Cerpen-cerpen AS Laksana seperti sihir yang menghadirkan sesuatu yang tak terduga-duga, yang kemudian meninggalkanmu dengan bibir melongo berlama-lama.
Penulis: AS Laksana
Judul: Bidadari Yang Mengembara
Penerbit: KataKita, Depok
Tahun: Cetakan I, Mei 2004
Tebal: 154 hal
Membaca cerpen-cerpen AS Laksana di kumpulan cerpen Bidadari Yang Mengembara ibarat menonton sulap. Jangan alihkan tatapanmu dari tangan si pesulap, atau kau terkecoh begitu saja. Ikuti setiap kata dan kalimat selayaknya kau tak mau tersesat dalam alur cerita yang tiba-tiba berkelok seenaknya sendiri.
Cerpen-cerpen AS Laksana seperti sihir yang menghadirkan sesuatu yang tak terduga-duga, yang kemudian meninggalkanmu dengan bibir melongo berlama-lama. Bila kau tak cukup cermat, AS Laksana berkelebat seperti hantu siang. Kau pun bertanya, “Itu tadi apa ya?”.
Cerpen-cerpen AS Laksana sungguh mengasyikkan. Kau tahu kau dibodohi, tapi kau tetap tertawa lebar menonton pertunjukan sulap. Imajinasinya liar, mengada-ada, selalu saja menemukan kesempatan untuk menyisipkannya di sepersekian detik pertunjukkan, lalu kau menganggapnya itu sebuah cerita baru yang tak ada salahnya kau nikmati. Ia menyelipkan apa-apa yang terbetik begitu saja, lalu terbahak-bahak. Bukankah sifat pikiran adalah liar.
Cerpen-cerpen AS Laksana memancing lintah-lintah hitam yang bersemayam di dasar hati gelap kita. Sekali kau bersorak dan bertepuk tangan, kau meludahkan lintah hitam itu. Namun jika kau menjaga image dengan bersikap menentang, maka itu sama sekali tak berarti kau tak memelihara lintah-lintah gemuk itu dalam paru-parumu.
Menggambar Ayah. Kerumitan hubungan AS Laksana dengan ayah dan ibunya bisa dilacak dari cerpen ini. Di cerpen-cerpen berikut kekacauan itu semakin menjadi-jadi. Di cerpen pembuka ini, Menggambar Ayah adalah kerinduan AS Laksana pada kedua orangtua; ayah dan ibu. Secara kurang ajar, AS Laksana menggambar penis sebagai ayahnya. Itu pantas, karena ia tak pernah tahu ayahnya. Yang ia tahu ia lahir dari lorong seorang ibu yang sebelum dijejali oleh beragam penis. “Tapi orang yang bisa kupanggil bapak itu tak pernah datang. Agaknya Ibu tak pernah berpikir untuk memberiku seorang bapak. Maka aku membikin sendiri bapakku. Di kamarku, aku menggambar sebatang penis.”
Bidadari Yang Mengembara. Cerita yang berkelok-kelok, menikung tajam seenaknya sendiri, naik turun tanpa peduli apakah pembacanya mengerti atau tidak. Ini bukan cerita yang akan menghiburmu. Tokoh cerita berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Dunia berputar terbalik-balik. Kau pun terkocok dalam roller coaster yang memusingkan, malah membuatmu muntah. Selamat datang di dunia ajaib AS Laksana. Nikmati saja. “Aku yakin kita tidak salah,” kata bangau ketiga. “Mungkin ia tidak paham bahasa kita, namun kelak ia akan bisa membuat tafsirnya.”
Seorang Ibu Yang Menunggu. Awalnya adalah sebuah pertanyaan klasik dari pelajaran biologi “Dari mana bayi keluar, Ibu?” lalu berujung pada sebuah kekurang-ajaran yang memualkan. “Si anak menyingkap kain ibunya dan mendekatkan kaca pembesarnya. Perempuan itu membacakan mantra-mantra.” Meski AS Laksana menjalin cerita ini dengan kutipan-kutipan dahsyat dari film Rob Roy, Catatan Pinggir Goenawan Mohamad bahkan kisah dalam kitab suci, itu hanya menguatkan betapa melambungnya imajinasi AS Laksana. Maka, kita pun perlu berdingin kepala membacanya.
Burung Di Langit Dan Sekaleng Lem. AS Laksana menjelma anak jalanan yang hidupnya lebih tragis ketimbang burung di langit, namun ia masih hapal doa-doa yang diajarkan ayah ibunya, termasuk cerita tentang raja dan ibu yang menanak batu. Baginya cukuplah menu hidup sekaleng lem untuk kemudian mempersetan siapa pun. “Sipah orang yang baik, ia sering membelikan aku makan jika aku tidak punya uang sama sekali. Kuhisap rokokku, kupejamkan mataku, kurasakan tangan Sipah di kelaminku.”
Seekor Ular Dalam Kepala. Kejadian di awal penciptaan berulang lagi. Perempuan itu kerasukan ular di kepalanya. Ular yang sama yang pernah meminta dipetikkan apel. Kini ular itu meminta lebih: perselingkuhan. Jangan segera tergopoh-gopoh jika AS Laksana dengan seenak-enaknya mengutip berbagai kisah-kisah yang kau anggap suci, termasuk pembelahan laut merah di cerpen terakhir di buku ini, untuk digoreng dalam cerpen-cerpennya. “Seorang perempuan bangun pagi dengan beribu rasa aneh yang menjalari tengkuknya. Tiba-tiba dia merasakan ada seekor ular kecil menyelinap dalam liang telinganya.”
Telepon Dari Ibu. Akhirnya ada juga cerita yang “benar” di buku ini. Mungkin inilah satu-satunya cerita yang tergolong “santun” sebagaimana cerpen kebanyakan. Menceritakan kerinduan seorang ibu dan anak perempuannya yang sedang mengandung yang menikah tanpa restu orangtua mereka. AS Laksana pun menyelesaikan tugasnya dengan baik, menjadi anak manis menulis sebuah cerpen yang manis. “Yun! Dari Ibu!” seru suaminya. Yun seperti terbang dari wastafel dan menyergap gagang telepon dari suaminya.”
Buldoser. Meski meneruskan suasana hati menjadi anak manis dengan menulis sebuah cerita yang mengharu-biru, AS Laksana toh menyelipkan hujatan pedas. Ia seolah ingin membuktikan bahwa nasib beberapa manusia bisa teramat buruk saat berhadapan dengan buldoser. Sikap pasrah dan ikhlas tak cukup membuat Tuhan iba akan nasib anak-anak ciptaannya. “Apakah Tuhan tak suka diprotes?” tanyaku. “Pak Lurah saja tak suka,” kilahnya.”
Seto Menjadi Kupu-kupu. Seto jatuh cinta. Lalu cinta memberikan kekuatan magis sehingga ia bisa menjadi kupu-kupu. Perjalanan sebelum ia menjadi kupu-kupu adalah cerita yang sangat menggiurkan. Kau akan bertemu banyak orang, banyak hal: Rumi, Gibran, Ken Arok. “Orang itu menangkap seekor orong-orong yang menggelepar di depannya dan memisahkan kepala serangga itu dari badannya. “Kau lihat,” katanya. “Aku bisa membunuhmu tanpa alasan.” Setelah itu, dengan patahan lidi, disatukannya lagi kepala dan badan orong-orong di tangannya. Serangga itu terbang lagi.”
Bangkai Anjing. Cerita favorit saya. Tentang anak lelaki yang membenci ayahnya, tentang nasib banci yang dianggap menjijikkan, tentang menemukan kembali tautan identitas yang hilang pada ayah mereka. Sepertinya AS Laksana membenci banci. “Mataku menikam matanya. Menikam buah dadanya. Ia segera membongkar buah dada itu untuk menunjukkan bahwa buah dadanya palsu. Bau parfum yang keras menyodok penciumanku. Kalau aku bisa muntah saat itu, ingin aku muntah sebanyak-banyaknya dan kupamerkan muntahanku itu di depannya.”
Rumah Unggas. Agaknya AS Laksana mempunyai hubungan yang rumit dengan ayahnya sendiri. Di cerpen-cerpennya ia banyak menghujat peran ayah, meski diam-diam ia mengakui bahwa ayah di masa kecilnya sosok yang menyenangkan. Tapi itu tak lebih dari sejenak, selebihnya ayah adalah pengganggu kehidupan yang hanya pantas untuk didendami. “Sebelum mati Seto pernah berkata padaku, “Suatu hari telah kupaksa si tua itu minum segelas air yang kuambil dari genangan di ceruk kakus.”
Peristiwa Pagi Hari. Tak ada peristiwa pagi hari. Yang adalah adalah gelora AS Laksana untuk bercerita tentang mudahnya ia ereksi, tentang permainan seksnya yang lebih lama dari pertandingan sepak bola dengan perpanjangan waktu. Jika di cerpen Burung Di Langit Dan Sekaleng Lem ia beronani sambil membayangkan bule cantik, di cerpen ini ia menggenggam kelaminnya sambil melamunkan ayahnya dalam bayangan corang-moreng. Lagi-lagi, AS Laksana versus ayah. “Tapi ayahnya bukan orang tua yang suka menunjukkan perhatian kepada anaknya, karena itu Alit melakukan onani sembari membayangkan kematian mendekati ayahnya.”
Cerita Tentang Ibu Yang Dikerat. Masuk lagi dalam labirin dunia mimpi AS Laksana. Namun, seperti yang sudah diperingatkan sebelum ini, tak perlu bingung, biarkan saja semua berlalu sebagaimana yang dimaui oleh penulis. Tak perlu kau ikut memusingkan siapa yang sesungguhnya mengerat leher ibu, karena jika kau masuk dalam kebingungan itu, maka lehermulah yang tercabik-cabik. “Jujur saja aku ingin bilang padamu bahwa bukan aku yang mengerat leher ibuku. Meskipun lengking yang keluar dari batang lehernya sungguh menjengkelkan dan malam itu aku pasti mencekiknya jika ia terbangun saat aku membongkar lemarinya, namun bukan aku yang mengerat leher ibuku.”
Mei 2010