Medy Loekito – Airmata Tuhan

Dibutuhkan ketabahan untuk menahan diri untuk tidak banyak berkata-kata. Dan, Medy bisa melakukannya. Kritik saya hanya satu, puisi-puisi Medy bisa ditulis lebih pendek lagi. Ha..ha.. ha..

Penulis: Medy Loekito
Judul: Airmata Tuhan
Penerbit: Bukupop, Jakarta
Tahun: Cetakan Pertama, Agustus 2009
Tebal: ix + 100 hal

“Kau bertanya, bolehkah setelah aku menulis puisi dan mengabarkannya pada kalian, kemudian aku mengubahnya karena ada satu dua kata yang baru aku temukan, lalu aku kabarkan lagi pada kalian sebagai puisi yang itu juga. Namun tak lama, aku pikir-pikir lagi dan aku ubah lagi satu dua kata pada puisi itu, lalu aku kabarkan lagi pada kalian sebagai puisi yang itu juga. Bolehkah aku mengubah puisi yang pernah aku bacakan pada kalian?”

“Aku katakan, sama sekali tak ada aral kau ubah puisi kau semau kau. Kau berkuasa atas puisi kau. Aku hanya berkuasa membacanya. Sedangkan mereka yang bertanya-tanya mengapa kau ubah-ubah pendirian dan merasa terkecoh seyogyanya bergembira melihat kau menjadi baru.”

Medy Loekito adalah puisi pendek. Ya, Medy Loekito hanyalah sedikit dari penyair kita yang konsisten menulis puisi-puisi mini. Buku antologi puisi Medy Loekito yang terbit Agustus 2009 ini pun bertaburan dengan puisi-puisi pendek, satu, dua atau tiga sampai empat baris. Meski ada beberapa puisi yang lebih panjang, namun bagi saya itu tetap pendek.

Setiap membaca puisi pendek, saya selalu terbayang pada Haiku. Tentu saja tidak mudah untuk menerapkan aturan Haiku tradisional pada selain bahasa Jepang, namun semangat ber-Haiku serta pendekatannya yang lembut terhadap alam dan sekitar selalu menarik perhatian penyair-penyair. Medy Loekito pun tak luput ber-Haiku.

Di Beranda

duduk di beranda
angin mengantar daun gugur
senja hari

Harus

sepiring nasi di tangan
ikan goreng di mata kucing
aku harus lebih cepat!

Musim Semi

musim semi di kebun
kupu-kupu mengejar anakku
ada bunga di rambutnya

Sketsa Malam

bulan perak
mengalir di sungai-sungai
gemetar di kolam-kolam

Di Halaman Rumah

musim hujan
datang di pucuk-pucuk daun
membawa pelangi
ke halaman rumah

Meski puisi terakhir di atas ber-empat baris, bagi saya puisi ini mengusung semangat Haiku.

Puisi-puisi pendek selalu menarik perhatian saya. Sebab pertama, tak mudah bagi saya mengerti begitu saja sebuah puisi panjang. Seringkali, karena kebebalan sebagai pembaca, puisi panjang melelahkan saya. Sebab kedua, puisi pendek tak mementingkan jumlah kata, namun bagaimana memeras kata hingga memberikan efek dan kesan yang segera serta mengejutkan pembacanya. Peristiwa-peristiwa besar dapat dipuisi-pendekkan tanpa kekurangan daya cambuknya.

Menatap Langit
:catatan duka tragedi Mei 1998

basah langit
airmata Tuhan

Di Piddie

sepi
menjajakan peluru
menawarkan maut

Puisi hemat kata paling efektif untuk menyampaikan gelegar semesta alam, karena membiarkan pembaca untuk membuka diri dan menemukan efek “a-ha”-nya sendiri. Sedangkan puisi panjang mungkin membuka ruang imajinasi seluas-luasnya, namun kehilangan efek “a-ha” karena menuntun pembacanya dan membatasi pada nuansa-nuansa tertentu.

Fajar di Maninjau

penjala tua
menyergap sepi

Di Tepi Malam

gegas fajar
mengubur rembulan

Saat Senja
: kepada matahari

kemana pulang?

Namun demikian, puisi pendek pun bisa pula lincah bermain kata-kata tanpa kehilangan kejenialan dan kegenitannya.

Betapa

betapa sangsai
rindu

betapa duri
sepi

betapa asing
diri

Puisi, Membacamu

luka
saling mengampuni

mawar
saling menikam

kata
saling mengakhiri

Mau

bayu
menderas waktu

waktu
mendetak batu

batu
mengeras mau

Membaca antologi puisi Medy Loekito dalam Airmata Tuhan, saya merasa meloncat-loncat. Sesaat saya dihentak dalam puisi-puisi sebaris kata, ala Sitor Situmorang. Realisme ala haiku. Kenes ala Sutardji. Kontemplatif bak Goenawan Muhamad. Dan seterusnya. Seolah Medy membuktikan bahwa semua itu bisa dikerjakan dalam sedikit kata, dan lebih sedikit lagi kata. Dibutuhkan ketabahan untuk menahan diri untuk tidak banyak berkata-kata. Dan, Medy bisa melakukannya.

Kritik saya hanya satu, puisi-puisi Medy bisa ditulis lebih pendek lagi. Ha..ha.. ha..

Ini buku puisi yang sederhana, terlalu sederhana. Tak ada kata pengantar, tak ada sekapur sirih, tak ada ulasan, tak ada komentar, bahkan tak ada ucapan terima kasih. Hanya halaman judul, daftar isi lalu puisi sampai halaman terakhir. Sebagai pembaca, saya berharap ada sepatah dua patah pengantar dari sang penyair atau setidaknya ada komentar dari beberapa penyair atau penikmat sastra Indonesia terhadap kepenyairan Medy. Tentu saja, semua ini bukan untuk membuat buku ini bergagah-gagahan, melainkan kami tak ingin buku puisi ini seolah hadir begitu saja… sendiri.

Maret 2010