Daya tarik sebuah puisi spiritual tidak melulu pada struktur, jalinan kata, makna dan simbol-simbol dibangun. Terlebih penting adalah otentisitas pengalaman si penulis.
Media: Buku
Penulis: Jiddu Krishnamurti
Judul: Nyanyian Hidup (Judul Asli: The Song of Life)
Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta
Tahun: Cetakan II, 1987
Tebal: 56 halaman
“Tentu saja setiap orang bisa menulis puisi. Yang membedakan seorang penyair dengan yang lain adalah penyair menulis puisi lebih banyak (sebuah kata menarik di dunia dagang), lebih intens, dan, ia lebih dikenal sebagai penyair. Sebuah pembedaan yang sederhana. Namun apakah kita perlu membuatnya jadi rumit, toh kata dan makna adalah anugerah bagi setiap orang.”
“Tentu saja setiap orang bisa menulis puisi. Namun tak setiap penulis puisi, bahkan setiap penyair pun, bisa menyatu dengan puisinya. Benar, ia merangkai kata, memberi makna, menata nuansa dan rasa. Namun belum tentu si penyair bisa menjadi kata itu sendiri.”
“Karena hidup adalah mata air darimana semua puisi mengalir, maka jikalau seseorang menulis puisi tentang hidup, meski ia bukan seorang penyair yang kita kenal, namun secara otentik menyatu dengan puisinya, maka ia menjelma puisi itu sendiri. Hanya ada puisi tanpa si penulis. Maka bilakah aku temui ia, dan bersimpuh di hadapan sosok seorang guru dunia.”
Jiddu Krishnamurti lahir 12 Mei 1895 di Madanapalle, Andhra Pradesh, India. Meninggal 18 Februari 1986, di Ojai, California, di usia 91 tahun. Ia diakui oleh beberapa kalangan sebagai salah satu guru spiritual dunia. Pada usia 14 tahun ia diangkat sebagai anak dan dibawa oleh Annie Bessant dan C.W.Leadbeater (keduanya adalah tokoh teosofi) ke Inggris, dan disiapkan untuk memimpin sebuah organisasi relijius, dan jadi reinkarnasi Buddha.
Alih-alih melanggengkan, JK, begitu ia biasa dipanggil pengikutnya, malah membubarkan organisasi, The Order of the Star in the East, yang dipimpinnya. Itu pada tahun 1922. Salah satu ucapan terkenalnya adalah “Truth is a pathless land and you cannot approach it by any path whatsoever, by any religion, by any sect. Truth, being limitless, unconditioned, unapproachable by any path whatsoever, cannot be organized; nor should any organization be formed to lead or to coerce people along any particular path. My only concern is to set humanity absolutely, unconditionally free. Man cannot come to it through any organization, through any creed, through any dogma, priest or ritual, not through any philosophic knowledge or psychological technique. He has to find it through the understanding of the contents of his own mind, through observation and not through intellectual analysis or introspective dissection.”
Tentu ini bukan tempat yang tepat untuk menulis biografi JK. Tapi menarik untuk membaca sebuah buku kumpulan puisi (jika boleh disebut demikian) yang ditulis oleh seorang tokoh spiritual dunia dengan cukup banyak pengikut.
Adalah biasa bagi seorang pejalan spiritual menulis puisi. Pengalaman spiritual selalu memesona. Tak salah jika banyak puisi spiritual yang menakjubkan, bahkan ajaib. Sebagian pembaca mungkin mengerutkan kening. Atau membelalakkan mata, entah mengerti atau tidak. Namun siapa yang punya hak atas pengalaman spiritual seseorang, selain dirinya sendiri?
Sebaliknya bagi Jiddu Krishnamurti. Puisi-puisinya bukan tentang hal-hal ajaib. Perjalanan spiritual adalah perjalanan hidup. Puisinya adalah tentang hidup yang dilihat secara sederhana, dengan kata-kata sederhana.
IV
Dengarlah, wahai teman
Aku akan menceritakan kepadamu kewangian Hidup yang penuh rahasia.
Hidup tiada mempunyai falsafah,
Tiada susunan pikiran yang susah-sulit.
Hidup tiada mempunyai agama,
Tiada puja di tempat suci yang tersembunyi.
Hidup tiada mempunyai dewa,
Maupun beban kegaiban yang menakutkan.
Hidup tiada mempunyai tempat kediaman,
Maupun sedih yang pedih kejatuhan terakhir.
Hidup tiada mempunyai kegirangan, tiada penderitaan,
Maupun kerusakan kejaran cinta.
Hidup tiadalah baik ataupun jahat,
Maupun hukuman yang ngeri dosa yang alpa.
Hidup tiada memberi hiburan,
Maupun ia beristirahat di dalam kuil kelupaan.
Hidup bukanlah sukma ataupun jasmani,
Maupun ada di sana perbedaan yang bengis antara bergerak dan diam.
Hidup tiada kenal mati,
Maupun hampa kesepian dalam bayang-bayang Waktu.
Bebaslah manusia yang hidup dalam Kebakaan,
Sebab Hidup ada.
Jiddu Krishnamurti menulis bahwa mencintai hidup hanya bisa ditemukan jika mampu melihat hidup secara keseluruhan,
XVI
Janganlah mencintai dahan yang permai
Maupun menyimpan rupanya sahaja di dalam hatimu,
Ia akan mati.
Cintailah seluruh pohon,
Maka tuan akan mencintai dahan yang permai,
Daun yang muda dan daun yang layu,
Kuntum yang kemalu-maluan dan sekar yang sekembang-kembangnua,
Kelopak bunga yang jatuh dan kemuncak yang melambai-lambai,
Kerindangan indah daripada cinta yang penuh.
Ah, cintailah Hidup dalam kepenuhannya,
Ia tiada mungkin layu.
membebaskan diri dari batas pikiran, pengalaman, prasangka.
XXVI
Cahaya,
Yang akan memimpinmu,
Tersembunyi,
Di bawah debu,
Pengalamanmu.
IX
Alangkah mudahnya
Telaga tenang itu bergerak
Oleh angin lalu,
Tidak, teman,
Janganlah cari bahagiamu,
Dalam yang fana.
Hanya adalah satu jalan,
Jalan itu ada di dalam dirimu,
Melalui hatimu sendiri.
Pertanyaannya: apakah ini adalah sebuah kumpulan puisi? Jika kita berharap menemukan kalimat-kalimat eksotis, provokatif, menggugah rasa dan sensasi ala puisi-puisi spiritual, mungkin tidak pada tempatnya. Kalimat-kalimat yang digunakan Jiddu Krishnamurti langsung tanpa tedeng aling-aling. Perumpamaan-perumpamaannya pun sederhana saja. Mungkin lebih tepat disebut ajaran-ajaran beliau yang dinyatakan secara puitis.
Tetapi, daya tarik sebuah puisi spiritual tentu tidak melulu pada struktur, jalinan kata, makna dan simbol-simbol dibangun, melainkan pada otentisitas pengalaman si penulis. Otentisitas ini hanya bisa diraih jika si penulis melebur pada pengalaman tersebut. Sayangnya, tak relevan bagi kita untuk menilai otentisitas ini agar puisi tak berada dalam wilayah prasangka. Puisi spiritual memberikan kesempatan bagi pembaca untuk menilai otentisitasnya sendiri.
Buku kumpulan puisi ini diterjemahkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dari The Song of Life. Terbit pertama kali pada tahun 1932, cetakan ke dua terbit pada tahun 1987. Akan lebih baik jika kita bisa mengikuti tulisan dalam bahasa aslinya. Terutama untuk memahami beberapa kata secara lebih cermat, seperti, pikiran, jiwa, kebenaran. Tentu saja, ini bukan berarti meragukan kepakaran Sutan Takdir.
Ini sebuah buku puisi menarik, terutama bagi mereka yang bukan hanya tertarik pada puisi, juga pada ajaran-ajaran dari seorang guru spiritual dunia.
Februari 2009