Sutardji Calzoum Bachri – Hujan Menulis Ayam

Saya tidak bisa kritis membaca buku kumpulan cerpen Sutardji Calzoum Bachri. Mungkin karena terlalu kental pemujaan. Mungkin karena terlalu rapuh untuk mengkritik. Tapi, itu tak perlu diributkan bukan?

Media: Buku
Penulis: Sutardji Calzoum Bachri
Judul: Hujan Menulis Ayam
Penerbit: IndonesiaTera, Magelang
Tahun: Cetakan I, 2001
Tebal: xiv + 94 halaman

“Tak ada yang perlu dipersoalkan, apakah kau menobatkan dirimu sendiri sebagai presiden penyair. Atau, rajanya pedangdut. Atau, dewanya musik pop. Atau, guru besarnya sastra. Percayalah di balik semua singgasanamu tiada ada apa di sana. Karna kata memang tak perlu terbebani makna. Karna sekembalinya kau dari sana, kau tak lebih dari sebelumnya; orang biasa yang menjalani hidup biasa di hari-hari biasa dengan kebiasaanmu yang biasa.”

Penerbit buku kumpulan cerpen Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Hujan Menulis Ayam” ini menulis pada pengantarnya bahwa kemunculan kumpulan cerpen dari presiden penyair Indonesia ini diharapkan memancing respon dari publik sastra. Entah apa yang dimaksudkan dengan respon. Tapi yang jelas, respon ketika membaca buku ini hampir enam tahun lalu dan sekarang adalah sama: cerpen-cerpen Sutardji amat sedap sesedap-sedapnya. Ceritanya sedap. Kalimatnya sedap. Kata-katanya sedap.

Sutardji mulai menulis cerpen sejak awal kepengarangannya. Entah kenapa lantas ia lebih dikenal sebagai penyair. Padahal ia menulis cerpen cukup banyak. Hanya saja Sutardji bukan dokumentator yang baik. Ia membiarkan cerpennya berserakan seperti anak tiri yang dibiarkan tanpa ayah bunda. Menurut pengakuannya, ia telah menulis belasan cerpen. Tetapi kerja keras team IndonesiaTera, yaitu Dorothea Rosa Herliany dan Amien Wangsitalaja hanya bisa menemukan dan membukukan sembilan cerita pendek saja. Untuk itu saya sampaikan terima kasih banyak pada IndonesiaTera, Dorothea dan Amien yang telah mengembalikan khasanah yang nyaris tersia-sia. Inilah kumpulan cerpen Indonesia yang tersedap.

Hujan. Ini tentang Ayesha yang cinta hujan secara mistis. Ditulis secara puitis. “Kini, Ayesha telah memiliki buah dan mawar hujan. Jika tarinya membelai mawar hujan, hujanlah yang membelaikannya. Bila, ia memetik musik hujan, hujanlah yang memetikkan.” Atau, di kalimat ini, “Lihatlah hujan meloncat-loncat dari ranting ke ranting dan menjadi ranting hujan. Hujan pun berkisar dan mengusap-usap mawar, dan pada mawar itu menjadi mawar hujan. Lantas pada buah jambu hujan menggelembung dan menjadi buah hujan.” Sedap bukan? Salah satu cerpen terbaik Indonesia.

Di Kebun Binatang. Ini bukan cerita mistis. Ini cerita biasa yang ditulis dengan pengamatan detail. Tentang Herman yang merayu Lisa, yang baru dikencaninya tiga kali, untuk mau menikah dengannya. “Lisa memakai sweter kuning, dua tumpuk cahaya mentari senja melekat pada bagian atas buah dadanya. Gadis itu cantik. Rambutnya lunak meluncur pada tengkuknya dan melingkar-lingkar jatuh di baunya. Rambut itu bagus hitamnya, tapi mentari senja menggelutkan cahaya senja pada rambutnya dan memantulkan cahaya p;irang. Dia memakai rok bunga-bunga yang menjuntai di atas lututnya.” Lisa menolak rayuan Herman, sampai ketika ia melihat bayangan Herman berpadu dengan kemegahan alam, Lisa pun tak kuasa menahan kerelaan dan ketentraman, lalu mau menuruti apa mau Herman. “Lisa kemerah-merahan pipinya karena malu, menunduk dan memalingkan mukanya dari Herman. Tapi, Herman memegang bahunya mengajak Lisa memandang langit senja dan kelepak burung yang pulang.” Ternyata penyair kita ini juga pengamat wanita yang baik.

Suatu Malam Suatu Warung. Tentang tiga pria, dan dua wanita (seorang pelacur, yang seorang lain bekas pelacur) dalam suatu malam di suatu warung. “Tapi, kosong itu tetap makin besar rasa kosongnya, menangkup segala yang tinggal dari pelacur tua itu, tempat duduknya, gelas yang kosong, sisa kue, dan sisa-sisa makian yang masih dapat kedengaran ditinggalkannya di ujung jalan.”

Tahi. Cerita ajaib. Saat orang tak makan empat hari, maka tahi pun serasa nasi goreng. Kalau toh ada bau tahi, itu hanya bau basi. Cerpen ini berjudul asli “Protes” dan dimuat pertama kali di Mahasiswa Indonesia Edisi Djabar, 8 Januari 1966. Tentu bukan maksud Sutardji untuk bergurau-gurau dengan bercerita tentang orang makan tahi. Menilik judul aslinya, Sutardji bermaksud meledek, di situasi ekonomi politik macam tahi toh orang masih tabah untuk menyantapnya bak nasi goreng.

Tangan. Cerita eksentrik. Seorang gadis, Nina, tak suka pada tangan Herman, pria yang mengejarnya, karena besar dan berbulu. Herman berpikir beberapa minggu, sampai kemudian memotong satu tangannya sendiri. Yang menarik bukan di bagian itu, melainkan pandangan Sutardji yang romantis tentang percintaan seorang wanita pada pria. Menurutnya di cerpen ini (juga cerpen Di Kebun Binatang) kalau kau, wahai pria, ingin dicintai wanita, biarkan sang gadis larut dalam keindahan alam (kali ini bulan), lalu menyatulah kau dengan cahaya bulan. Soal tanganmu yang berbulu, mestinya hanya dalam beberapa minggu sang gadis akan terbiasa. Tak perlulah kau potong itu, asal kau tahu.

Menulis. Sutardji menulis tema yang cukup berat dengan cara yang ringan riang. “Pernahkah kau dengar Metamorphose Franz Kafka?” aku bilang padanya. “Tidak. Aku baru sampai Franz Josef.” Coba baca bagian menunjuk apel kebenaran yang seenteng-entengnya itu. Filsafat menunjukkan kebenaran tanpa beban rasa bersalah.”Aku tahu dia sangat malu. Aku juga malu. Tapi aku harus kuat. Dia manusia. Aku juga manusia. Sesama manusia harus saling kuat.”

Senyumlah Pada Bumi. Menurut kakek Sutardji, pada hidup kita harus tersenyum. “Di Barcelona kakek tersenyum pada Adelita dan dapat Isalbella. Di Marseille kakek tersenyum pada francoise dan dapat Helene. Di Yokohama kakek tersenyum pada Michiko, Hiroko dan dapat Kumiko. Di Rotterdam kakek tersenyum-senyum pada polisi dan dapat tinju, seperai putih, kasur empuk, dan istirahat seminggu di rumah sakit dengan tanggungan perusahaan kapal tempat kakek bekerja.” Rasanya, cerpen ini terlalu sarat pesan moral.

Ayam. Awalnya cerita ini berjalan lambat, yaitu tentang keluarga yang memelihara ayam. Daya tariknya mulai muncul ketika satu per satu ayam peliharan mereka mati. Ternyata membuang bangkai ayam jadi persoalan serius. Beberapa orang mencoba meminta bangkai ayam yang akan dibuang itu sebagai santapan. Bahkan ketika sudah dibuang ke sungai pun masih ada yang nekad berbasah-basah mengambilnya. Memang susah membuang bangkai ayam, sampai akhirnya toh bangkai itu masuk perut juga.

Pada Terangnya Bulan. Sutardji kembali dengan cerpennya yang puitis, “Mereka menyanyikan lagu sedap dengan sedapnya dan dengan sedapnya berkeluaran denting gitar dari jari-jari mereka. Dan bulan jadi lebih sedap kelihatan di malammu.” Tapi tidak melulu puitis. “Ketiga lelaki itu terus menyusur malam dengan bulan, lagu, dan gitar. Ketiga lelaki itu suka pada perempuan dan sering ke dokter minta suntikan. Ketiga lelaki itu tahu ada gadis di halaman, ikut menyanyi, dan meneriakkan hei pada mereka.”

Mungkin saya tidak bisa kritis membaca buku kumpulan cerpen Sutardji Calzoum Bachri. Mungkin karena terlalu kental pemujaan. Mungkin karena terlalu rapuh untuk mengkritik. Mungkin juga karena tak tahu harus bersikap bagaimana. Tapi, itu tak perlu diributkan bukan?

Juli 2009