Sejatinya Adonis bukanlah pembingung. Ia menunjukkan bahwa pengetahuan kita hanyalah buah dari ketakutan kita akan kebingungan.
Penulis: Adonis
Judul: Nyanyian Mihyar Dari Damaskus
Penerbit: Durakindo Publishing, Jakarta.
Tahun: Cetakan I, November 2008
Tebal: 193 hal
“Kau gelisah, kau pun menulis puisi. Tentang Tuhan yang resah. Tentang pagi yang membunuh bintang-bintang. Tentang rahim jaman yang melahirkan laba-laba. Tentang nabi yang tak tahu mana wahyu mana sajak.”
“Kau gelisah, kau pun mengira dunia sedang mengeluh. Tidak, mungkin penamu bertinta logika, yang mencari kata, amsal, umpama atau pun andai-andai pada batu dan debu yang tak bersalah.”
“Kini kau sedikit lebih tenang. Puisimu mungkin memberimu jawab. Tapi kau tak bisa menjawab kau, sebagaimana kau tak bisa mengerti tentang kau. Kau patahkan penamu. Kau temukan lagi kebingunganmu. Lalu kau pun menulis puisi. Tentang warga yang diusir sukunya, atau tentang anak yang menolak kafilahnya, tentang laut yang tak menemukan pantai, atau tentang Adam yang menanyakan bapanya.”
“Kau nikmati semua kegelisahanmu. Kau nikmati kebingunganmu. Kau temukan apa yang tak ditemukan oleh kebanyakan orang. Untuk puisi-puisimu, ijinkan aku menepi, memberi jalan raya bagimu.”
Ketika memegang buku puisi Nyanyian Mihyar dari Damaskus ini saya sama sekali belum mengenal siapa Adonis sang empunya syair. Dari balik plastik perekat, pertanda buku ini tak boleh dibaca sebelum dibeli, tampak sampul depan yang terlalu sederhana untuk sebuah kumpulan puisi hebat yang ditulis oleh penyair berkelas nominasi nobel kesusasteraan. Nama Goenawan Mohamad yang menjadi pengantar menunjukkan pentingnya Adonis dan Aghani Mihyar al-Dimasyqi.
Saya tidak tahu apakah Goenawan Mohamad hendak memuji atau mempertanyakan pemikiran-pemikiran Adonis. Beliau mengatakan bahwa “Kita berbahagia bahwa ada Adonis di zaman ini: zaman yang mau mengingkari kebingungan – zaman di mana perhitungan ekonomi yang mengutamakan apa saja yang produktif, efisien dan mudah dikontrol; juga zaman yang berilusi, bahwa manusia bisa ditertibkan tanpa korban, misalnya oleh doktrin ideologi dan agama. Kita berbahagia Adonis menulis dan berbicara.”
Sedangkan Adonis dengan lugas mengakui kebingungannya.
Sebuah Suara
Mihyar adalah wajah yang dikhianati
orang-orang yang dikasihinya
Mihyar adalah lonceng tanpa denting
Mihyar ditulis di wajah-wajah sebagai nyanyian
yang mengunjungi kita diam-diam
di jalan-jalan putih yang diasingkan
Mihyar adalah genta orang-orang bingung
di atas bumi Galilea ini.
Padahal Adonis tidak sedang bingung, ia menerima segenap kebingungannya.
Sebuah Suara Lain
Ia tak tahu lagi jalin hubungan benda-benda
Pun bintang perasaannya tak lagi bercahaya
Meski begitu, tak juga ia tersandung.
Bahkan ketika langkahnya menjadi bongkah batu
dan kedua pipinya jatuh terbelah karena jemu
Dikumpulkannya perlahan anggota-anggota tubuhnya
Dikumpulkannya untuk kehidupan
Tapi sayang, kembali lalu berhamburan.
Sejatinya Adonis bukanlah pembingung. Ia menunjukkan bahwa pengetahuan kita hanyalah buah dari ketakutan kita akan kebingungan, yang mencari-cari dogma yang sesungguhnya membuat kita semakin bodoh dan penuh fantasi.
Bingung
(Suara-suara)
Karena bingung,
ia ajari kita bagaimana membaca debu.
Karena bingung,
awan apinya berlalu di atas laut kita,
api dahaga umat manusia
Karena bingung,
ia berikan kita fantasi
ia berikan kita pena, buku, dan pensil
Adonis mempertanyakan tidakkah kita memiliki sedikit keberanian untuk menemukan keimanan kita sendiri, meninggalkan dogma-dogma yang belum-belum sudah memvonis kita dengan dosa-dosa.
Bahasa Dosa
Aku bakar warisanku
Aku katakan:
Bumiku perawan
Di masa mudaku tak ada kuburan
Aku seberangi Allah dan setan
(jalanku lebih jauh dari semua jalan Tuhan dan setan) –
Aku berlalu di dalam bukuku
diiringi petir bersinar
diiringi petir hijau
Aku teriak:
Tak ada surga tak ada kejatuhan setelahku
Telah kuhapus bahasa dosa
Tuhan Yang Sudah Mati
Hari ini telah kubakar
Fatamorgana Sabtu dan fatamorgana Jum’at
Hari ini telah kulempar topeng rumah itu
dan telah aku ganti Tuhan batu buta
dan Tuhan hari-hari tujuh
dengan seorang Tuhan yang sudah mati
Adonis melecut kita untuk berani berjalan tanpa kendali apa-apa, selain ketidaktahuan diri sendiri.
Musafir
Aku musafir
Kutinggalkan wajahku di corong lampu
Petaku bumi tanpa Khalik
Penolakanlah Injilku
Mazmur
Sungguh aku seorang peragu sekaligus Nabi
Lantas melebur dalam kehilangan yang sejati.
Hilang
Aku hilang
Kulempar kepada pagi wajahku dan kepada debu
Kulempar wajahku kepada kegilaan
Kedua mataku dari rumput dan api
Kedua mataku adalah panji-panji
dan mereka yang berangkat pergi
Aku hilang
Kulempar kepada pagi wajahku dan kepada debu
Aku dilahirkan di ujung jalan
Aku teriak –
Semoga teriak bersamaku jalan dan debu:
“Tuhan, alangkah indahnya
hilang wajahku hilang diriku
penuh api
O, kuburan
O, akhirku di awal musim semi.”
Ini adalah buku puisi provokatif. Penuh dengan pandangan sang penyair yang menolak dogma dan ajaran. Tampaknya Adonis ingin membebaskan jiwa manusia dari kekangan doktrin. Mungkin ia ingin menjadi al-Hallaj. Kita tak tahu apakah ia benar-benar telah menjadi al-Hallaj itu. Apakah ia telah benar-benar menempuh jalan itu selain menulis puisi-puisi ini. Bersiaplah tersengat saat membaca puisi-puisi Adonis ini. Kejutan demi kejutan alot untuk dikunyah.
Namun, Adonis pun menulis puisi-puisi yang manis.
Ia Tidur Di Kedua Tangannya
Ia rentangkan kedua telapak tangannya
untuk tanah air mati, untuk jalan-jalan bisu
Dan ketika kematian begitu lekat di kedua matanya,
ia kenakan kulit bumi dan benda-benda
Ia tidur di kedua tangannya.
Sebuah Elegi
Debu menyanyikanmu
Mempersembahkan puisi-puisinya untukmu
Menuntun langkah-langkahmu ke arah jurang
Meratapi puing-puing nyanyianmu
Puing-puing semua impianmu
Debu selubungi kaca musim-musim
Selubungi cermin-cermin
Selubungi kedua tanganmu
Februari 2010