Perempuan-perempuan Lily adalah perempuan terpelajar dan modern. Namun, di saat yang sama selalu ada perempuan-perempuan “biasa” dan tradisional yang menyertainya.
Penulis: Lily Yulianti Farid
Judul: Makkunrai
Penerbit: Nala Cipta Litera
Tahun: Maret 2008
Tebal: 152 hal
“Aku pernah terbang membumbung di atas gunung-gunung, samudera-samudera, dan mendarat di negara-negara dan benua-benua. Aku bertemu dengan wajah-wajah, budaya-budaya dan bangsa-bangsa. Tapi kerinduanku tak jauh darimana aku dilahirkan: ibu, ayah, saudara, kerabat, sahabat, teman. Tak jauh darimana aku diciptakan dengan cinta dan kasih.”
“Aku pulang karena ingin tetap mendengar cerita-cerita silam; cerita tentang penciptaanku dengan tangan-tangan cinta dan kasih. Aku kembali karena toh akhirnya aku harus sendiri, dan aku ingin sendiri bersama sejarahku.”
Sejatinya saya beli buku kumpulan cerpen “Makkunrai dan 10 Kisah Perempuan Lainnya” karya Lily Yulianti Farid ini beberapa bulan lalu bersama dengan buku-buku lain. Namun saya tak kunjung membacanya. Alasannya mungkin sedikit seksis. Sub judul “dan 10 Kisah Perempuan Lainnya” membuat saya menduga-duga cerita dengan tema feminism. Maaf, kali ini saya sedikit enggan membaca cerita politis.
Tapi beberapa hari lalu, saat memilih-milih buku untuk teman perjalanan, saya mengambil “Makkunrai”. Pertimbangannya sangat teknis, buku ini kecil dan ramping sehingga mudah dibawa. Saya mulai membaca dari cerpen pertama, “Api”. Belum juga cerpen itu habis saya baca, saya langsung terpesona dengan cerita, penuturan, bahasa, isi serta liak-liuknya. Cantik sekali cerita ini. Ini cerita tentang wanita oleh wanita yang seadanya. Sungguh menghanyutkan. Maka saya pun tak bisa berhenti membaca, sambil duduk di ruang tunggu, bahkan berdiri di depan counter. Saya terpikat. Saya terasyikkan. Mengapa saya bisa melalaikan buku ini sekian lama?
Api. Sebuah cerita yang sederhana, apa adanya, sehari-hari dan cantik. Tentang kasih seorang perempuan pada ibunya yang menggelora lagi di ujung usia sang ibu. Detail pernak-pernik menunjukkan kecerdasan serta pengetahuan luas sang cerpenis. Lily mengaitkan tema sederhana, ibu dan anak, dengan persoalan-persoalan besar tanpa pretensi menggurui dan politis. Cerpen yang segar, bagus dan penuh kenikmatan.
Ayahmu Bulan, Engkau Matahari. Tak cuma sekedar feminis, Lily lebih tertarik pada hal yang lebih besar: kemanusiaan. Di mata Lily, semangat perjuangan kemanusiaan modern tak bisa lepas dari tragedi-tragedi kehidupan konvensional; sebuah keluarga: istri yang kehilangan suami, kasih sayang nenek serta kekaguman anak pada legenda seorang ayah. Ditulis dengan sedikit puitis namun masih nyaman dan renyah.
Dapur. Dunia perempuan memang ambigu dan rumit. Ini tentang seorang janda yang harus menghidupi keluarganya, hanyut dalam intrik, dan anak perempuannya yang berusaha menarik nasibnya ke ujung yang lain.
Cahaya Dan Suara. Perempuan-perempuan Lily adalah perempuan terdidik, terpelajar, modern, beberapa di antaranya berkehidupan global. Namun, di saat yang sama selalu ada perempuan-perempuan “biasa” dan tradisional yang menyertainya. Siapakah pemenang tarik-menarik antara dua ujung ini? Silakan tafsirkan sendiri. Lily sadar perempuan selalu dalam tuntutan untuk memilih dan berkonsekuensi. Ide gemerlap selebritas dan politik diolah Lily menjadi cerita yang menyengat tanpa harus menampakkan keberpihakannya.
Makkunrai. Tema tentang pemberontakan perempuan itu pun muncul juga. Akhir yang bak sinetron sabun Meksiko tidak terlalu menarik saya. Saya malah meragukan apakah ending seperti ini cukup beralasan. Apalah bedanya melarikan diri dari pilihan dengan menindaskan diri pada pilihan yang lain? Saya berharap ada dialog pintar yang mencerahkan antara kakek dan Makkunrai. Sayang Lily lebih mengutamakan kebencian dan menjadi batu.
Pembenci Jakarta. Jawa, bagi Lily yang hidup di pulau lain mempunyai pesona, sebagaimana yang ia tunjukkan di cerpen “Dapur”. Tapi, Jakarta bukanlah tempat yang menarik begitu saja. Ia lebih banyak memberikan kejutan dan “luka”. Meski Lily meminjam kacamata kanak-kanak untuk melihat Jakarta, namun itu sudah cukup untuk menyatakan “feminism” luar Jakarta. Saya suka cerita ini.
Kelas I-9. Ide cerita ini adalah hal yang jadi rahasia umum, tentang kelas yang dibuka setelah pendaftaran SMA ditutup khusus untuk menampung anak-anak petinggi. Ya, semua ibu yang kerepotan mencarikan sekolah bagi anak remajanya mahfum hal ini. Lily membawanya ke skenario yang tak dinyana-nyana.
Nua, Diani dan Lakilaki Bejat. Jika anda menyukai cerpen Makkunrai, mungkin anda juga menyukai cerpen ini. Lily bergerak lebih ekstrim. Bukan sekedar berkepala batu, melainkan benar-benar lemparan batu. Yang menjadi obyek kebencian adalah, tentu saja, lelaki; yaitu lelaki yang suka kawin cerai. Ini persoalan purba antara lelaki dan perempuan. Di jaman mutakhir ini wanita bisa mencapai apa pun yang ia kejar, namun soal “dimadu” adalah yang pertama dan terakhir.
Keluarga Pengkhayal. Cerpen yang paling ringkas, karenanya paling lincah. Bagi saya, cerpen ini seolah asing dalam kumpulan ini. Mungkin Lily ingin sekedar bersenda-senda. Karena kualitas tutur Lily yang apik, cerita ini sungguh membuat saya trenyuh.
Dahlia di Rumah Dahlia. Ini cerpen favorit saya setelah “Api”. Lily tampak cemerlang saat bercerita tentang perempuan cerdas, mandiri, global, metropolitan. Seolah ia menulis tentang diri dan angan-angannya sendiri. Namun, setinggi-tinggi perempuan terbang, ia akan kembali hinggap dalam kerinduan alamiahnya; keluarga. Lagi-lagi cerpen yang lincah dan menyenangkan.
Koruptor di Rumah Nenek Haji. Perhatikan tiga perempuan dalam cerita ini. Tiga perempuan dengan peran dan nilai-nilai yang berbeda. Sang nenek penjaga moral, si anak terdakwa korupsi dan cucu yang “ngenger”, semuanya berkelindan dalam alamnya masing-masing.
Lily mempunyai ide-ide besar namun tetap dalam bingkai nilai-nilai dasar. Ia bercerita tentang kehidupan modern, gemerlap, mutakhir, global yang menggiurkan yang terajut ajaran-ajaran tradisional. Lily sadar posisi perempuan selalu dalam pilihan dan konsekuensi yang rumit. Perjuangan perempuan yang tak kunjung tuntas adalah berusaha menapak seimbang dalam dua titik konsekuensi yang tampak rumit. Saya menduga, Lily cenderung untuk memilih titik berangkat sebagai garis penghentiannya: keluarga. Lily tak mau memungkiri kodrat sejati perempuannya.
Bahasa cerpennya enak dibaca, ringan dan membuat saya ingin menuntaskannya tanpa tersela. Ide-ide padat dilesakkan secara kontras dalam cerpen-cerpennya tanpa menjadi ribut dan genit. Kini Lily menjadi cerpenis favorit saya.
Maret 2010