Puluhan tahun telah berlalu, tetapi rombongan moge masih tetap dengan perilaku purbanya. Membunyikan knalpot dan sirene yang memekakkan telinga. Menunjuk-nunjuk dan menyuruh orang lain minggir.
Suatu hari, saya sedang santai menyetir, ada pengendara moge menyalip dari sebelah kanan. Tangan kirinya mengacung-acung. Memberi isyarat agar saya minggir. Tak lama, seorang pengendara moge lain menyalip lalu meliuk-liukkan motornya di depan saya. Melalui kaca spion, saya lihat di belakang ada serombongan pengendara moge. Suara knalpotnya berderum-derum. Juga ada suara sirene meraung-raung. Seseorang memepet kendaraan saya, menunjuk-nunjuk, menyuruh saya memberi jalan. Di balik helm, kacamata hitam dan jaket kulit, dia kelihatan seram.
Dalam hati saya geram. Bukannya menepi, saya malah memperlambat laju kendaraan sehingga mereka sulit menyalip. Benar juga, beberapa pengendara moge yang berhasil menyalip menunjukkan gestur marah-marah. Ada yang mengepalkan tangan. Ada yang menatap tajam ke arah saya. Saya berusaha tenang meski grogi juga. Akhirnya semua rombongan moge lewat. Saya tersenyum sendiri. Puas rasanya bisa ngerjain orang-orang angkuh itu.
Anda mungkin tidak setuju dengan tindakan saya. Sebaiknya saya mengalah. Para pengendara moge biasanya orang-orang berduit atau pejabat tinggi. Membuat mereka kesal – kenyataannya mereka memang gampang kesal – berbahaya buat kita. Arogansi jangan dibalas dengan arogansi.
Anda benar. Waktu itu usia saya masih dua puluh lima tahunan. Masih belum bisa menahan ego. Di usia pertengahan tiga puluhan, sewaktu bertemu rombongan moge lagi saya langsung mengalah. Menepi. Memberi jalan. Rombongan moge berlalu masih dengan knalpot yang menderu-deru kencang. Tangan mereka masih menunjuk-nunjuk menyuruh orang lain minggir. Memamerkan wajah sangar. Dan, selalu ada saja yang berjalan meliuk-liuk.
Saya memang mengalah dan memberikan jalan, tetapi hati saya tidak. Saya tidak rela diperlakukan seperti itu. Mereka menguasai jalan seenaknya sendiri. Tetapi, demi keselamatan diri sendiri dan keluarga, saya tidak melawan. Sing waras ngalah.
Beberapa hari lalu, saya berpapasan lagi dengan rombongan moge. Tanpa banyak pikir, saya segera minggir. Memberikan jalan lebar-lebar pada mereka. Usia saya menjelang lima puluhan. Tidak ada lagi rasa kesal, atau diam-diam mengutuk mereka dalam hati. Saya pikir, semakin tua mestinya hidup semakin ringan.
Kali ini saya memandang rombongan moge itu seperti memandang anak-anak saya yang masih remaja. Selayaknya anak-anak remaja, mereka ingin bermain-main. Mencari perhatian. Puluhan tahun sudah berlalu, rombongan moge masih tetap dengan perilaku purbanya. Menderum-derumkan knalpot. Menyalakan sirene kencang-kencang. Berlagak sangar di balik jaket kulit dan kacamata hitam. Menunjuk-nunjuk ke sesama pengguna jalan. Menyuruh orang lain minggir.
10 April 2016