Saat itu usia saya menjelang 45. Tak mampu lari lebih dari 100 meter. Itu jelas! Apakah Tuhan memang menakdirkan saya demikian? Mungkin, ya!
Pagi-pagi benar saya mengambil sepatu olahraga. Saya beli sepatu itu dua tahun lalu, untuk acara reuni SMA. Ada pertandingan basket antar alumni dan saya tidak punya sepatu olahraga. Setelah reuni, sepatu itu tidak pernah saya pakai. Sampai kemudian, pagi ini saya mengencangkan tali-talinya. Dan, siap jogging!
Udara sejuk. Jalanan masih gelap dan sepi. Saya mengayun langkah. Satu dua. Satu dua. 25 meter kemudian saya tiba di jalan utama perumahan. Lima meter. Nafas mulai tersenggal. Tak Apa. Sepuluh meter. Dada berdegub kencang. Pertanda sehat. Dua puluh lima meter. Tiba-tiba pandangan agak kabur. Ada apa ini?
Saya tak kuat. Badan seketika lemas. Saya hampir jatuh. Tapi, sebelum saya limbung ada tetangga yang menyapa. Itu membuat saya harus balik menyapa sambil tersenyum kecut. Karena takut terjadi apa-apa, saya segera balik pulang. Saya berusaha tetap lari-lari kecil karena malu pada tetangga. Sampai di rumah saya ambruk di lantai teras. Nafas saya benar-benar habis. Kepala saya berkunang-kunang. Saya khawatir pingsan di tempat. Dalam hati saya mengeluh. Oh Tuhan, saya tidak kuat jogging.
Saat itu usia saya menjelang 45. Dan saya tidak kuat lari lebih dari 100 meter. Amat memprihatikan. Apakah karena saya sudah tua? Atau Tuhan memang menakdirkan demikian? Apa pun itu, sepertinya saya harus terima nasib ini sampai akhir hayat kelak. Sejak saat itu, saya tidak lagi jogging. Sepatu olahraga itu teronggok lagi. Hingga…
Pagi ini, tiga tahun kemudian. Di Sabtu pagi yang sejuk. Saya mengambil sepatu olahraga, mengencangkan tali-talinya, lalu keluar rumah, untuk… jogging! Saya melintasi jalan-jalan di komplek perumahan. Saya bertemu Bu Ponidi yang menyapa, ”Olahraga Pak Leo?”. Kemudian saya bertemu Pak Imanuel yang berjalan menggunakan tongkat. Dia baru terkena stroke. Saya bertemu tiga tetangga lain, yang dari kejauhan sudah tersenyum lebar dan melambaikan tangan. Saya berhenti. Kami berbincang-bincang sejenak.
Sudah setahun ini saya berlatih jogging. Setahap demi setahap. Pelan-pelan. Dari sekedar belajar cara melangkah, mengatur nafas, menjaga postur tubuh, hingga berlatih agar mampu lari lebih jauh. Kini saya mampu berlari dua kilometer. What? Dua kilometer saja bangga? Ya, saya cukup bangga. Tapi saya tahu, banyak orang mungkin akan mencemooh dan menertawakan ke-ge-er-an saya ini. Dua kilometer itu tidak ada apa-apanya.
Jika anda mau ikut tertawa, tak apa. Bagi saya, cukup dua kilometer untuk memahami ternyata saya tidak ditakdirkan untuk terhenti di jarak seratus meter dan usia 45. Cukup dua kilometer untuk menemukan kesadaran bahwa nafas, langkah, udara, batu paving, pagi, tetangga, matahari, keringat, kesehatan, semuanya begitu berharga. Bila itu dirangkum, ijinkan saya mengucapkan dalam satu kata “alhamdulillaah.”
23 April 2016