Umar Kayam – Seribu Kunang-kunang Di Manhattan

Yang membuat saya terpaku saat membaca cerita-cerita Umar Kayam, bukan sekedar cerita yang menarik, melainkan bisa belajar tentang budaya dan kehidupan orang Jawa.

Penulis: Umar Kayam
Judul: Seribu Kunang-kunang Di Manhattan
Penerbit: PT. Pustaka Utama Grafiti
Tahun: April 2003
Tebal: ix + 260 hal

“Kau menulis begitu nyata, seolah tokoh-tokoh itu ada, tak seperti ada di cerita-cerita, melainkan menjadi tetangga sebelah rumah. Karena kau tahu tentang hidup tokoh-tokohmu. Karena kau menghayati apa yang menjadi refleksi cerita-ceritakmu. Kau menulis begitu ada, karena kau tidak menulis tentang tokoh-tokoh yang ada atau yang tak ada. Kau menulis tentang hidupmu. Hidup yang sungguh-sungguh telah kau tahu, telah kau hirup, telah menyentuhmu berumur-umur.”

“Kau bisa saja menulis tentang air meski tak pernah berbasah air. Sayangnya imajinasi tak pernah selembut otentisitas, makanya berbasah air selalu menjelma nuansa. Kau bisa bercerita tentang api meski tak sekalipun tersulut hangus. Tetapi khayalan takkan sehalus kenyataan, makanya tersulut hangus selalu menjadi paham, bukan sekedar tahu dan mengerti.”

Saya telah mengoleksi dan membaca tuntas buku kumpulan cerpen “Seribu Kunang-kunang Di Manhattan” karya Umar Kayam ini sejak bertahun-tahun silam. Ini adalah salah satu buku kumpulan cerpen wajib bagi penyuka cerita pendek Indonesia. Dan alangkah kesalnya saya ketika mengetahui buku ini hilang terselip entah dimana lantaran anak gadis saya ceroboh menyimpannya setelah mengerjakan tugas sekolah meresensi buku sastra Indonesia. Saya pun berusaha mengoleksinya lagi. Tetapi nama besar Umar Kayam seolah tak menarik bagi kebanyakan toko buku berjaringan nasional. Buku ini tak saya jumpai di rak-rak toko buku mereka.

Sampai suatu hari saya berkesempatan mengunjungi sebuah toko buku di bilangan Rawamangun yang banyak menjual buku-buku sastra. Saya tanyakan pada mbak penjaga toko, “Apakah ada buku Seribu Kunang-kunang Di Manhattan karangan Umar Kayam?”. Dijawab dengan antusias oleh mbak penjaga toko, “Ooo.. bukunya Pak Kayam ya? Ada.. ada..” Lalu ia menuntun saya ke sebuah rak dan menemukan buku itu untuk saya. Dalam hati saya sedikit malu, bukan karena saya telah memutari rak itu beberapa kali dan tak berhasil menemukannya. Melainkan karena saya merasa “kurang ajar” saat menyebutkan nama “Umar Kayam” dengan “Umar Kayam” begitu saja, sedangkan mbak penjaga toko itu dengan begitu takjim menyebutnya “Pak Kayam”. Saya merasa mbak penjaga toko itu telah bersikap hangat pada sang almarhum.

Meski saya bukan orang Jawa, hanya istri saya yang asli Jawa, namun saya tahu kapan saya boleh “ngoko” dan kapan saya harus “kromo inggil”. Untuk Umar Kayam, pengarang yang saya kagumi dan hormati, semestinya saya tak perlu berberat lidah untuk memanggilnya “Pak Kayam”. Ngapunten.

Seribu Kunang-kunang Di Manhattan. Dialog-dialog sepasang insan dalam pengaruh scotch dan martini. Sekilas ia tampak sekedar obrolan pengisi kekosongan malam. Namun jelas, ini adalah percakapan manusia-manusia dewasa yang sadar akan diri dan segenap problemanya. Sebuah potret sesaat dengan kesan yang amat kuat dan dalam, membuka jendela imaji lebar-lebar. Saya sangat suka cerita ini. Saya curiga, apakah Seno Gumira Ajidarma menemukan inspirasi genre realisme metropolitannya dari cerpen ini. Tahun 1968, cerpen ini dianugerahi penghargaan cerpen terbaik majalah Horison.

Istriku, Madame Schlitz, Dan Sang Raksasa. Tentang pasangan keluarga Jawa dengan bekal intelektualitas dan mahfum pergaulan yang “nginternationalisme”, namun berusaha tetap menjadi “Jawa” di New York yang anonim.

Sybil. Masih seputar New York yang menelan segala sesuatu. Kali ini dalam rongga mulut seorang raksasa kecil bernama Sybil.

Secangkir Kopi Dan Sepotong Donat. Ini cerita favorit saya, yang tak bosan-bosan saya baca. Kepanikan 15 menit di jam minum kopi pagi, di sudut New York yang ribut. Inti cerita adalah rayuan tak berdaya di sela-sela aroma kopi dan donat. Ending cerita yang melegakan. Bagi saya, ini cerpen yang amat funky!

Chief Sitting Bull. Saya tersenyum saat Umar Kayam memilih untuk menciptakan sebuah hubungan yang lembut antara menantu dan mertuanya, meski si mertua tampak selalu merasa genting. Hubungan kemanusiaan itu berlaku universal, entah di New York atau di Gunung Kidul.

There Goes Tatum. Umar Kayam hendak bersenda-gurau. Sebenarnya banyak cerpen-cerpen Umar Kayam bertabur rasa humor, namun kali ini tampaknya beliau ingin membuatnya sedikit lebih dramatis dan mengesalkan. Meski begitu, kualitas dialog tokoh-tokohnya, bahkan tokoh sang perampok sekali pun, masih terdengar cerdas dan terpelajar.

Musim Gugur Kembali Di Connecticut. Cerita pendek yang cukup panjang dan sedikit melelahkan. Nilai lebih cerpen-cerpen Umar Kayam terletak pada keluasan wawasan yang membuat saya sebagai pembaca kebanyakan agak kewalahan membuka-buka referensi. Tapi di tengah kesibukan itu, saya terhibur dengan adegan romantis nan erotis yang diceritakan begitu halus namun mendebarkan juga.

Bawuk. Kekuatan Umar Kayam ada pada cerita-cerita semacam Bawuk dan Sri Sumarah yang berlatar belakang kebudayaan Jawa. Bawuk adalah anak perempuan yang menyempal dari arus kepriyayian. Dialog Bawuk tentang keputusannya untuk tidak menjadi priyayi seolah menjadi pidato pemberontakan Umar Kayam (Saya pikir, bagian ini mestinya bisa lebih diperhalus. Umar Kayam tampak cukup emosional saat menampilkan penjelasan panjang lebar Bawuk). Bagaimana pun, Umar Kayam tetap menjadikan Bawuk sebagai wanita Jawa sejati yang memilih untuk mengabdi pada suami PKInya yang menjadi buron entah dimana.

Kimono Biru Buat Istri. Cerita yang bagi saya juga “funky”. Namun ini bukan cerita yang menghibur begitu saja. Ini lebih tentang peran Umar Kayam sebagai seorang pengamat masalah-masalah sosial dan kebudayaan yang tajam. Senang rasanya membaca ulasan sosial budaya dalam jalinan nan lincah cerita, sejarah, dan kelembutan sastra.

Sri Sumarah. Lebih tepat sebagai sebuah novelet ketimbang cerita pendek. Umar Kayam menunjukkan ketangguhannya dalam memaparkan ajaran dan realitas Jawa. Siapakah Sri Sumarah? Ia hanyalah seorang tukang pijat yang beranjak tua. Namun, dalam kehidupan Jawa, di belakang sosok tukang pijat ada sebuah perjalanan hidup yang panjang dan berliku. Ada segenap refleksi dan pergulatan yang dalam. Sebuah cerita yang mengasyikkan dibaca dan, tentu saja, penuh haru biru. Cerita sepanjang Sri Sumarah ini mungkin takkan pernah terbit di halaman sastra koran-koran akhir pekan. Namun semoga hal ini tidak menyurutkan para pengarang kita untuk menulis cerita-cerita pendek yang lebih panjang demi keindahan cerita itu sendiri.

Yang membuat saya terpaku saat membaca cerita-cerita Umar Kayam, (maksud saya tentu Pak Kayam), bukan sekedar ceritanya yang lancar dan menarik, melainkan juga bisa menimba banyak pengetahuan tentang budaya dan kehidupan orang Jawa. Kehidupan manteri, onder, priyayi, petani juga simbok mengalir hidup dan menakjubkan. Beliau menulisnya dengan lembut, menyentuh cerpennya dengan halus, karena Umar Kayam adalah orang Jawa yang lemah lembut.

Keunggulan cerita Umar Kayam juga terletak pada wawasan dan referensi intelektualnya yang begitu luas, meliputi seni, budaya, berbagai pemahaman ideologi, isue-isue politik, bahkan sesekali Umar Kayam menunjukkan bahwa beliau pun tak ketinggalan menikmati riuhnya pertandingan dan tokoh-tokoh olahraga ternama.

Umar Kayam dengan luwesnya mampu meliuk-liukkan internasionalitasnya dengan tradisionalitasnya tanpa rasa kikuk. Dan yang tak kalah penting, beliau tak pernah kehilangan rasa humor. Ini membuat cerpen-cerpan Umar Kayam bukan sekedar karya sastra melainkan juga semacam telaah masalah-masalah sosial yang enak dinikmati.

Saya senang saya kembali mengoleksi buku ini. Saya membacanya lagi dengan penuh kerinduan dan kenikmatan. Tiba-tiba saya mempunyai prasangka saat membaca cerpen-cerpen New York-nya Umar Kayam. Apakah Seno Gumira Ajidarma menemukan ide untuk mengembangkan genre realism metropolitannya dari cerita-cerita ini? Saya merasa cerpen “Seribu Kunang-kunang Di Manhattan” pantas menjadi induk genre yang kelak dianut oleh banyak pengarang kita, ambil satu misal Djenar Maesa Ayu. Tapi, maaf jika dugaan saya berlebihan. Pasti karena, kecintaan saya pada cerpen-cerpen Umar Kayam-lah yang berlebihan. Pareng.

Maret 2010