Y.B. Mangunwijaya – Ragawidya

Buku ini mengajarkan agar kita senantiasa menyadari dan menghayati setiap gerak-gerik kita, menemukan kebajikan di dalamnya. Lalu mempersembahkannya sebagai wujud bakti pada Sang Pencipta.

Penulis: Y.B. Mangunwijaya
Judul: Ragawidya – Religiositas Hal-hal Sehari-hari
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Tahun: 1986
Tebal: 108 hal

“Kau melangkah dengan tergesa-gesa. Pikiranmu ada di masa depan, di tempat yang ingin kau tuju, di persoalan yang akan kau hadapi. Kau terburu-buru, dan tak menyadari betapa sigapnya langkahmu, betapa angin memainkan anak rambutmu, betapa peluh mendinginkan pori-porimu. Dalam ketergesaanmu, kau lupakan saat ini, kau kehilangan penghayatanmu pada apa yang sedang terjadi.”

“Saat kau tiba ditempat yang kau tuju secara terburu-buru, saat kau sampai di persoalan yang kau hadapi, tiba-tiba pikiranmu melaju ke tempat yang lain di depan sana. Kau ingin ini segera berakhir, dan kau ingin bisa sampai di waktu dan tempat di depan. Pikiranmu tergesa lagi. Pikiranmu tak di sini. Lagi-lagi kau kehilangan penghayatan pada apa yang sedang terjadi. Padahal waktu adalah hanya saat ini. Dan, hidup hanyalah saat ini.”

Almarhum Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, atau Romo Mangun adalah salah satu tokoh Indonesia yang cukup komplit: agamawan, budayawan, sastrawan, arsitektur. Beliau, tentu saja, sangat disegani. Kita mungkin lebih kenal dengan karya-karya sastranya, seperti novel Burung-burung Manyar, trilogi Roro Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri, Durga Umayi, Pohon-pohon Sesawi, atau kumpulan cerpen Rumah Bambu.

Namun pagi ini, ketika sedang memindai rak buku yang berdebu, mata saya tertumbuk pada tiga buah buku kumpulan essay karya Romo Mangun yang berdiri berjajar: Ragawidya (1986), Putri Duyung Yang Mendamba (1987), dan Puntung-puntung Rara Mendut (1978).

Lalu ingatan saya melambung ke berpuluh tahun silam. Ke tiga buku Romo Mangun ini masuk dalam daftar literatur yang paling sering saya baca dengan pelan-pelan penuh kenikmatan. Ini bukan buku cerita, melainkan semacam kumpulan essay tentang spiritualitas, religiusitas dan sosial budaya. Kali ini, perkenankan saya menawarkan salah satu buku yang pernah begitu memikat perhatian saya: Ragawidya, Religiositas Hal-hal Sehari-hari. Sebuah buku tipis, terbit tahun 1986.

Raga adalah jasad wadag, jasmani, fisik manusia. Sedangkan Widya adalah pengetahuan arif. Ragawidya adalah perjalanan Romo Mangun untuk menemukan kearifan-kearifan yang ingin dibahasakan oleh gerak-gerik jasad fisik manusia. Romo Mangun percaya bahwa hidup sejati hanya tercapai saat tubuh fisik melebur dengan batinnya.

Hakikatnya, tidaklah tubuh tidak mencerminkan batin. Demikian pula, batin sungguh mustahil mengejewantah tanpa melalui jasad raga manusia. Atas dasar itu, Romo Mangun yakin tubuh memiliki kearifan. Melalui tubuh kita hidup. Melalui tubuh kita berkarya dan berbakti. Maka, hanya melalui tubuhlah tujan kemuliaan batin bisa terujud. Karenanya, dalam setiap gerak tubuh sejatinya ada nilai-nilai luhur, ada makna religiusitas.

Dalam Ragawidya, Romo Mangun mengungkapkan nilai dan makna religius yang ada dalam setiap aktivitas kita, yang mungkin tampak remeh temeh, biasa-biasa saja; seperti mendengar, berkata, menyanyi, ketawa dan menangis, melamun, bernafas, berdiri, duduk, menunduk, berlutut dan bersujud, berjalan, menari, bekerja, mandi, berpakaian, makan dan minum, juga saat kita tertidur. Dalam tepekur Romo Mangun, semua gerak-gerik kita bukan terjadi begitu saja. Selalu ada kedalaman, selalu ada penghayatan, selalu ada kearifan, lebih jauh lagi, selalu ada tempat untuk beribadah.

Saat membahas aktivitas “Melihat”, Romo Mangun menulis bahwa melihat adalah sebuah kebahagiaan dan wajib bagi kita untuk mensyukurinya. Namun melihat adalah hal yang rumit. Dua orang yang melihat obyek yang sama bisa memberikan tafsiran yang berbeda. Bagi yang satu menjengkelkan, untuk yang lain memesona.

Melihat pun berbeda dalam jarak waktu. Kita sering berkata, itu dulu tidak kulihat, sekarang aku sudah tersadar. Orang sombong melihat dirinya rendah hati dan peramah. Sebaliknya para sufi melihat dirinya sangat berdosa dan menangisi kekurangannya. Maka, kita pun harus mau melatih penglihatan kita. Bila kita mampu melihat kebaikan-kebaikan sesama manusia serta hal ihwal yang menimpa kita, maka benar agunglah karya Tuhan dalam diri kita: kita mulai menjadi baik.

Tentang “Mendengar”, Romo bertutur bahwa untuk bisa mendengar firman Tuhan di tengah keriuhan sekeliling kita, kita harus berani mencari keheningan. Manusia yang pendengarannya selalu ingin mendengar yang ramai dan dibanjiri hiruk pikuk sebenarnya menunjukkan ketakutan untuk mendengar apa yang benar dan sejati. Mendengarkan berarti lebih jauh dari hanya mendengar. Mendengarkan berarti menolong secara nyata.

Tentang “Ketawa Dan Menangis”: Orang yang girang tertawa terpingkal-pingkal sering mencucurkan airmata. Orang yang sedih mencucurkan airmata juga. Yang pertama-tama diharapkan dari seorang bayi sehat yang baru lahir ialah tangisnya. Tetapi dengan tak sabar pula orangtua menanti saat pertama sang bayi tersenyum. Rupanya tawa dan tangis adalah dua cara penghayatan manusia yang sangat manusiawi.

Itu tadi sekedar 3 bab yang saya ringkas, yang tentu saja tak pantas untuk mewakili apa yang ingin dan bagaimana Romo Mangun menyampaikan refleksinya. Ada 18 bab yang ditulis oleh Romo Mangun dalam bahasa yang lembut, hangat, tenang dan halus. Saya teringat, saya membaca buku ini dengan lambat-lambat, perlahan, hati-hati. Membaca dengan cara demikian saya merasa dibisiki dengan akrab, saya rela digurui, saya pantas diingatkan.

Inilah buku yang mengajarkan saya untuk senantiasa menyadari dan menghayati setiap gerak-gerik kita, lalu menemukan kebajikan dalam tindakan kita, dimana pada akhirnya mempersembahkannya sebagai wujud bakti dan ibadah kita pada Sang Maha Pencipta.

Bagian dari buku Ragawidya yang pernah begitu mencerahkan saya adalah bab 14, tentang “Bekerja”. Romo Mangun mencatat pendapat awam yang menganggap bekerja atau berkarya adalah keharusan mencari nafkah, yang memungkinkan kita mendapat makan, berpakaian, berumah dan membelanjai beraneka ragam kebutuhan hidup. Namun ada satu paradoks, dalam bahasa resmi sehari-hari istilah pekerja atau karyawan hanya dipakai bagi kalangan lapisan rendah. Kalangan tinggi tidak disebut karyawan atau pekerja, kendati mereka berkarya juga. Keunggulan manusia lapisan atas dianggap justru karena mereka sudah mampu mengatasi dan tidak membutuhkan kerja. Mereka dianggap unggul karena mampu memerintah. Seolah bekerja hanya bagi mereka yang rendah derajatnya.

Padahal bekerja adalah kehormatan dan bukan ciri orang kecil dan rendah. Justru menganggur semakin dirasakan sebagai memalukan. Kerja termasuk dorongan dan kodrat manusia. Dengan memahami kerja, manusia bisa menjadi manusia yang utuh, dewasa matang, menjadi manusia berkebudayaan, berkepribadian. Bekerja adalah percikan daya cipta yang agung dari keMahaKuasaan Tuhan. Namun janganlah bekerja menjadi nafsu, yaitu pelarian dari kesejatian manusia. Kerja haruslah menjadi luhur, membentuk sejarah. Demikian, Romo Mangun memaknai “kerja”.

Sudah begitu lama saya tidak membaca lagi buku ini. Pagi ini, ketika debu-debu itu saya tiup dan dengan lamat saya buka dan baca lembar demi lembar dengan penuh khidmat, ternyata buku dengan kalimat-kalimat sederhana ini masih mampu menggetarkan saya. Tiba-tiba saya merasa syahdu. Apakah ini pertanda saya sudah terlalu lama terbuai oleh riuhnya kehidupan duniawi yang hanya hampa dari makna-makna luhur? Apakah ini pertanda saya telah kehilangan penghayatan saya pada hidup dan melupakan kemuliaan spiritualitas di dalamnya? Saya hanya bisa bergumam: Duh Gusti.

Maret 2010