Jagdish N. Sheth – 7 Tanda Kehancuran Bisnis Sukses

Usia harapan hidup perusahaan, kutip De Geus, di Jerman dari 45 menjadi 18 tahun, di Perancis dari 13 menjadi 9 tahun, di Inggris Raya dari 10 menjadi 4 tahun.

Penulis: Jagdish N. Sheth
Judul: 7 Tanda Kehancuran Bisnis Sukses
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun: Cetakan I, 2008
Tebal: xxv + 262 hal

“Dalam perusahaan, dalam manajemen, banyak hal menjadi ilusi. Yaitu kenyataan yang kau besar-besarkan, yang kau biaskan, yang kau abaikan, yang kau singkirkan, yang kau gantikan dengan khayalan yang kau yakini sebagai kebenaran. Kau berilusi tentang keberhasilan, tentang visi mulia, tentang kejayaan, tentang kemasyhuran. Kau tak puas dengan “good”, kau berilusi tentang “great”. Kau tak cukup dengan “today”, kau berceloteh tentang “vision”. Kau tak mau sekedar “company”, kau berimajinasi tentang “empire”. Dalam perusahaan, dalam manajemen, acapkali perusahaan dan manajemen adalah ilusi itu sendiri.”

“Dalam perusahaan, dalam manajemen, kau melakukan banyak hal, yang barangkali takkan kau lakukan sebagai pribadi. Kau memberikan hak sebesar-besarnya dan sehalal-halalnya pada perusahaan, pada manajemen untuk mewujudkan sisi-sisi gelapmu, untuk menjadi yang kau ilusikan. Dalam perusahaan, dalam manajemen, kerapkali kau adalah ilusi tentang diri kau yang kau bayangkan.”

Pertanyaan awal dari penulisan buku “Self-destructive Habits of Good Companies” karya Jagdish N. Sheth, adalah pertanyaan seorang CEO Bellsouth, Duane Ackerman, yaitu “Mengapa perusahaan bagus mengalami kegagalan?” Ini bukan sekedar pertanyaan sambil lalu. Ada banyak perusahaan yang dianggap bagus mengalami kegagalan bahkan tak sedikit yang jatuh dan hilang dari peredaran.

Di seputar 80-an, Tom Peters dan Robert Waterman mengelu-elukan beberapa perusahaan hebat dalam buku “In Search Of Excellence”. Namun hanya dalam hitungan tahun setelah buku legendaris itu meledak, beberapa perusahaan yang terpuji seperti Sears, Xerox, IBM dan Kodak mengalami krisis. AT&T di tahun 1984 bahkan harus secara menyakitkan dipecah.

Berita yang lebih buruk datang dari Arie de Deus dalam buku The Living Company yang menyebutkan bahwa sepertiga dari perusahaan yang terdaftar dalam Fortune 500 tahun 1970 lenyap pada tahun 1983, baik karena merger, akusisi atau perpecahan. Usia harapan hidup perusahaan, kutip De Geus, di Jerman dari 45 menjadi 18 tahun, di Perancis dari 13 menjadi 9 tahun, di Inggris Raya dari 10 menjadi 4 tahun. Secara general, usia harapan hidup perusahaan di Eropa dan Jepang hanyalah 12,5 tahun. Penyebab utamanya adalah tindakan merger, akusisi yang banyak dilakukan secara terpaksa, yang berarti sesungguhnya mereka mengalami kesulitan.

Oleh karena itu, kata Profesor Sheth, adalah penting untuk mempelajari apa yang terjadi setelah perusahaan-perusahaan itu mengalami keberhasilan. Tentu saja, kita perlu menyimak bagaimana perusahaan-perusahaan hebat mencapai kejayaannya. Namun fakta menunjukkan tak sedikit dari mereka lambat laun tersandung, terjatuh lalu terpuruk.

Setelah melakukan riset terhadap perusahaan yang dulunya hebat namun sekarang memudar kecermelangannya, Profesor Sheth berhipotesa: perusahaan-perusahaan itu tak mampu berubah saat lingkungannya berubah secara signifikan. Ketidakmampuan itu disebabkan mereka mempunyai kebiasaan buruk yang merusak yang justru dipupuk saat perusahaan mencapai keberhasilannya.

Profesor Sheth merangkum ada tujuh kebiasaan yang menghancurkan keberhasilan perusahaan:

1. mengingkari kenyataan, tidak mengakui adanya perubahan,
2. menyombongkan diri, membangga-banggakan keberhasilan,
3. merasa aman dan nyaman, menganggap masa depan sama seperti sekarang
4. menganggap kompetensi yang dimiliki adalah segala-galanya,
5. mengabaikan persaingan, tidak menyadari adanya tantangan,
6. boros, tidak efisien, hanya mengejar volume,
7. konflik budaya dan perang antar bagian, terlalu banyak kepala suku,

Ini buku yang menarik dan menggelitik. Sudah cukup banyak kita baca tentang keberhasilan dan bagaimana menggapainya. Dalam bukunya ini profesor Sheth mengingatkan apa yang terjadi di balik keberhasilan yang jusru merusak keberhasilan itu sendiri. Profesor Sheth tidak berhenti pada mendiagnosa pertanda-pertanda, beliau memberi contoh konkret, juga saran-saran untuk mengobati kebiasaan-kebiasaan buruk itu. Kita bisa memperdebatkan banyak hal, namun itu tidak terlalu penting.

Buku ini lebih patut dijadikan sebagai bahan refleksi bagi para pemimpin perusahaan dan jajaran manajemennya, semata-mata bukan sekedar agar tetap berhasil, melainkan juga menjaga agar tidak melakukan insanity.

Bagian yang saya sukai adalah bab tentang kebiasaan nomor 2, yaitu arogansi keberhasilan, terutama bagian “Tanda-tanda Arogansi” perusahaan. Setidaknya ada enam tanda perusahaan atau manajemen atau anda menjadi arogan, yaitu:

1. Anda berhenti mendengarkan pelanggan, karyawan, investor, lembaga perlindungan konsumen. Anda menertawakan orang lain. Anda yakin pernah mendengar semua itu.

2. Anda berfoya-foya dalam perjalanan dinas, ruang kantor, fasilitas jabatan. Anda memamerkan kemewahan perusahaan.

3. Anda mengintimidasi orang lain, pegawai, pelanggan, investor. Anda lebih suka menggertak dan menakut-nakuti. Ketika laporan keuangan merah, anda menghardik auditor dan memintanya jadi biru.

4. Anda mau menang sendiri. Anda menerabas aturan. Keberhasilan membuat anda buta dan menganggap aturan itu tidak berlaku bagi anda.

5. Anda merekayasa dan mengatur persetujuan, serta membungkam suara kritis.

6. Saat dinasehati tentang adanya kekeliruan, anda menyangkal dan mengatakan, “tidak, hal itu tidak terjadi di sini”.

Itu tadi adalah enam tanda arogansi yang sangat manusiawi yang mudah menjangkiti perusahaan sukses, termasuk manusia-manusia di dalamnya, mulai dari CEO, presdir, manajer-manajer sampai ke kepala seksi dan siapa pun itu yang terbuai dalam ilusi keberhasilan. Selamat menikmati.

Februari 2010