Cinta adalah kata yang terbuka. Ia agung ketika dirintihkan dalam munajat ilahiah. Sebaliknya, ia meluncur dalam kubangan cibiran ketika digadaikan untuk sebuah perselingkuhan.
Penulis: Evi Idawati
Judul: Mencintaimu
Penerbit: Isac Book, Yogyakarta
Tahun: Cetakan I, Maret 2010
Tebal: xii + 88 hal
Cinta adalah kata yang terbuka. Ia menjadi agung ketika dirintihkan dalam munajat-munajat ilahiah. Sebaliknya, ia meluncur dalam kubangan cibiran ketika digadaikan untuk sebuah perselingkuhan yang semena-mena.
Cinta seolah tak berdiri sendiri. Ia membutuhkan obyek, sesuatu untuk dicintai. Kepada yang dicintai itulah cinta menemukan makna-maknanya. Karenanya, cinta tak pernah ada. Yang ada adalah (aku) mencintai (mu). Jika demikian halnya, mungkinkan ada cinta yang tertinggi, cinta yang tak berasal dari aku dan tidak berujung pada kamu. Just, cinta. Hanya, love. That’s simple. Mungkinkah?
Buku kecil, kumpulan puisi, bersampul cantik (lukisan karya Siti Sukriah), berjudul “Mencintaimu” adalah perjalanan cinta dan rindu Evi Idawati, seorang penyair/penulis wanita kita yang produktif. Saya kutipkan apa kata Abdul Hadi WM tentang kumpulan puisi “Mencintaimu” seperti yang tercantum di sampul belakang buku: “Sajak-sajak Evi Idawati dalam antologi ini dapat digolongkan sebagai sajak-sajak imajis. Hampir semua bertumpu pada citra-citra lihatan (visual image) atau citra-citra kongkrit. Kadang-kadang citra itu dibangun seakan sebuah swa-cakapan (monolog) yang tak memberi tempat kepada lawan bicara untuk menjawab. Sajak-sajak jenis ini mulai menonjol pada tahun 1970-an, antara lain dengan munculnya antologi Mata Pisau Sapardi Djoko Damono, dan kemudian diikuti banyak penulis angkatan berikutnya, tetapi sedikit sekali yang berhasil dan konsisten. Evi Idawati adalah penyair angkatan 2000-an yang berhasil menghidupkan kembali aliran ini walaupun dewasa ini cenderung dilupakan. Corak pengucapan sajak-sajaknya cenderung sederhana, tetapi didukung oleh semangat puitik yang memadai.”
Saya setuju dengan pendapat Abdul Hadi tentang gaya monolog yang ditampilkan Evi Idawati. Puisi-puisi Mencintaimu adalah munajat, rintihan, rayuan. Ia mungkin membutuhkan jawaban, namun doa bukan sekedar permintaan meski ia penuh dengan permohonan. Seringkali doa telah tertunaikan sebelum dzikir kering dari bibir; yaitu berupa penyerahan.
Satu catatan menarik dari Baban Banita dalam epilog “Mencintai: Kerinduan Tak Pernah Jeda”, “Sebagai perempuan, Evi dalam berpuisi tak dilabeli nilai-nilai feminis yang mengukuhkan diri untuk melawan kuasa laki-laki atau berkehendak untuk menjadi sejajar dengan laki-laki. Akan tetapi, puisi-puisi Evi menampilkan citraa perempuan yang mengharapkan kasih sayang dan cinta dari laki-laki. Puisi Evi begitu penuh kepasrahan, dan kehendak selalu ingin dimanja, dikasihi, dicintai, ada pengharapan terhadap sosok laki-laki yang jaraknya jauh entah dimana.”
Saya setuju, Evi tidak bertindak feminis, namun puisi-puisi cintanya ini sangat feminin. Hal inilah yang membuat kata-kata cintanya penuh pengharapan, penghambaan, penyerahaan sekaligus juga kekhawatiran, kecemasan.
Perkenankan saya membaca sebagian puisi-puisi Evi dalam buku ini, tepatnya 9 Mantra Rindu, yang saya bayangkan menjadi sebuah 9 perjalanan menuntaskan kerinduannya. Pertanyaan utama, kepada siapa Evi melontarkan kerinduannya? Adakah ini kerinduan Rabiah? Atau, kerinduan Yuliet?
Mantra Rindu (1): Aku merindukan cahaya abadi // yang lahir dari semesta hatiku sebuah permintaan ilahiah yang dahsyat, namun tiba-tiba jatuh pada keinginan yang terlalu membumi ingin aku bermukim di mata bening malaikat langit // dan menidurkan diriku di sana bahkan terkesan bimbang pada permohonannya sendiri tapi dia terbang, entah di mana dia hinggap. Mengherankan juga, ketika penyair telah menemukan “cahaya abadi yang lahir dari semesta hatiku” malah gamang pada temuannya sendiri “entah di mana dia hinggap”. Rupanya penyair masih belum berkeras hati melepaskan kemanusiaannya.
Mantra Rindu (2): Dengarlah dengan merebahkan kepalamu dalam dekapku // Rekam dan putarlah, kekasihku // Agar engkau tahu, denting rindu itu kemabukan abadiku Penyair laksana seorang ibu, menyayangi anak-anaknya namun tak yakin anak-anaknya merasakan kecintaan itu. Malah hatinya resah melihat anak-anaknya tak jua kembali pulang pada dekapannya. :rindu ini sayang, bukan belati tajam yang hendak menikamku kan?. Ini bukan kerinduan ilahiah. Ini ketakutan akan kehilangan sesuatu yang pernah dilahirkan.
Mantra Rindu (3): Aku tahu, pemujaanku hanyut mengalir dalam ciuman dan pelukanmu // di dadamu aku bermukim // mengendapkan kisah yang kita catat dari bergulirnya waktu. Rupanya penyair telah menemukan bahwa kerinduannya tak sia-sia. Mencintaimu adalah memupuk segala kebaikan. Pernyataan yang agung dari penyair. Cinta menjadi penggerak yang luar biasa dan abadi. Tak ada akhir meski fajar memecah // menderap sunyi mimpi di hati.
Mantra Rindu (4): Engkau membawa cinta dan meniupkan ruhnya di dadaku // Kau baca pahatannya? // Kata rindu, kalimat kangen, mencengkeram, menusuk, menyetubuhiku. Penyair merasa telah dicintai. Sebuah perasaan yang teramat penting untuk menghapus segala gundah penantian dzikirnya. Semestinya ini melahirkan sebuah kesyukuran sebagai pembalasan cinta. Cinta yang kau rapatkan di bibirku, menghantar fajar // Membuatku tak henti berujar // Aku mencintaimu kekasihku // Bersamamu keabadian surga di rumah kita.
Mantra Rindu (5): Hujan dan malam seperti riuh hatiku // Aku memagutnya dan menapakkan debarku // Rindu dan cinta kekasihku, ternyata bukan kembang layu. Penyair terbuai pada percintaannya. Ia menyerah. Ia menghamba. Perangkapkan aku di dadamu // Hingga aku mengerjap dan bergumam // “Aku mencintaimu dalam keabadian namaku”.
Mantra rindu (6): Sekali lagi aku mengaku takluk // Pada kisah yang kau buat // Hingga aku meratap dan menghamba. Apakah sang penyair telah menjelma Rabiah Al Adawiyah? Semogalah kita menemukan rintihan-rintihan penghambaan yang indah dan menggetarkan. Namun kalimat-kalimat berikut menunjukkan rasa kepemilikan yang kuat dari si penyair. Bukankah cinta adalah melepaskan? Ini bagian yang tak mudah dimengerti karena kekontrakdisiannya. “Bermukimlah! Bermukimlah di relung terdalam hatiku. Lelaplah hingga aku membangunkanmu dengan ciuman. Bukankah ruang itu, surga yang kita jaga?”.
Mantra Rindu (7): “Tamparlah aku! Ksatria berbaju malam. Zirah memaku tubuhku dalam rindu. Aku ingin berlari membebaskan diri!” // Derap kaki kuda menyerbu membuatku mengerang dalam rindu // Engkau mencabuti busur yang mencengkram diriku. Percintaan sang penyair memasuki fase-fase kritis. Pertentangan antara melepaskan dan merengkuh adalah titik perjuangan yang berat. Penyair tahu ia harus menghancurkan dirinya sendiri. Itu tak mudah. Engkau menghajarku dengan rindu yang mendera // Paksa tubuhku.
Mantra Rindu (8): Seakan berumah pada dangau kecil di tengah hamparan sawah, tak tahu aku, kemana jalan menuju rindu. Hanya padang rerumputan, membentang dan rinduku bermukim di keluasan. Engkau, makna yang larut dalam geliat angin. Lirih menyentuh kesendirianku. Saat cinta adalah melepaskan, maka yang tertinggal adalah kekosongan. Jika kekosongan dikira kesendirian maka itu menakutkan. Cinta kembali membimbangkan tiada tara. Penyair menemukan tak ada apa-apa di sana. Bagaimana kalau ia memenggalku? Ini kalimat tanya, bukan pernyataan, maka jadilah ia sebuah kegelisahaan baru.
Mantra Rindu (9): Kekasih // Mengapa bukan pada tengah hari saja rindu mencanduiku, tapi saat lelah menyandar dan tubuh yang terbujur menyentuh malam. Penghambaan menuntut penyerahan. Dan itu adalah malam hari yang sepi dan melelahkan. Di saat itulah cinta memberikan pertolongannya. Mengapa si penyair mempertanyakannya. Apakah engkau berada pada langit yang sama denganku? Jika begitu, tak ada yang kuragu. Keabadianmu ada padaku. Perjalanan si penyair masih jauh. Butuh seri-seri Mantra Rindu berikutnya untuk menemukan cinta sejati itu.
Sembilan Mantra Rindu Evi adalah perjalanan yang masih jauh dari usai. Perjalanan itu berliku, rumit dan melelahkan. Di beberapa tikungan perjalanan cinta sangatlah menakutkan. Itu membuat Evi harus maju mundur menemukan kegairahannya untuk tetap bercinta. Evi ingin tetap bercinta, namun di saat itu cinta menuntutnya untuk melepaskan. Evi ingin tetap merindu, namun Evi masih dipenuhi keinginan-keinginan manusiawinya. Karenanya titik cahaya itu selalu terang redup sejalan kebimbangan Evi. Masih diperlukan mantra-mantra lain sebelum Evi benar-benar telah menemukan apa yang dirindukannya.
Justru munajat terdahsyat Evi bukan pada seri mantra-mantra rindunya, melainkan pada puisi “Sujud” yang ditulis dalam rentang Jogja-Mekkah di penghujung Ramadhan. Satu kalimat yang menarik saya adalah “Aku memohon surga yang paling tinggi untukku”, karena Evi tidak menulis “Aku memohon pertemuan denganMu” atau “Aku memohon percintaan agung denganMu”. Ini sejalan dengan mantra-mantra rindunya, yang masih gamang pada kekosongan di balik cinta.
Sujudku
Bukan pertama aku berjumpa denganMu
Meski untuk kesekian kali aku menadah tangan
Merekatkan kening di bumi yang menanamkan doa-doaku
Tumbuhkanlah ya Tuhanku, Kekasih dan pemilik hidupku
Tumbuhkanlah doa-doaku hingga berbuah
Seperti kau pancarkan keabadian yang mengalir dari kaki Ismail
Begitupun cintaku padaMu
Aku tunduk pada kuasaMu
Ya Cahaya Maha Cahaya
Percikkan padaku kecemerlangan
Bukakan untukku langit
Agar aku bisa menderu dalam rindu
Kau lihat, aku menari dalam kemabukanku untukMu
Ya Rahman Ra Rahim
Engkaulah tempatku kembali
Yang menjadikan hidupku sebagai kesejukan untuk melaksanakan segala kebaikan
Aku memohon surga yang paling tinggi untukku
Ya penguasa segala kehidupan
Jauhkan aku dari hinanya dunia dan terlepas dari keburukan
Engkau memberiku kekukuhan iman
Meninggikan derajat dan menaburkan kemulyaan
Ya Allah,
Setiap jengkal tanah yang aku pijak ini
Menyimpan gumam rindu dan cinta kepadaMu
Begitupun darah yang mengalir di tubuhku
Detak di dadaku mengumandang kebesaranMu
Allahuakbar!
Tak ada yang aku puja selain diriMu
Tak ada yang aku inginkan kecuali Engkau
Aku mencintaiMu Ya Rob, Kekasihku
Tubuh ini akan mati
Tapi denyut cintaku padaMu akan selalu hidup abadi
Maka tak bosan aku bersujud untuk menegaskan kehambaanku padaMu
Cintai aku Ya Aziz, Ya Alim
Amu memang bukan Mariyam, Siti Hajar, Hatijah
Tapi sujudku padaMu Ya Rob
Adalah ketaklukan cinta dengan gemuruh rindu
Setiap waktu
Jogja-Mekkah, akhir ramadhan 2009
Mei 2010