Puisi-puisi dalam buku ini disusun berdasarkan urut waktu. Dengan tajuk “sajak lengkap”, mudah-mudahan tidak ada yang tercecer.
Media: Buku – Puisi
Penulis: Goenawan Mohamad
Judul: Sajak-sajak Lengkap 1961-2001
Penerbit: Metafor Publishing, Jakarta
Tahun: Cetakan I, Agustus 2001
Tebal: 215 hal
“Mengapa kita mau berpayah-payah memahami sebuah puisi? Apakah karena kita menganggap puisi adalah permainan petak umpet sehingga kita perlu mencari apa yang tersembunyi di balik kata dan makna? Itu yang tak aku mengerti. Semakin banyak aku baca puisi, semakin aku merasa tak perlu mencari apa-apa di sana.”
”Mungkin puisi memang bukan untuk dipahami apalagi dimengerti. Cukuplah ia dihayati. Namun bukan untuk menghayati sang penyair atau pun syairnya. Melainkan menghayati penghayatan pada diri sendiri.”
Salah satu buku puisi wajib koleksi adalah puisi-puisi karya Goenawan Mohamad (GM). Ketika kita terlewat menikmati kumpulan karya puisi GM, seperti Parikesit, Interlude, Asmaradana, Misalkan Kita di Sarajevo, beruntunglah ada kumpulan puisi perayaan 40 tahun kepenyairan GM: “Sajak-sajak Lengkap 1961-2001”.
Di Muka Jendela
Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: – Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang terngadah
tanah padang-padang tekukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?
1961
Buku ini mengumpulkan puluhan puisi GM mulai tahun 1961 sampai tahun 2001. Sampai sekarang pun GM masih setia menulis puisi. Meski sudah mencapai posisi yang cukup terhormat dalam dunia kepenyairan di tanah air, toh GM masih juga mengundi keberuntungannya dengan mengirimkan puisi-puisinya ke media. Beberapa bulan lalu, kita masih bisa membaca puisinya di muat di harian Kompas. Dalam beberapa bulan ke depan kita boleh berharap ada kumpulan puisi GM yang diterbitkan.
Saya Cemaskan Sepotong Lumpur
Saya cemaskan sepotong lumpur di koral halaman
Saya cemaskan sepotong daun di koral halaman
Saya cemaskan kau, malam yang mengigau dengan gerimis tak kelihatan
1978
Aung San Suu Kyi
Seseorang akan bebas dan akan selalu
sehijau kemarau
Seseorang akan bebas dan sehitam asam
musim hujan
Seseorang akan bebas dan akan lari
atau letih
Dan langit akan sedikit dan bintang
beralih
Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucat
pagoda
Seseorang akan bebas dan sorga akan
tak ada
Tapi barangkali seseorang akan bebas dan memandangi
tandan yang terjulai
tandan di pohon saputangan, tandan di tebing jalan
ke Mandalay
1996-1997
Puisi-puisi dalam buku ini disusun berdasarkan urut waktu. Dengan tajuk “sajak lengkap”, mudah-mudahan tidak ada yang tercecer.
Ada baiknya jika buku ini disusun berdasarkan sub bab: Parikesit, Interlude, Asmaradana, Misalkan Kita di Sarajevo. Membaca puisi dalam kumpulan sub bab demikian memberikan wacana kontekstual. Tetapi saya tahu, bukan untuk tujuan itu buku puisi ini diterbitkan. Buku ini lebih dimaksudkan sebagai dokumentasi.
Berikut puisi GM yang menarik pada pandangan pertama:
Kabut
Siapakah yang tegak di kabut ini.
Atau Tuhan, atau kelam:
Bisik-bisik lembut yang sesekali
Mengusap wajahnya tertahan-tahan
Kepada siapakah kabut ini
Telah turun perlahan-lahan:
Kepada pak tua, atau kami
Kepada kerja atau sawah sepi ditinggalkan
1963
Berikut ada beberapa puisi GM yang termuat di harian Kompas di tahun 2005 dan 2006. Tentu saja tidak tercantum dalam buku ini.
Di Assisi
Tuhan dengan suara yang aneh
melepaskan sayap malaikat yang ingin terbang dan tak kembali ke mural ini. Berkah akan jadi tua, juga batu-merah sepanjang hujan, dan yang suci akan jadi hijau, dan di langit El Greco, yang tak-fana mungkin tak mengerti kenapa cinta adalah sedih yang tersisa seperti remah pada meja pagi hari.
2005
Sebelum Bom
Sebelum bom itu meledak ia lihat pantai: laut (yang belum selesai menghapal ombak) melepaskan teja yang hampir padam.
Hijau tak diacuhkan hujan, agaknya, juga burung yang bertebar di ladang garam.
Dan ia ingin tidur.
Tapi di kamar ini Tia, seekor kucing, mencakari kaca akuarium, dan ikan-ikan tua mengatupkan insang ketika jam bundar itu melepaskan tak-tik-toknya ke cuaca, dan ia tak ingat benar adakah bunga dalam vas itu ia namai “krisantemum” sebelum mati.
Sebelum bom itu meledak
2005
Orfeus
I
Lima menit sebelum kereta berangkat perempuan itu berkata kepadanya,“Orfeus, aku tak akan kembali.”Di halte dusun itu ia terdiam. Dan peron terbujur. Dan loko tak bergerak. Bangku, jam, tiang lampu, seakan hanya tableau. Pintu gerbong tetap tertutup. Tangga tetap mengidap debu dan tak ia lihat jejak. Apa yang bisa dilakukannya? Ia, tersenyum, mencoba mengulurkan tangan, tapi hanya menyentuh syal: “Euridice, tempat ini terlalu sering mengucapkan selamat tinggal.”
II
Pada pukul 7:10, sep stasiun mengenakan petnya, dan melambai. “Lihat, Orfeus, selalu ada sinyal yang sampai.”
III
Rel yang meregang sampai ke hutan seperti dua frase tak bersentuhan – “Euridice!” orang-orang mendengar suara itu “Euridice!” tebing menyahut.
IV
“Pada tiap tikungan kali kau akan dapatkan aku menyanyi dengan merih yang merah. Aku mencarimu, Euridice, sampai kau hilang lagi.”
V
Seperti basah hutan sehabis badai Seperti asap panjang yang tak singgah Pekik peluit lepas yang tak dipastikan Barangkali di sana yang hilang akan selalu dikekalkan.
VI
Kemudian Orfeus bercerita: “Aku menghelamu dari gelap bawah-sadar. Tubuhmu lembab air tanah. Rambutmu tersibak seperti arus hitam, dan sedetik kulihat bekas pada pelipis: kematian. Sebuah liang yang memutih, meskipun samar, seperti tera. Barangkali ia telah tertoreh di sana, sebuah tanda mula, seperti titik genetik, seperti tilas tak tersentuh. Benarkah kulihat kau senyum, bibirmu yang kembali fana? Aku menghelamu dari dingin, Euridice.” “Jangan menengok, Orfeus. Masa lalu selalu tak utuh lagi.”
VII
Tapi laki-laki itu menengok. Ia ingin tahu benarkah waktu hilang jejak, benarkah Ajal tertinggal, benarkah yang kini ada di detik ini. Ia ingin sebuah perjalanan pulang, (meskipun tak tahu apa artinya “pulang”) yang asyik tapi lempang, selurus rakit sebelum muara di bengawan yang terlindung. Ia salah. Euridice tak ditemukannya lagi.
2006
Oktober 2009