Sutardji Calzoum Bachri hanya menerbitkan tiga buku kumpulan puisinya. Kumpulan ketiga buku puisinya adalah buku puisi terlezat yang pernah diterbitkan oleh raksasa penyair Indonesia.
Penulis: Sutardji Calzoum Bachri
Judul: O Amuk Kapak Tiga Kumpulan Sajak
Penerbit: Yayasan Indonesia & Majalah Horison
Tahun: Cetakan II, 2002
Tebal: viii + 110 hal
“Kata “mawar” tentu bukanlah mawar. Kata “mawar” tidaklah semerah, seharum, secentil mawar. Kau mungkin menyukai atau membenci mawar, tapi kau tak bisa menyukai atau membenci kata “mawar”. Karena kata “mawar” bukanlah mawar, maka kata “mawar” adalah “mawar” itu sendiri, yang merdeka, yatim piatu, tak bersejarah, tak bermakna, tak ada apa-apa, telanjang, apa adanya, hanya “mawar”. Begitu saja.”
“Tapi kau gentar pada kekosongan. Kau takut hidup tanpa pengertian. Maka kau bebani segala sesuatu dengan makna. Makna, yang membuatmu merasa berguna, merasa melihat cahaya di ujung lorong, merasa berjalan di atas tujuan. Makna, yang membuatmu bercinta, membenci, menyuka, juga berduka. Makna, yang menjejali hidupmu sekaligus membuatmu tak melihat sebagaimana adanya. Makna, membuatmu menimbang-nimbang dengan neraca moral. Maka, kata “mawar” pun menjelma mawar bagimu, lalu kau abaikan mawar, kau lalaikan merah, harum dan centilnya, lalu kau lebih suka mencumbu kata “mawar”. Maka, kau berkata-kata, kau bermakna-makna, kau pun kehilangan nyata-nyata. Kau berduka pada kata “duka” dan tak berduka pada duka itu sendiri.”
“Saat kata adalah kata, yang tak kau bebani dengan sesal dan harapanmu, maka saat itulah kata menjadi nyata. Ia bukan mantera, ia bukan doa, ia bukan apa-apa. Maka kata-kata puisimu berkata-kata nyata.”
Sutardji Calzoum Bachri hanya menerbitkan tiga buku kumpulan puisinya, O (1966-1973) yang memuat Kredo Puisinya, Amuk (1973-1976), Kapak (1976-1979), yang semuanya terangkum dalam O Amuk Kapak, Tiga Kumpulan Sajak (1981). Ini adalah buku puisi terlezat yang pernah diterbitkan oleh raksasa penyair Indonesia. Kredo Puisi (1973) mungkin adalah yang terdahsyat karena menjadi pembenar untuk berzaga-zagazigizege-haha-kwek-kwek-oooo, menulis kata untuk kata, untuk bunyi, untuk senda-senda, untuk pidato, untuk airmata, untuk mantera, untuk doa, untuk apa pun yang dimaksudkan untuk berkata.
POT
Pot apa pot itu pot kaukah pot aku
pot pot pot
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot aku
pot pot pot
potapapotitu potkaukah potaku?
POT
Apakah saat menulis Kredo Puisi Sutardji telah mencapai maqam tertingginya, karena ia berani mengosongkan segala kata dari arti? Apakah ia telah menjadi arahat yang melihat kesuwungan itu? Atau ia hanya sesaat dalam puncak liar kemabukannya?
JADI
tidak setiap derita
jadi luka
tidak setiap sepi
jadi duri
tidak setiap tanda
jadi makna
tidak setiap tanya
jadi ragu
tidak setiap jawab
jadi sebab
tidak setiap seru
jadi mau
tidak setiap tangan
jadi pegang
tidak setiap kabar
jadi tahu
tidak setiap luka
jadi kaca
memandang Kau
pada wajahKu!
Tiba-tiba Sutardji merasa menulis syair adalah pekerjaan serius (Pengantar Kapak, 1979). Apakah ia telah kehilangan kesenda-gurauannya? Atau, ia merasa penyair adalah sebuah tanggung jawab? Maka, Kredo Puisi 1973-nya seolah hanya gertakan jiwa remaja menuju proses perjalanan usia.
SAJAK BABI I
batu demam
sungai pingsan
laut luka
kapal berdarah
nelayan jam
berenang
nuju 00.00
waktu babi
HEMAT
dari hari ke hari
bunuh diri pelan-pelan
dari tahun ke tahun
bertimbun luka di badan
maut menabungKu
segobang-segobang
Sudah begitu banyak analisa, resensi, kritik, pemujaan untuk Sutardji, lebih tepatnya, untuk tiga kumpulan sajak O Amuk Kapak ini. Buku ini menjadi klasik bahkan melegenda dalam keindahan kepenyairan Indonesia. Ia dibedah di kelas-kelas sastra. Ironis, rasanya tidak mudah untuk menemukan buku ini terpajang di rak-rak toko buku.
WARISAN
kuterima luka ini
bagai ibu
bagai kakek
bagai datuk
dari datukdatukdatukdatukku…
mendapatkannya
tik
tik
ngucur mendetak
antik
lukalama di mula abad
masih sama denyarnya
ngilu
mendenyut
mancarkan marwah
DENYUT
akan kau kau kan kah hidupmu
kau nanti kau akan kau mau kau mau
siapa yang tikam burung yang waktu
waktukutukku waktukutukku waktukutukku waktukutukku
kapan kau sayap diamnya batu
battuba battubi battubu
yang langit yang gapai tang sangsai
denyutku denyutku denyutku
Sampai kini belum ada lagi kumpulan puisi Sutardji. Sampai kini pula rasanya belum ada pengkritik yang diakui bisa memahami Kredo Puisi 1973. Bahkan Sutardji sendiri, setelah O Amuk Kapak, belum lagi menulis puisi semerdeka O Amuk Kapak. Tampaknya Sutardji membebani dirinya dengan tanggung jawab, bukan kata “tanggung jawab”. Namun, kalau toh Sutardji menyair sebagaimana masa-masa 1966-1979, pastilah saya mengernyitkan dahi, “Paman? kau mabuk lagi? Bukankah sudah kau tebas kekosongan itu dengan pedang taubatmu?”
Tiada yang lebih lezat dalam koleksi sastra saya selain O Amuk Kapak. Buku tipis, yang meski telah dibaca bertahun-tahun tidak jua kehilangan manteranya.
TAK
guruh takada kilat tak teriak takada panggil tak
bisik takada himbau cakap takada kata tak
angin takada desir tak gerak takada tanda tak
sayap takada langit tak tangan takada gapai tak
ada takada kau tak
lengangngng
datanglah Tempelengngngngng!
Februari 2010