Saya tidak bisa kritis membaca buku kumpulan cerpen Sutardji Calzoum Bachri. Mungkin karena terlalu kental pemujaan. Mungkin karena terlalu rapuh untuk mengkritik. Tapi, itu tak perlu diributkan bukan?
Saya tidak bisa kritis membaca buku kumpulan cerpen Sutardji Calzoum Bachri. Mungkin karena terlalu kental pemujaan. Mungkin karena terlalu rapuh untuk mengkritik. Tapi, itu tak perlu diributkan bukan?
Mungkin buku cerpen ini terbit terlalu cepat bagi seorang penulis cerpen pemula. Meski kemungkinan besar laku keras karena ditulis oleh sastrawan terkemuka Indonesia.
Kumpulan cerpen dalam buku ini ditulis oleh seorang kyai. Tak heran jika kental dengan nuansa kehidupan pesantren, masyarakat tradisional sekitarnya dan berbagai pernak-pernik kehidupan dakwah.
Ketika kita membeli album musik bagus, kita bukan hanya mendapat musik bagus, melainkan juga puisi-puisi yang layak untuk dibaca sekaligus didengarkan.
Mengapa sajak-sajak dari Tiongkok menarik? Karena kemampuannya menggambarkan berbagai kejadian secara romantis dan sederhana.
Buku ini tentu kurang tebal untuk menceritakan seluruh kisah-kisah Mahabharata. Tampaknya tidak akan ada buku setebal apa pun yang cukup untuk menuliskan detil Mahabharata.
Ini bukan buku mantra. Ini hanyalah buku puisi. Tak lebih. Tak kurang. Sebagaimana kata Sapardi di prawacana, jika pembaca berniat memakainya untuk mencapai maksud tertentu, silakan saja. Siapa tahu terkabul.
Sitor Situmorang adalah penyair yang memiliki nyawa rangkap. Buku kumpulan puisi ini adalah buktinya. Ini adalah kumpulan puisi yang belum pernah dikumpulkan. Dan, kita tak yakin semunya telah terkumpul.
Daya tarik sebuah puisi spiritual tidak melulu pada struktur, jalinan kata, makna dan simbol-simbol dibangun. Terlebih penting adalah otentisitas pengalaman si penulis.
Banyak orang ingin menjadi penyair karena Sapardi menulis syair-syair. Banyak orang ingin bisa menulis puisi sebagaimana Sapardi berpuisi. Banyak orang ingin menjadi Sapardi. Bukan menjadi dirinya sendiri.