat sehari-hari. Pergulatan itu dilakoni oleh para perempuan yang dikhianati suaminya, yang cinta pertamanya tak kesampaian, yang memberanikan diri menuntut cerai, bahkan yang hilang entah kemana. Menariknya, Linda mendongengkannya melalui pengamatan seorang lelaki, si anak bungsu, Fahmi.

Martin Aleida – Wasiat Untuk Cucuku. Halaman-halaman awal cerpen ini cukup menghanyutkan saya. Tentang seorang kakek pada hari kelahiran cucu perempuannya. Namun ketika cerita memasuki halaman-halaman wasiat sang kakek pada si cucu, saya merasakan cerita menjadi terlalu berat, padat dan tidak lagi mengasyikkan. Pencerahan adalah baik. Namun nasihat yang diutarakan Martin Aleida lebih seperti tajuk atau laporan tahunan badan perlindungan perempuan.

Miranda Harlan – Menjadi Anjing. Cerita terbaik di kumpulan cerpen ini. Meski sarat dengan kuliah panas dan protes pada pusat kekuasaan di Jakarta, namun Miranda Harlan secara lihai menjalinnya dengan cerita kehidupan guru dan pengadu nasib di tanah perbatasan. Penutup ceritanya pun menakjubkan saya. Kebebasan hidup itu ada saat kita berubah menjadi seekor anjing dengan kipat-kapit ekor dan juluran lidah yang penuh kegembiraan. Selamat untuk Miranda Harlan.

Oka Rusmini – Grubug. Oka Rusmini adalah salah seorang cerpenis wanita kesukaan saya. Perempuan-perempuan dalam cerita Oka Rusmini selalu penuh daya mistis. Kali ini Oka Rusmini kembali memukau saya dengan tokoh Grubug. Meminjam kejadian nyata seorang nenek yang harus jadi pesakitan karena dituduh mencuri biji kakao. Oka Rusmini melambungkan Grubug dari ruang sidang pengadilan ke masa lalunya yang luar biasa: jatuh cinta pada ayahnya sendiri yang entah dimana, kehilangan ibunya yang disangka anggota Gerwani, meluluh-lantakkan syahwat lelaki dengan mantra-mantranya. Dengan detil-detil yang mengejutkan, cerita ini bersaing ketat dengan Menjadi Anjingnya Miranda Harlan.

Puthut EA – Juru Runding. Puthut EA mampu melepaskan diri dari beban untuk bercerita tentang demokrasi. Tutur ceritanya lancar dan ringan-ringan saja. Pesannya tentang makelar kekuasaan tidak terasa sebagai pidato yang berlebihan. Puthut EA bercerita tentang asal muasal seorang juru runding yang mampu mengatur berbagai hal di negara ini. Hanya saja, di akhir cerita saya sempat berpikir, “Mengapa kita lantas menghujat mereka?” Puthut EA seolah menjelma pembela juru runding yang licin dan lihai.

Sekali lagi, maafkan komentar saya atas cerpen-cerpen penulis terbaik negeri ini. Saya bukan seorang pengkritik sastra. Saya hanya tidak menemukan apa yang saya cari. Saya ingin membaca cerita-cerita yang gagah berani meski getir. Saya ingin menikmati kisah-kisah heroik meski tragis. Itu nyaris tidak saya dapatkan.

Yang saya temukan adalah tulisan dengan beban berat. Sebagian besar penulis merasa harus menyelesaikan sesuatu, menuntaskan target tertentu. Dan itu membuat cerita-ceritanya terkesan terpaksakan. Hanya beberapa penulis saja yang berhasil melepaskan diri dari jebakan ini.

Apakah saya berlebihan? Saya kira tidak. Kata Pengantar dari sang direktur Demos sempat mengutip kisah nyata Amartya Sen yang masa kecilnya harus melihat sendiri berbagai kekerasan justru berhasil mengubah keguncangan hidupnya menjadi sebuah refleksi yang kelak mengantarkannya meraih penghargaan nobel ekonomi.

Buku ini berharap para penulis itu mampu merefleksikan pengalaman berdemokrasi bangsa ini agar bisa dijadikan sebagai bahan pencerahan. Ya, ini beban yang sangat berat, terutama bagi para penulis yang tidak mengalami kejadian-kejadian besar itu dalam hidupnya. Memang benar, para penulis dianugerahi kemampuan untuk melayang bersama imajinasinya. Namun, bagi saya, itu bukan sebuah otentisitas bagi sejatinya sebuah pencerahan.

Baiklah, mungkin beban pencerahan itu terlalu berlebihan. Bagaimana dengan kritik sosial? Bukankah cerpenis adalah pengamat kehidupan yang baik? Kumpulan cerpen ini masih belum menyajikan cerita-cerita dengan kritik sosial yang menarik. Tiba-tiba saya teringat pada sebuah buku kumpulan cerpen lawas, yang terbit tahun 2002, oleh Republika, yaitu “Pembisik”. Saya pikir, inilah kumpulan cerpen kritik sosial yang bisa dijadikan referensi bagi Demos. Dan, salah satu cerpen yang saya ingat di buku “Pembisik” adalah “Telaga” karya Oka Rusmini, juga tentang perempuan yang menakjubkan.

Kegembiraan saya atas buku ini adalah disertainya sebuah cd story telling yang memuat semua cerita, sehingga saya bisa menikmatinya lebih seru di lebih banyak kesempatan. Untuk yang satu ini, saya acungi jempol tinggi-tinggi!

Mei 2010