Afrizal Malna – Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing

Ini adalah kumpulan puisi khas Afrizal Malna. Ajaib dan mengejutkan. Kalau kita mengharap ada kalimat-kalimat manis yang bisa dikutip dan dipajang sebagai moto hari ini, lupakan.

Media: Buku – Puisi
Penulis: Afrizal Malna
Judul: Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing
Penerbit: Bentang Budaya, Yogyakarta
Tahun: Cetakan I, Desember 2002
Tebal: 78 hal

“Apakah hanya karena kau tak mengerti sepotong puisi, lantas kau katakan itu misteri? Penyair memilih kata, menata kalimat, memilah makna. Penyair berpikir. Penyair merenung. Lalu mengabarkan sepenggal puisi. Ini bukan tentang kabar yang terang benderang. Meski sebagian darinya terbaca olehmu. Sebagian yang lain tersembunyi rapat-rapat. Biarkan sang penyair tersenyum dan menganggap itu hak mereka untuk menyimpan makna buat diri mereka sendiri. Maka, tak perlulah kau berpayah-payah mengais apa yang mereka sembunyikan. Jika kau senang, ambillah. Jika tidak, tetaplah senang.”

“Jangankan puisi, berita pagi pun punya misterinya sendiri. Apa yang bisa mereka katakan dalam bacaan berita selama setengah menit. Mereka pun menyilakan kau memahaminya dari gambar-gambar bergerak. Mereka pikir, satu gambar adalah seribu kata. Padahal satu gambar pun punya beranda dalam dirinya sendiri yang mereka sembunyikan rapat-rapat.”

Afrizal Malna. Entah kenapa, setiap mendengar nama ini langsung terbayang lukisan surealisme-nya Picasso. Puisi-puisi Afrizal Malna selalu aneh bin ajaib. Tentu saja setiap puisi punya keajaibannya sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa melipat waktu? Hanya puisi yang mungkin. Dan kita menganggapnya itu bahasa puisi. Namun ketika Afrizal menawarkan “dalam rahim ibuku tak ada anjing”, maka puisi jadi punya keajaiban yang tak terduga-duga.

Lorong Gelap dalam Bahasa

Si maut itu sudah datang membuat kamar dalam perutku. Ia membeli lemari baru, tempat tidur baru, meja dan lampu kamar. Ia juga memasang sebuah cermin. Si maut itu tidak pernah keluar dari kamarku. Setiap malam ia menyetel radio dan tv. Koran pagiku selalu diambilnya. Si maut itu, membuatku harus menggotong tubuhku sendiri untuk berdiri. Lemari goyah menahan berat tubuhku. Kamar seperti akan tenggelam ke dalam pagar-pagar jiwa. Si maut itu mengatakan, semua yang aku rasakan bukan milikku.

Aku bertengkar dengannya. Ia telah mengambil semua yang aku rindukan, semua mimpi-mimpiku. Si maut itu telah membuat kamar tidurku seperti sebuah geraja yang rusak. Seluruh penghuninya telah pergi. Lonceng berdentang seperti menggemakan lorong gelap dalam bahasa. Dan Si maut itu membuat mulutku seperti peti besi. Kata-kata yang tak pernah lagi menemui anak-anak kucing bermain. Bulunya halus dan lembut, tubuhnya gugup menghadapi setiap gerak dari dunia luar. Ibunya datang, memanggilnya dengan suara yang datang dari lorong kematian dan kelahiran, menggigit lehernya, dan membawanya ke dalam sebuah kardus.

Si maut itu, api dari kaki-kaki bahasa.

Puisi-puisi Afrizal seperti permen karet keras yang tak kunjung lunak dikunyah. Kerasnya seperti kayu. Manisnya nyaris tak terasa. Nyaris tak pernah bisa mengerti. Afrizal pun tak peduli. Bagi Afrizal puisi-puisinya bukan untuk memahami dirinya, melainkan bagaimana sang pembaca memahami apa yang dipikirkannya sendiri. Apa yang pembaca pahami ketika membaca teks “pohon pisang di atas bus antar kota” atau “aku terbang bersama kipas angin”? Itu terserah pembaca.

Afrizal Malna menantang pembaca untuk menghantam pikirannya sendiri. Afrizal Malna menyilakan pembaca untuk membuat medan permainannya sendiri. Ya, Afrizal tidak menawarkan apa-apa dari puisinya. Kecuali kita merasa terlalu cerdas untuk menganggapnya sebagai sebuah teka-teki untuk dipecahkan. Tidak ada “eureka”! Karena tak ada yang perlu dirayakan dari pembacaan puisi-puisi Afrizal Malna. Kalau toh, kita merasa terlalu cerdik untuk menemukan apa yang dimaksud Afrizal, maka sesungguhnya kita merepotkan diri kita sendiri.

Buku kumpulan puisi Afrizal Malna, berjudul “Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing” terbit akhir tahun 2002, tetap saja berisi puisi-puisi khas Afrizal Malna. Yang ajaib dan mengejutkan (untunglah di kumpulan puisinya yang satu ini tidak terlalu banyak kalimat yang memualkan). Kalau kita mengharap ada puisi-puisi manis yang bisa dikutip dan dipajang sebagai moto hari ini, lupakan. Namun jika kita ingin bermain-main dalam ladang imajinasi yang tak terperi, silakan coba kunyah satu per satu sambil pejamkan mata (hah! Bagaimana bisa membaca puisi sambil meram?).

***

Mungkin ada yang berpikir, gaya puisi Afrizal Malna adalah gaya berpuisi yang paling mudah. Ya, mari kita buat puisi sebanyak tujuh belas kalimat. Ambil saja tujuh belas novel yang ada di sembarang rak buku. Coba ambil Sydney Sheldon, Herman Hesse, Tagore, T.S. Eliot, Boris Pasternak. Jangan lupakan Hector Malot, James Redfield, atau Pearl S. Buck. Dari dalam negri ambil Mangunwijaya, atau Seno Gumira Ajidarma.

Lalu buka semua novel itu berbarengan pada halaman ke dua puluh enam. Soal angka ini, silakan pakai tanggal lahir kita. Lalu ambil baris atau kalimat ke tujuh (atau terserah) terhitung dari atas. Kalau mau dibuat lebih rumit, coba buat baris bilangan atau rumus matematika untuk menentukan baris ke berapa, di halaman ke berapa, di novel keberapa. Ok? Ketemu kalimatnya?

Susunlah menjadi tujuh belas baris. Oh ya, mengenai susunan mana yang baris pertama, kedua dan seterusnya, silakan pakai rumus acak yang dihitung berdasarkan gerak waktu atau sudut perputaran matahari.

Aha! Kita sudah mencipta satu puisi baru! Apakah kita mengerti atau tidak, itu bukan soal. Bukankah kita hanya menawarkan ladang untuk berimajinasi bagi orang lain. Kalau ada yang orang terpesona dan menganggapnya ini puisi cerdas, biarkan saja. Ini bukan test IQ untuk menentukan tingkat kecerdasan kita.

***

Persahabatan dengan Seekor Anjing

Aku tidur di depan kulkas. Suaranya berdengung seperti kaos kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi. Aku memakai rakit bambu, kembali pulang ke nenek moyangku. Mereka ternyata tak pernah tidur. Mereka sibuk menjaga pohon pisang di pinggir kali. Lalu mereka kembali mengajariku menyanyi. menabuh. dan menari, Dari tubuhku berjatuhan telur-telur busuk. Nyanyian sungai dan pesta batu-batu. Aku berteman dengan seekor anjing yang sudah lama membenci negara yang tak pernah keluar dari dalam kulkas itu. Kulkas dengan partai-partai spanduk dan kaos oblong. Yang sibuk mencekik suara rakyat. Cahaya matahari sangat ramah di sini, menerangi bulu-bulu anjing. 2002

Oktober 2009