A Mustofa Bisri – Lukisan Kaligrafi

Kumpulan cerpen dalam buku ini ditulis oleh seorang kyai. Tak heran jika kental dengan nuansa kehidupan pesantren, masyarakat tradisional sekitarnya dan berbagai pernak-pernik kehidupan dakwah.

Media: Buku
Penulis: A Mustofa Bisri
Judul: Lukisan Kaligrafi
Penerbit: Kompas, Jakarta
Tahun: Cetakan kedua, Juni 2005
Tebal: 130 halaman

“Aku pernah berjumpa beberapa guru. Pertama, guru yang menasehatiku. Ia memperparah rasa bersalahku, namun sesaat kemudian menunjukkan apa yang seharusnya aku lakukan. Ia guruku karena mengguruiku.”

“Kedua, guru yang menceritakan kisah-kisah kebajikan. Ia tak mengguruiku. Membiarkan kecerdasanku menemukan apa yang harus kulakukan. Ketiga, guru yang tak mengguruiku atau menceritai aku. Tapi aku belajar dari gerak-geriknya. Ia adalah contoh dari apa yang diajarkan oleh guru-guru lain. Keduanya tak mengguruiku.”

“Keempat, guru yang tak mau mengajari apa pun, juga tak pada gerak-geriknya. Ia hanya menyodorkan cermin agar aku melihat wajahku sendiri. Wajah yang tak pernah mau aku lihat.”

Karena ke lima belas cerpen dalam buku ini ditulis oleh seorang kyai, maka semua ceritanya kental dengan nuansa kehidupan pesantren, masyarakat tradisional sekitarnya dan berbagai pernak-pernik kehidupan dakwah. Disampaikan sebagaimana adanya. Itulah bagian yang paling menarik dalam cerpen-cerpen ini.

Cerpen Gus Jakfar, Kang Kasanun dan Ndara Mat Amit adalah yang paling menarik. Bercerita tentang orang-orang yang punya “kelebihan”. Orang-orang yang mampu melihat apa yang tak bisa dilihat orang lain, pandai bela diri, atau mereka yang punya punya ilmu halimun. Siapa pun yang dekat dengan kehidupan pesantren tradisional pasti akrab dengan kisah-kisah seperti itu. Bedanya, sang penulis ingin menyampaikan bahwa ilmu-ilmu seperti tidaklah selalu bermanfaat bagi kebajikan. Ketiga cerpen tersebut bercerita tentang bagaimana orang-orang dengan kelebihan tadi justru “melepaskan” ilmunya secara sengaja. Mereka khawatir ilmu-ilmu tersebut malah membawa pelakunya pada hal-hal buruk. Seperti yang disampaikan dalam cerpen Ngelmu Sigar Raga.

Beberapa cerpen bercerita tentang pernak-pernik kehidupan dakwah. Seperti: Gus Muslih, Amplop-amplop Abu-abu, Iseng, Mubalig Kondang. Cerpen Mubalig Kondang cukup menarik karena menggambarkan bagaimana antusias masyarakat kita menghadiri acara-acara pengajian, apalagi jika yang berbicara adalah mubalig kondang. Berbondong-bondong orang dari berbagai penjuru datang untuk mendengarkan tausyiah dan mencari berkah. Namun demikian sang penulis tidak lupa menuliskan keprihatinannya pada mubalig yang lebih mementingkan ketenaran, seperti dalam cerpen Iseng. Atau malah menipu masyarakat, seperti dalam cerpen Mbah Sidiq. Sedang dalam cerpen Amplop-amplop Abu-abu sang penulis menyampaikan enam pesan pada mubalig agar kembali pada tujuan murni dakwah.

Ada beberapa cerpen yang tampak klise, seperti Amplop-amplop Abu-abu, Gus Muslih, Mbok Yem. Beberapa cerpen lain tampak ajaib, seperti Ning Ummi, Kang Amin. Keduanya bercerita tentang kehidupan pesantren yang menyangkut hubungan lelaki dan perempuan. Cerpen Lukisan Kaligrafi cukup menarik karena pesannya tentang betapa banyak seniman kaligrafi yang justru sama sekali tidak tahu tata tulis kaligrafi yang baik dan benar. Mereka hanya mementingkan aspek komersialisme saja.

Nyaris semua cerpen menggunakan pola yang sama, yaitu ending yang mengejutkan. Ending seperti ini memang cukup berhasil untuk menghenyakkan pembaca, namun pembaca yang cerdik tentu tak membiarkan dirinya terus bertanya-tanya. Pada cerita-cerita klise dan musykil, kejadian ajaib dimungkinkan tanpa ada penjelasan. Namun pada cerita yang lebih serius, penulis perlu mengembangkan skenario, menggali sisi dalam para lakon dan kejadian-kejadian. Jika tidak, penulis hanya akan terjebak pada cerita-cerita mustahil. Karenanya, sangat ditunggu kesediaan sang kyai menulis cerita yang lebih panjang. Monggo gus.

Ini adalah kumpulan cerpen yang renyah nan sederhana.

Juni 2009