Saya pernah menangis sejadi-jadinya saat shalat, namun setelah itu tidak. Mengapa saya tidak lagi bisa menangis saat shalat? Apakah saya kurang khuyu’? Kurang serius? Kurang konsentrasi?
Jauh sebelum subuh saya sudah terbangun. Mengambil air wudhu. Lalu shalat tahajud. Belakangan itu saya memang lumayan rajin bangun di sepertiga terakhir malam untuk shalat. Saya merasa perlu menata lagi hidup saya yang berantakan. Satu-satunya cara adalah mendekatkan diri pada sang Illahi.
Seperti biasa, malam sangat sepi. Di luar gelap. Hanya sesekali terdengar suara binatang malam melintas. Di keheningan saya berdiri, ruku dan sujud dengan tenang. Pikiran saya terpusat pada bacaan dan doa-doa. Terbayang persoalan hidup datang silih berganti. Kesalahan-kesalahan yang selama ini saya perbuat. Tak ada yang bisa saya lakukan selain dengan sungguh-sungguh memohon ampun atas dosa-dosa.
Entah di sujud ke berapa, tiba-tiba dada saya terasa sesak. Ada sesuatu yang menekan kuat. Tubuh saya terguncang. Awalnya hanya isakan perlahan. Lalu tangisan meledak begitu saja tanpa bisa saya tahan. Saya menangis sejadi-jadinya. Saya tak bisa menghentikan. Saya biarkan saja. Beberapa saat kemudian tangisan saya mereda. Dada saya kosong. Tubuh saya melunglai di atas sajadah. Pikiran saya ringan. Tak ada beban. Tak ada persoalan. Rasanya nikmat sekali. Dunia serasa terang benderang. Hidup seperti terlahir kembali. Hari itu berlalu dengan cerah.
Esoknya saya bangun jauh sebelum subuh, mengambil air wudhu, dan shalat. Saya memusatkan pikiran dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Saya kembali terisak dan menangis, namun tidak meledak-ledak. Saya bertanya dalam hati, kenapa saya tidak bisa menangis sederas kemarin? Apakah saya kurang khusyu’? Kurang serius? Kurang konsentrasi?
Keesokan harinya, kembali saya wudhu, shalat, berdoa dan coba memusatkan pikiran. Membayangkan semua kesalahan dan dosa. Saya hanya terisak. Tak ada tangis. Saya tak puas. Keesokan harinya, saya benar-benar mencoba mengkonstruksikan pikiran. Mengimajinasikan semua keburukan hidup saya, siksa neraka, dan lain sebagainya. Saya juga berdoa agar bisa menangis lagi seperti beberapa hari lalu. Kali ini, saya hanya terisak, dan itu datar-datar saja. Setelah itu, hingga hari ini saya tidak pernah lagi menangis sedahsyat seperti yang saya alami beberapa hari lalu.
Mengapa saya tidak lagi bisa menangis saat shalat sebagaimana waktu pertama? Mengapa waktu itu saya bisa menangis dahsyat namun mengendur setelah itu? Saya tak tahu jawabannya.
Yang saya tahu dan saya rasakan, tangisan pertama saya adalah tangisan otentik. Ia datang sendiri begitu saja, tanpa diundang, tanpa bisa dicegah. Itu tangisan karunia. Tangisan kedua adalah sisa-sisa kejujuran. Tangisan ketiga, adalah hasil kerja pikiran. Tangisan keempat adalah upaya imajinasi. Tangisan-tangisan berikutnya hanyalah akting.
25 April 2016