Linda Christanty – Rahasia Selma

Linda bagaikan murid terpandai Freud. Ia menelusuri ingatan-ingatan kelam yang tertempel satu per satu jauh ke belakang, jauh sebelum kita bisa memakai celana sendiri.

Penulis: Linda Christanty
Judul: Rahasia Selma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun: Cetakan I, April 2010
Tebal: ix + 121 hal

Manis, asin, masam, pedas dan pahit adalah rasa-rasa kehidupan. Namun kebanyakan dari kita lebih menyukai cerita-cerita manis padahal pengalaman-pengalaman berincip pedas, asin, masam dan pahitlan yang membentuk kita lebih keras.

Bagi Linda hidup tidak dibangun di atas perayaan-perayaan. Hidup dipahat sangat dalam oleh berbagai kejadian yang seringkali luput dari perkiraan: trauma, penistaan, pengabaian, kepedihan bahkan ejekan-ejekan sambil lalu. Apa yang dialami seseorang kini mungkin akibat dari kejadian masa kanak-kanak ketika kau pernah merasa nyeri saat buang air kecil setelah semalam paman atau lelaki yang kau kenal baik menyelinap ke kamar tidurmu.

Linda adalah penulis di atas rata-rata. Ia bak murid terpandai Freud, menelusuri ingatan-ingatan kelam yang tertempel satu per satu jauh ke belakang, jauh sebelum kita bisa memakai celana sendiri. Lalu ia memutarnya di depan kita, seolah sedang meneror dan memaksa semua mahluk-mahluk buruk rupa itu keluar dari rawa-rawa pikiran kita. Kita terengah-engah dan menampiknya sebagai sekedar mimpi buruk tidur siang. Tapi Linda meyakinkan kita dengan kejam.

Yang patut disyukuri, cerpen “Rahasia Selma” memberikan secercah jawaban. Rupanya pergulatan itu membawa hasil jua. Meski belum cukup benderang dan mencerahkan, namun satu pintu keluar dari labirin ingatan terkuak sedikit demi sedikit. Wahai ibu dan ayah, kembalilah pada anak-anakmu. Saya yakin sekaligus penuh harap Linda menemukan lebih banyak pemecahan.

Pohon Kersen. Kalimat awal cerpen ini cukup menjanjikan: Rumah kami menghadap pantai. Imaji saya melayang, memimpikan sebuah cerita cantik, semacam haiku panjang. Namun apa daya, kalimat-kalimat berikut adalah gangguan. Ya, cerpen ini mengganggu karena Linda menampilkan dunia sebagaimana mestinya. Laut yang subur dengan angin yang menakjubkan adalah laut yang menenggelamkan dengan ikan-ikan yang menggigiti mayat si malang. Di pengamatan Linda, dunia dan kehidupan ini ramah sekaligus menikam. Indah sekaligus mencekam.

Menunggu Ibu. Cerita mengalir mengasyikkan. Monolog meluncur lincah dan lancar. Tiga cerpen: Pohon Kersen, Menunggu Ibu dan Rahasia Selma (yang merupakan cerpen-cerpen kegemaran saya) mempunyai semangat dan gaya yang serupa. Pesan di balik cerita yang penuh dan tampak rumit ini sebenarnya sederhana saja: diri manusia dibentuk jauh sebelum seorang anak mengerti apa arti kehidupan itu sendiri. Sialnya, yang paling keras menghajar adalah yang paling dalam memahat. Kita menamakannya trauma.

Kupu-Kupu Merah Jambu. Ia menjadi pelacur bukan karena alasan-alasan klise sebagaimana di cerita-cerita kebanyakan. Pernah semasa kanak-kanak, ayah merobek-robek boneka kertasnya. Kakak lelaki mengejek naluri kewanitaannya. Ibu tak membela saat ia dibiarkan kedinginan di halaman karena ia tak mau mengaji. Juga guru ngajinya yang, lantaran salah melafalkan ayat, menghukumnya entah dengan cara apa sampai-sampai ia sukar buang air besar selama berminggu-minggu. Ia menjadi pelacur karena masa lalu tak berpihak pada harga dirinya.

Mercusuar. Menarik untuk memahami metafora dalam cerpen ini. Apa yang diam-diam dicari oleh wanita pecinta sesama jenis saat mereka tak menemukan gairahnya pada sebatang pria? Mercusuar! Ya, mercusuar yang selalu berdiri tegak dan memancarkan cahaya adalah kerinduan erotis tergelap dua sosok wanita Linda yang tak melewatkan kesempatan bercinta di pertemuan pertama mereka. Adegan terakhir yang menyinggungkan isue ini dengan aib kerusuhan bulan Mei rasanya tidak terlalu perlu. Jauh lebih menantang jika Linda menggali akar-akar penyebab kecenderungan seksualitas Hana, tokoh utamanya. Tapi bagaimana pun juga, mengangkat topik “underground” ini membuat saya semakin menyalami Linda Christanty sebagai salah satu cerpenis tercerdas tanah air.

Rahasia Selma. Selma, sebagaimana Linda kecil dan kanak-kanak lain, adalah perekam yang baik. Ia memperhatikan banyak hal kalau tidak boleh dikatakan segala sesuatu. Meski ia tak selalu mengerti apa itu perselingkuhan, permainan threesome dan adegan hubungan seks yang terpapar di hadapannya, namun itu mengeras di kepalanya. Memahat dirinya. Entah kelak ia akan mewujud sebagai hantu atau juru selamat. Semoga “Rahasia Selma” ini melegakan Linda Christanty agar ia tak dikejar-kejar mimpi buruk. Terkadang kita perlu bercerita pada orang lain untuk mengurangi beban, begitu kata ibu guru Selma. Jangan-jangan “Rahasia Selma” adalah “Rahasia Linda”.

Kesedihan. Dalam cerita-cerita Linda, hidup ini begitu rumit. Hubungan-hubungan manusia jauh lebih rumit. Namun tak semua orang berani melepaskan dan membuatnya jadi sederhana. Kita pun selalu tergenang dalam kesedihan yang kita buat sendiri. Lagi-lagi sebuah “Rahasia Linda” yang semoga mengurangi bebannya.

Drama. Sindiran politik yang bersemangat dari Linda. Sesuatu tak tampak sebagaimana yang terlihat. Meski Linda mungkin mengaku apolitis, namun tidak ada reporter yang benar-benar bisa menahan diri untuk mempresentasikan pandangannya, meski dalam sebuah cerita pendek. Yang patut diacungi jempol, Linda mampu menulisnya tanpa sok menjadi seorang aktivis.

Para Pencerita. Cerpen ini pertama kali termuat dalam kumpulan cerpen terbitan Demos, “Cerita Tentang Rakyat Yang Suka Bertanya”. Salah satu cerpen favorit saya di kumpulan cerpen Demos tersebut. Linda Christanty cukup berhasil memenuhi tugasnya bercerita tentang pergulatan demokrasi dalam kehidupan yang sangat sehari-hari. Saya merasa cerpen “Drama” lebih cocok masuk dalam daftar isi kumpulan cerpen Demos.

Jazirah Di Utara. Sebuah cerita yang berjalan penuh penghayatan. Saya suka itu. Linda menggayutkan detil-detil dengan persoalan-persoalan besar. Ia bertarung dengan pikirannya sendiri, apakah wanita boleh menjadi seperkasa pria? Ia pun berusaha memenangkan dirinya sendiri, namun toh ia sangat bersedih saat mengetahui ayahnya meninggal. Monolog ego dan intelektualitas yang syahdu.

Ingatan. Mengapa Linda menulis cerpen? Tentu ia tidak sedang menghibur kita. Cerpen-cerpennya tidak bercerita tentang tamasya ke kebun binatang atau taman bermain, tempat-tempat yang kita sukai. Linda lebih suka ke tempat-tempat yang tidak menyenangkan hati, yang akan membuat kita menangis dan marah seperti saat mainan kita direbut anak tetangga yang nakal. Cerpen singkat ini semacam kredo Linda Christanty atas cerpen-cerpennya.

Babe. Tentu saja, sebagai anak kandung modernitas, Linda mengamati tingkah-polah manusia yang mengagungkan realitas yang berlebihan di sudut-sudut chat-room jaringan internet. Linda memahami dengan baik tipuan dan bualannya. Saya merasa cerpen ini di bawah rata-rata cerpen Linda lainnya di buku ini.

Tidak mudah untuk memahami cerpen-cerpen Linda. Ceritanya berkelok tiba-tiba lalu menyambung di tempat yang tak terduga-duga. Kalimatnya penuh maksud dan sama sekali tidak sia-sia. Dibutuhkan lebih banyak kecerdasan dan ketelitian untuk memahami. Menikmati hanya terjadi saat kita mengerti tujuan-tujuannya.

Linda bukan penulis yang sederhana. Ia suka membuat banyak hal jadi rumit. Ia menggoda pembaca beradu pintar. Ia punya rahasia-rahasianya sendiri. Seperti yang beberapa kali saya prasangkakan, “Rahasia Selma” ini mungkin adalah “Rahasia Linda”. Namun kita tetap bisa bersenang-senang membaca cerpen-cerpen Linda. Perumpamaan dan celetukannya selalu nakal, mengejutkan bahkan di beberapa tempat cukup mengkhawatirkan. Seolah ada faktor x dalam pikirannya yang suka mengganggu kita.

Akhirul kata, saya berharap buku kumpulan cerpen ini mendapat salah satu penghargaan buku kumpulan cerpen terbaik tahun ini. Jika tidak, meski bukan siapa-siapa, sayalah yang akan memberikannya.

Juni 2010