Wiji Thukul – Aku Ingin Jadi Peluru

Sekarang ini masihkah relevan membaca Wiji Thukul? Jika sampai sekarang kita masih melihat realitas kekerasan, maka diperlukan Wiji Thukul untuk mengingatkannya pada kita semua.

Media: Buku
Penulis: Wiji Tukhul
Judul: Aku Ingin Jadi Peluru
Penerbit: IndonesiaTera, Magelang
Tahun: Cetakan I, Juni 2000
Tebal: xx + 174 halaman

“Kalau hidupmu tidak mudah, penuh tekanan, keras, kejam dan hampir-hampir kau tak tahu harus berbuat bagaimana, maka menulislah puisi. Kalau hidupmu terjepit, kau dikejar-kejar, kau bersembunyi, kau berganti kaos, celana, sandal bahkan nama, sampai-sampai kau nyaris alpa dirimu sendiri, maka menulislah puisi. Puisi apa yang kau tulis? Apa pun itu, puisi akan melembutkan pikiranmu, setidaknya jemarimu sendiri.”

Di jaman seperti ini, masihkah relevan membaca Wiji Thukul? Tahun-tahun ini tentu sudah jauh berbeda dibanding era Wiji Thukul. Sudah tidak ada lagi sepatu lars menginjak di bawah meja. Orang boleh mencaci presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati juga para DPRnya sendiri tanpa perlu gentar. Orang punya puluhan partai politik untuk di pilih.

Konon, kita tidak perlu lagi punya rasa takut pada negara. Ya, itu benar. Yang menjadi persoalan bukan apakah kita takut pada negara, melainkan jika negara takut pada warganya sendiri. Itu jauh lebih mengerikan. Karenanya, meski era penghilangan orang macam Wuji Thukul dianggap sudah berlalu namun masih ada kematian-kematian yang tak perlu. Munir, misalnya. Ironisnya, Munir turut menulis essai tentang Wiji Thukul. Nama Munir sebagai pengantar buku kumpulan puisi Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru.

Masihkah relevan membaca Thukul? Soal relevansi, itu mudah dicari. Ada baiknya simak satu puisi Thukul ini:

Kucing, Ikan Asin Dan Aku

Seekor kucing kurus
menggondol ikan asin
laukku untuk siang ini
aku meloncat
kuraih
pisau
biar
kubacok ia
biar
mampus

ia tak lari
tapi mendongak
menatapku
tajam

mendadak
lunglai
tanganku
-aku melihat diriku sendiri!

lalu kami berbagi
kuberi ia kepalanya
(batal nyawa melayang)
aku hidup
ia hidup
kami sama-sama makan

Puisi tentang sesuatu yang sederhana dengan bahasa sederhana.

Hidup Wiji Thukul keras. Ini tampak dari puisi-puisi dalam buku ini. Buku kumpulan puisi yang diterbitkan oleh IndonesiaTera berusaha merangkum semua puisi Wiji Thukul. Buku ini memuat dua kumpulan puisi Wiji Thukul yang pernah terbit sebelumnya (oleh Taman Budaya Surakarta), yaitu Puisi Pelo, dan Darman Dan Lain-lain, yang menjadi dua sub bab tersendiri. Juga memuat puisi-puisi yang belum terkompilasi yang dijadikan dua sub bab, Lingkungan Kita Si Mulut Besar dan Ketika Rakyat Pergi.

Sub bab terakhir berjudul Baju Loak Sobek Pundaknya adalah kumpulan puisi semasa pelarian (setelah 1 Agustus 1996). Dalam pelarian, Wiji Thukul menulis dengan nama samaran Budi Bang Branang. Salah satu puisi masa pelariannya adalah Kucing, Ikan Asin Dan Aku di atas.

Nyanyian Akar Rumput

jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang

kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!

Kalau banyak orang negara takut pada Wiji Thukul (dulu) itu bisa dimengerti. Membaca Wiji Thukul adalah membaca semangat perlawanan.

dalam keyakinan kami
di mana pun –tirani harus tumbang! (Bunga Dan Tembok)

mari tidur
persiapkan
perlawanan, esok pagi! (Untuk D)

aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam? (Tentang Sebuah Gerakan)

aku menulis aku penulis terus menulis
sekalipun teror mengepung (Puisi Di Kamar)

penjara sekalipun
tak bakal mampu
mendidikku jadi patuh (Puisi Menolak Patuh)

kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu: pembebasan! (Tujuan Kita Satu Ibu)

Tapi Wiji Thukul bukanlah orang yang begitu keras penuh pemberontakan. Ia tetaplah manusia yang mempunyai sisi lembut, terutama pada ibu. Wiji Thukul tidak sekedar menulis perlawanan, ia menulis banyak hal, terutama hal sehari-hari yang ia akrabi. Kalau toh Wiji Thukul menari-nari dalam dunia imajinasi, ia tetap kembali pada sehari-hari.

Sajak Ibu

ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
tetapi menangis ketika aku susah
ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar
ibu akan marah besar
bila kami merebut jatah makan
yang bukan hak kami
ibuku memberi pelajaran keadilan
dengan kasih sayang
ketabahan ibuku
mengubah sayur murah
jadi sedap


dengan kebajikan
ibu mengenalkanku kepada tuhan

Derita Sudah Naik Seleher

kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku manjadi gelap

kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras

kaupaksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak

darah sudah kauteteskan
dari bibirku
luka sudah kaubilurkan
ke sekujur tubuhku
cahaya sudah kaurampas
dari biji mataku

derita sudah naik seleher
kau
menindas
sampai
di luar batas

Membaca Wiji Thukul adalah membaca dunia Wiji Thukul dengan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti. Bahasanya cukup lugas, tidak berbunga-bunga, dan tidak memerlukan banyak tafsir. Itu karena ia ingin didengar. Ia bukan menulis puisi untuk dikulum diam-diam. Puisinya untuk diucapkan bahkan diteriakkan. Kata orang, puisi Wiji Thukul adalah puisi protes. Namun, mungkin lebih tepat dipandang sebagai sebuah puisi proses. Karena menulis puisi bagi siapa pun adalah sebuah proses. Proses menafsirkan realita. Dan, bagi Wiji Thukul realita itu berupa kekerasan.

Kembali ke pertanyaan semula. Di jaman sekarang ini apa relevansinya membaca Wiji Thukul? Hm, tidakkah kita sedang melihat realitas kekerasan itu sampai sekarang? Diperlukan Wiji Thukul untuk mengingatkannya pada kita semua.

Agustus 2009