Mata Kyai, Mata Santri

Saya tidak habis pikir. Seorang kyai menyulut rokok dengan korek api bergambar seronok? Dan, beliau santai saja. Seperti sudah biasa.

Kyai yang saya temui berumur sekitar lima puluhan. Penampilannya sederhana. Mengenakan kemeja biasa, sarung dan, tentu saja, kopiah. Beliau adalah pimpinan pondok pesantren di pesisir utara Jawa Timur. Sudah sering teman saya, Ikhwan, mengajak berkunjung ke pondok-pondok pesantren. Menemui para kyai. Meminta nasehat.

Sebenarnya bisa saja saya belajar agama dari pengajian di masjid atau tv. “Tetapi”, kata Ikhwan, “Berguru langsung ke kyai memberi efek batin yang menghujam. Kyai bisa membaca pikiran kita. Kata-katanya lebih mengena ketimbang mendengarkan pengajian umum.”

Tetapi kali ini saya sulit berkonsentrasi mengikuti ucapan-ucapan Pak Kyai. Bukan karena asap rokok yang selalu menyembur dari mulut beliau. Juga bukan gara-gara perut keroncongan. Sejak berangkat saya memang belum sarapan. Tapi karena pandangan saya sering tertuju ke kotak korek api milik Pak Kyai. Ada foto perempuan bule. Cuma memakai beha dan celana dalam. Posenya seksi. Senyumnya merekah. Tatapannya menantang.

Saya tidak habis pikir. Bagaimana mungkin seorang kyai menyimpan korek api bergambar seronok seperti itu? Yang lebih celaka, beliau kelihatan santai-santai saja. Berkali-kali Pak Kyai menyulut korek api seperti tanpa beban. Justru saya merasa risih. Jujur saja, saya juga sering melihat gambar porno. Diam-diam. Tetapi kali ini, hati nurani saya berteriak tidak!

Di perjalanan pulang, saya ceritakan keheranan saya ke Ikhwan. Ternyata dia punya pikiran yang sama. Tetapi Ikhwan membalas pertanyaan saya dengan tertawa.

Kata Ikhwan, itulah bedanya mata seorang kyai dengan mata orang biasa seperti saya ini. Buat kyai, gambar seronok tadi sama sekali tidak mengganggu pikirannya. Bisa jadi, mata batinnya malah tidak melihat gambar itu. Pikirannya terjaga. Sedangkan saya, yang mengaku santri, masih gampang terkecoh. Hanya gara-gara melihat gambar perempuan setengah telanjang di kotak korek api, pikiran saya jadi tidak karu-karuan. Padahal gambar itu tak lebih dari lima sentimeter. Cetakannya pun buram. Yang lebih jahat, saya malah berpikiran jelek pada pak kyai.

Astaghfirullah. Saya memang santri cecunguk. Biarpun sudah tidak melihat gambar tadi, pikiran saya masih menerawang. Membayangkan sepanjang jalan. Bahkan mungkin terus terbawa sampai tidur. Dan bermimpi.

5 April 2016