Dina Oktaviani – Biografi Kehilangan

Kata Nirwan Ahmad Arsuka tentang Dina Oktaviani, “Penyair berbakat cenderung menghasilkan sajak yang terasa mendahului kematangan usia penciptanya. Sajak-sajak seperti itu ada terkandung dalam kumpulan ini.”

Media: Buku – Puisi
Penulis: Dina Oktaviani
Judul: Biografi Kehilangan
Penerbit: INSISTPress, Yogyakarta
Tahun: Cetakan I, Januari 2006
Tebal: 74 hal

“Puisi apa yang akan kau tulis tentang tubuhmu sendiri?”

“Sebentar, benarkah kau mengenali tubuhmu sebagaimana yang kau pandangi bayangannya di cermin? Bagaimana kau bisa mengenalinya dengan baik, sedangkan setiap detik sel-sel tubuhmu mati dan tumbuh tanpa kau sadari. Bukankah kau hanya bisa terkejut ketika mengetahui ada kerut di sekitar bola matamu. Apakah kau mengira kerut itu tumbuh tiba-tiba. Tidak, kerut itu terus menjadi meski kau tak bercermin.”

“Maka, puisi apa yang kan kau tulis tentang tubuhmu sendiri? Apakah tentang kekanak-kanakan, kedewasaan lalu kerentaan? Apakah tentang kesementaraan dan ketidakabadian? Apakah tentang keterasingan jiwa dari pakaiannya sendiri? Apakah tentang waktu? Atau, kau memilih untuk tidak menulis apa pun?”

Dina Oktaviani, penyair yang lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 11 Oktober 1985, menulis sebuah puisi tentang tubuh, sebuah lakon tubuh.

Lakon Tubuh

kubentangkan dada
bagi sejarah lelaki
tempat jalarkan perih
tempat rebahkan kecemasan

tapi tak ada apa pun lagi di sana
susu dan dagingnya telah terjual
di kamar pekat
tinggal kalimat-kalimat tanpa darah
untuk tak pernah mereka tanya
“apa yang kauminta sesudah ini semua?”

entah bagaimana aku berbahagia
dengan selaksa luka mereka

dan bila setiap pagi tak kutemukan lagi
selembar makna–tubuhku
di ranjang yang mati
sempurnalah aku sebagai dewi

Sebuah puisi yang membuat kuduk begidik. Apakah puisi ini ditulis oleh seorang perempuan yang tahu terlalu banyak tentang rahasia-rahasia lelaki dan penderitaan seksualnya. Sesuatu yang justru tak disadari oleh si lelaki itu sendiri. Yang malah dianggapnya sebagai hiburan terpuncak duniawi. Yang di baliknya tak pernah dipertanyakan oleh si lelaki.

Justru, wanita penulis puisi ini telah melihat semua kenyataan di balik lakon tubuh yang terkapar oleh orgasme. Baginya, jika ia telah terbebas dari semua pemaknaan itu, maka tunailah sudah semua urusan materi. Dina Oktaviani melihat sesuatu yang tak ingin dilihat oleh kebanyakan lelaki di muka bumi.

Dina Oktaviani menulis puisi dengan melihat dunia dari tubuhnya sendiri, sebuah tubuh wanita. Ia melihat tubuh sebagai sosok yang terlalu sementara. Sehingga apalah artinya sebuah makna bagi tubuh.

Dari tubuhnya Dina berusaha memahami semua relasi-relasi dalam hidup. Karenanya, ia melihat semua ini dari kacamata seksual, lelaki dan perempuan, sebuah hubungan tubuh yang tak punya arti.

Ritus Birahi

kautundalah bahagia
lalu rebah di bawah bayangan sendiri
masuk ke dalam kelam
meski tahu purnama tak pernah gagal

di sana,
barangkali masih melintang
tangis dan erang
mungkin selenting aba-aba lantang
menyerukan penyatuan lancang
: khianat usang

di sana,
semua tak pernah baik-baik saja
selalu gagap angin, nafsu purba dan derak jantung
: sebuah ritus suci atas tubuh yang hilang arti

kautundalah kenangan
lalu lupakan kematian
aku siap kautumpangi
jika luka kian seset di tubuhmu

Maka, apalah artinya sebuah cinta? Jangan-jangan ia hanya semacam peran yang harus dimainkan karena telah jadi keyakinan yang tertulis berabad-abad. Padahal cinta tak lebih dari buah kegelisahan dan penderitaan manusia.

Dongeng Tentang Kesetiaan

mungkin aku akan pulang
membawa dada dalam kresek
dan mengecup bau rumah yang gelisah

aku juga rindu ranjang remang itu
sebab mencintaimu dengan nyanyi dan kembang api
telah ditenpuh semua orang

tak ada bayi yang harus kususui
atau makanan yang keburu basi
kebisuan menghambur begitu saja
menjadi selimut yang lebih dingin dari puisi
dan kau tak selalu kuat menanggung gigilnya

aku akan pulang, barangkali
membiarkan kaugeledah bungkusan
dan menghisap ketenangan di dalamnya

sementara di luar sana,
orang-orang terjebak petasan dan kematian

Dina Oktaviani sudah masuk dalam jajaran penyair muda yang menarik perhatian. Buku tipis bertajuk “Biografi Kehilangan” berisikan puisi-puisinya tentang betapa Dina telah kehilangan tubuh dan makna-makna dalam setiap relasinya. Atau, betapa Dina berusaha mengingkari makna-makna yang dipahami kita selama ini. Itu karena Dina berusaha mencari keabadian yang tak ditemukan dalam tubuh-tubuhnya sendiri. Namun Dia tetap berusaha mencarinya, Mencari-Mu. Meski toh tak ditemukannya juga sebuah makna.

Mencari-Mu

malam sudah sekarat
dan angin melemparku
dari percakapan orang-orang

kau di mana?
langit pun telah menjadi tanda panah
yang hilang arah

lalu kutenggak saja
luka dari kata yang pertama
yang pernah kaubilang mampu menepis seluruh aku
tapi tak ada yang bisa kumaknai
tanpa sobekan perihmu

aku mulai menggelandang
menjadi perempuan bagi kaca dan jalanan
tapi tak juga kutemukan wajahmu – atau wajahku
sebab bayang-bayang
membangun dunianya sendiri

Ada lebih dari 40 buah puisi yang dibagi dalam tiga sub bab. Membaca kumpulan puisi ini seperti membaca sesuatu yang kelam, gelisah dan mensia-siakan segala sesuatu. Sebuah puisi khas manusia yang sedang mencari dan mengharapkan adanya makna dari pelakonan hidup. Buku ini semakin terasa kusam karena dicetak di atas kertas cd kusam, dan dihiasi illustrasi kontemporer abstrak oleh Agung Kurniawan.

Sebuah kumpulan puisi yang menarik dikunyah, namun enggan ditelan.

Berikut tiga pendapat dari penyair dan kritikus yang termuat di bagian belakang buku.

Sapardi Djoko Damono: Ia menggoda kita agar menghayati rahasia kehidupan dengan cara yang unik, yang sebelumnya tidak pernah ditangkap penyair lain. Penghayatan itu ditatanya dalam metafor dan citraan yang tajam, yang merupakan salah satu ciri sajak modern.

Arizal Malna: Puisi-puisi di buku ini merupakan rekaman dari kamera yang retak dari si anak yang hidup dari kota ke kota: konflik antara tubuh, dirinya, cinta dan pengkhianatan. Keseluruhan buku ini penuh oleh warna pengkhianatan aku terhadap tubuh.

Nirwan Ahmad Arsuka: Penyair berbakat cenderung menghasilkan sajak yang terasa mendahului kematangan usia penciptanya. Sajak-sajak seperti itu ada terkandung dalam kumpulan ini.

September 2009