Murtadho Hadi – Sastra Hizib

Membaca munajat para ulama selalu menarik. Di sana ada kehalusan jiwa, ketawadhuan di hadapan Ilahi, kecintaan yang dalam sekaligus ketertakjuban seorang hamba pada Tuhannya.

Media: Buku
Penulis: Murtadho Hadi
Judul: Sastra Hizib
Penerbit: Pustaka Pesantren
Tahun: Cetakan I, Mei 2007
Tebal: xii + 109 hal

“Seorang sufi terpekur. Larut dalam selimut semesta. Hening. Bening. Senyap. Lenyap. Terdengar bisikan. Rintihan. Entah dari mana. Itu pujian tentang keagungan. Itu munajat ampun kehambaan. Lirisnya lembut namun mengguncangkan. Lariknya syahdu namun menggetarkan. Oo betapa indahnya. Oo betapa merdunya. Kata-kata itu mengalir tanpa dimulai, terdiam tanpa dihentikan. Seorang penyair yang lewat menajamkan telinga, buru-buru ia mencatat lantunan itu. Lalu katanya, Oh betapa cantiknya puisi ini.”

“Seorang penyair mengambil pena. Meneguk arak. Terbayang ia sedang membaca puisi terbarunya. Meneguk arak lagi. Terkilas riuh tepuk tangan para pemujanya. Meneguk arak lagi dan lagi. Tersenyum melihat namanya dipuji di koran dan majalah. Meneguk tetes arak terakhir. Meluncurlah kata-kata dahsyat, menderu-deru, namun menghayutkan jiwa. Seorang sufi yang lewat mengernyitkan dahi, buru-buru ia mengusap wajahnya. Lalu katanya, Ampuni daku atas ketakutan daku pada racauan itu.”

“Seorang sufi tidak perlu belajar menulis kata-kata indah. Jiwanya yang halus adalah mata air dari semua kata-kata indah. Namun, seorang penyair perlu berusaha menemukan kata-kata indah. Jemarinya yang halus adalah tempayan bagi semua kata-kata indah. Kini, tahukah kau bedanya: munajat dan syair?”

Seorang penyair seringkali perlu bersusah payah menemukan sebuah kata untuk sebongkah imajinasinya. Sedangkan seorang sufi seringkali tak tahu bagaimana bisa serangkaian kata-kata indah mengalir begitu saja dari bibirnya untuk sehamparan realita. Ya, mungkin itu beda seorang yang bekerja dengan imajinasi dan seorang yang menyatu dengan realita.

Dalam ketepekurannya yang dalam, seorang sufi mampu meluncurkan munajat yang cantik, lembut, dahsyat, garang. Semua itu tanpa sebuah rencana, tanpa konsep, tanpa skenario, tanpa tujuan. Sebaliknya, seorang penyair perlu bersusah payah memilih kata, menemukan ritme, menyusun panggung. Baginya, itu adalah kerja. Sedang bagi sufi, itu adalah spontanitas. Sebuah spontanitas yang lahir dari kebersihan jiwa. Sedangkan sebuah usaha selalu lahir dari keresahan jiwa.

Munajat sufi dalam khazanah sastra disebut hizib. Sastra hizib adalah munajat para ulama yang mengalir begitu saja seolah-olah sudah terpatri di dalam hati sanubari mereka. Meluncur begitu saja bukan berarti untaian kata itu ngawur dan tanpa makna. Kata-kata puitis itu keluar dari mulut sang ulama lantaran jiwanya penuh dengan gelora dan daya hidup yang memang telah bersenyawa dengan kehidupan nyata. Itulah yang membuat sebuah sastra hizib memiliki daya dan kekuatan yang terasa Ilahiah.

Membaca munajat para ulama selalu menarik. Di sana ada kehalusan jiwa, ketawadhuan di hadapan Ilahi, kecintaan yang dalam sekaligus ketertakjuban seorang hamba pada Tuhannya. Berikut munajat Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandary.

Si Fakir Yang Kaya

Aduhai Tuhanku
Sayalah itu Si Faqir
dalam kekayaanku
Lalu, bagaimanakah aku tidak faqir
dalam kefakiranku

Aduhai Tuhanku
Aku begitu bodoh dalam pengetahuanku.
Bagaimana aku tidak bodoh
dalam ketololanku?

Jika Engkau Berkehendak

Aduhai Tuhanku
Bagaimana aku bisa berkehendak
jika Engkay berkehendak.
Dan, kehendak-Mu itu memaksa

Atau: bagaimana ku
tidak bulat tekad, sedang Engkau
menyerunya untuk itu?

Takut Dan Harap

Tuhanku
Meski disertai kemaksiatan
Harapku pada-Mu tak pernah putus.

Sebagaimana aku pun takut
(berharap-harap cemas)
meski disertai ketaatan.

Berikut munajat dari Asy Syafi’i

Aku Tak Peduli

Cukuplah Engkau bagiku, Ya Allah. Hanya Engkau yang memenuhi hatiku. (Jika Engkau ridho, cukuplah itu bagiku).

Aku tak peduli. Meski sampai kapan pun harus menunggu-nunggu belaian cinta kasih-Mu.

Jika masanya telah datang, ya Allah, siapakah yang dapat menghalangi rahmat itu terlucut-lepas dariku?

Hizib-hizib atau munajat tersebut di atas dapat ditemukan dalam sebuah buku tipis berjudul Sastra Hizib. Pengumpul munajat ini adalah Murtadho Hadi. Selain munajat dari Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandary dan sang faqih Asy Syafi’i, juga termuat Hizib Nashr (munajat Syaikh Abu Hasan As-Syadzily) yang dahsyat dan menggentarkan, yang cocok dibacakan untuk membangkitkan semangat bertempur. Juga ada munajat Balya Bin Malkan (Nabi Khidr) yang halus.

Beberapa catatan terhadap buku ini:

  1. Buku ini hanya mengutip hizib dari empat ulama. Itu dirasa kurang eksploratif, jika buku ini dimaksudkan untuk memunculkan apresiasi sastra terhadap munajat. Munajat para ulama Syiah perlu mendapat perhatian dan tempat mengingat kedahsyatannya.
  2. Munajat-munajat yang dipilih terasa kurang “sastra” meski sisi ke-Ilahiannya tetap kental. Beberapa munajat dari ulama Syafi’i terasa belum merupakan munajat, karena ditampilkan seperti cerita-cerita sufi.
  3. Mungkin ini disebabkan penerjemahan yang kurang greget, kurang mistis. Mestinya bisa diterjemahkan lebih baik lagi, mengingat wirid atau munajat biasanya disampaikan secara lisan sehingga aspek bunyi mempunyai peranan yang tak kalah penting. Untuk itu, sang penerjemah perlu usaha ekstra untuk menemukan bunyi yang hilang saat dialihbahasakan.

Namun demikian ini upaya yang patur dihargai. Mudah-mudahan ada penulis dan penerbit yang berkenan meneruskan upaya ini dengan menerbitkan munajat-munajat atau wirid-wirid dalam kacamata sastra. Ya, seringkali kita kesulitan untuk bermunajat dengan kata-kata sendiri, maka bolehlah mencontek munajat para ulama untuk menemukan munajat diri sendiri.

November 2009