Selama duduk di penerbangan business class saya harus jaga image. Bergaya santai dan biasa saja. Seolah-olah duduk bersama penumpang-penumpang elit bukan hal istimewa.
Entah bagaimana ceritanya, hari itu saya ketiban rezeki nomplok. Naik pesawat terbang di kelas bisnis. Kelas paling mahal. Garuda pula. Hampir setiap bulan, untuk urusan pekerjaan, saya harus mondar-mandir Surabaya-Jakarta dengan pesawat terbang. Tentu saja di kelas ekonomi. Sesuai jatah kantor. Tapi, kali ini saya bisa duduk di kelas bisnis. Jangan tanya asal muasal kejadiannya. Itu sebuah kecelakaan.
Yang pasti, duduk di kelas bisnis itu nyaman, lega dan keren. Saya merasa semua penumpang memerhatikan saya. Mereka seperti menunjukkan wajah iri dan setengah tak percaya. Saya pun harus jaga image. Saya berusaha bersikap santai dan biasa saja. Seolah-olah duduk bersama penumpang-penumpang elit bukan hal istimewa.
Hanya ada empat penumpang di kelas bisnis. Dua pria necis, mengenakan jas dan dasi. Mungkin mereka top eksekutif di perusahaan besar. Ada satu wanita setengah baya. Berkacamata hitam lebar. Menenteng tas bermerek. Mungkin istri pejabat tinggi. Dan saya, memakai seragam kerja dengan bordiran nama perusahaan di bagian saku kemeja. Meski penampilan saya biasa-biasa, tapi di kelas bisnis perceived value saya naik beberapa setrip dibanding mereka yang berdesak-desakan di kelas ekonomi.
Tiba-tiba ada yang menyapa saya. Tentu saja ini kejutan yang menyenangkan. Bertemu kenalan ketika saya duduk di kelas bisnis itu beda. Ada rasa bangga bercampur besar kepala. Kami berbasa-basi sejenak. Kemudian dia bergegas ke deretan belakang. Ke kelas ekonomi!
Pramugari melayani saya dengan santun. Menawari makanan hangat, pilihan minuman disertai perbincangan ramah. Terbayang, para penumpang di kelas ekonomi sekarang pasti hanya menyantap jatah roti dalam kotak karton. Mereka pun diladeni oleh para pramugari yang selalu tampak terburu-buru. Suasana di kelas bisnis tenang. Tak seperti kelas ekonomi yang berisik dengan chit-chat tak jelas.
Satu jam perjalanan berlalu dengan cepat. Pesawat mendarat ringan. Sebagai penumpang istimewa saya dipersilakan turun lebih dulu. Saya melangkah anggun. Memberi senyum kemenangan pada para crew. Begitu meninggalkan pesawat saya bergegas menuju pintu keluar. Tujuan saya selanjutnya adalah mendapatkan taksi.
Hari itu bandara begitu sibuk. Saya harus menunggu giliran taksi cukup lama. Saya menoleh ke kanan-kiri, mencari tiga penumpang seperjalanan di kelas bisnis tadi. Mereka tak tampak. Mungkin mereka sudah dijemput oleh kendaraan pribadi yang mewah dan nyaman. Saya harus akui, kenikmatan kelas bisnis hanyalah sementara. Hanya saat berada di atas pesawat. Di daratan, saya menemukan kelas diri yang sesungguhnya. Yaitu, pekerja kelas ekonomi yang menunggu jatah taksi bersama penumpang-penumpang lain. Ditemani keringat. Dan gerah udara Jakarta.
6 April 2016