Kredit Tanpa Agunan, Tanpa Keperluan

Beberapa kali saya tergiur menerima tawaran kredit tanpa agunan. Hasilnya, pinjaman itu justru habis untuk hal-hal yang tidak perlu dengan macam-macam alasan.

Telepon genggam saya berdering. Ada nomor tak dikenal muncul. Sebenarnya saya sedang sibuk. Saya ingin mengabaikan tetapi saya pikir tidak baik bertindak acuh. Ketika saya jawab, “halo”, terdengar suara wanita menyapa nama saya.

Dia memperkenalkan diri bekerja di salah satu bank penerbit kartu kredit saya. “Boleh minta waktunya sebentar?” tanyanya. Belum saya jawab, dia sudah langsung berceloteh. Katanya, saya terpilih mendapat fasilitas kredit tanpa agunan. Langsung cair. Tak perlu proses verifikasi. Nilai pinjamannya sekian juta rupiah. Bisa diangsur selama 3 bulan. Bunga nol persen. Cukup dengan membayar biaya provisi sekian puluh ribu saja. “Bagaimana Pak Leo?” tanyanya.

Saya katakan dengan sopan saya tidak memerlukan pinjaman. Dia meyakinkan, kredit ini bisa digunakan untuk berbagai keperluan. “Untuk liburan atau membelikan sesuatu untuk istri dan anak-anak tercinta,” katanya seolah tahu isi rumah tangga saya.

Saya jawab sambil minta maaf, saya tidak memerlukan pinjaman. Rupanya dia cukup gigih. Katanya, “Ini kesempatan yang sangat baik. Jarang sekali ada nasabah yang terpilih mendapatkan fasilitas ini. Pak Leo pasti orang yang sangat istimewa.” Saya sedikit tersanjung. Sejenak saya pikir, mungkin saya bisa gunakan kredit ini untuk jaga-jaga jika ada keperluan mendadak.

Sekali lagi saya minta maaf dan tetap berusaha sopan. Saya katakan saya belum perlu. Mungkin di lain waktu. Dia tidak menyerah. Dia pasti telemarketer yang hebat. Kali ini, dia memberi penawaran yang lebih menarik. Saya tidak perlu mengangsur mulai bulan depan, tapi dua bulan lagi. Syaratnya, kredit dicairkan minggu depan, selepas tanggal 15. “Ini lebih meringankan Pak Leo,” katanya cepat. “Bagaimana pak?”

Pikiran saya menerawang. Ini bukan yang pertama. Saya pernah ditawari kredit seperti ini. Saya selalu menerimanya. Sebenarnya saya tidak terlalu butuh, tapi saya tergiur. Saya pun tak cukup tega menolak bujukan para sales telemarketing. Hasilnya? Uang itu justru habis untuk hal-hal yang tidak perlu. Pernah saya berpikir, kredit itu bisa dianggap sebagai tabungan yang saya angsur. Ternyata tabungan itu selalu saja habis dengan macam-macam alasan.

Kali ini saya tolak dengan tegas, “Maaf, saya sibuk sekarang. Saya tidak memerlukan kredit. Terima kasih.” Dia mencoba membujuk, tetapi saya tak boleh ragu, “Sekali lagi maaf. Selamat siang.” Ucapan saya serius dengan nada menekan. Dia membalas salam lalu kami menutup telepon. Sopan saja tidak cukup. Menghadapi penawaran-penawaran menarik dari seperti ini saya harus tegas dan tak perlu berbelas kasihan.

10 April 2016