Ada cerita tentang Ustadz Jumin yang harus memilih: memenuhi permintaan jamaahnya atau uang kuliah anaknya. Sang cerpenis mengakhiri cerita dengan pilihan yang hidup, manusiawi dan jauh dari klise.
Penulis: Kumpulan Cerpen
Judul: 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun: 2009,
Tebal: iii + 176 hal
“Apa yang bisa kita lakukan untuk menikmati dunia ini? Salah satunya adalah dengan bercerita. Kau bisa berkisah panjang lebar, berlembar-lembar, tentang epik, legenda atau keajaiban. Atau, kau bisa bertutur singkat, dengan cerita-cerita menyenangkan, mengejutkan. Atau, kau bisa melakukannya lebih singkat lagi, menggoda imajinasi, dan membiarkan pendengarmu mencipta cerita baru dalam khayalnya. Atau kau bersyair satu dua kalimat, satu dua kata. Mari bercerita untuk menyenangi hidup.”
“Adakah cerita yang paling baik? Tentulah cerita tentang ceritamu sendiri. Kisah yang paling nyata dalam hidupmu. Tutur yang otentik, teralami, tak peduli itu pedih, luka atau tawa. Tak peduli apakah sempat kau ceritakan atau kau tulis, senyampang cerita itu adalah kau, itulah cerita kau, yang mau tak mau adalah yang terbaik, yang patut kau nikmati.”
Ini adalah daftar 20 cerpen Indonesia yang dinilai terbaik dalam kurun waktu 1 November 2007 sampai 31 Oktober 2008:
Agus Noor – Kartu Pos Dari Surga
A.S. Laksana – Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis
Ayu Utami – Terbang
Azhari – Pengantar Singkat untuk Rencana Pembunuhan Sultan Nurruddin
Danarto – Cincin Kawin
Eka Kurniawan – Gerimis Yang Sederhana
F. Dewi Ria Utari – Perbatasan
Gunawan Maryanto – Usaha Menjadi Sakti
Intan Paramaditha – Apel Dan Pisau
Lan Fang – Sonata
Linda Christanty – Sebuah Jazirah di Utara
M. Iksaka Banu – Semua untuk Hindia
Naomi Srikandi – Mbok Jimah
Nukila Amal – Smokol
Putu Wijaya – Suap
Ratih Kumala – Foto Ibu
Stefanny Irawan – Hari Ketika Kau Mati
Triyanto Triwikromo – Lembah Kematian Ibu
Zaim Rofiqi – Kamar Bunuh Diri
Zelfeni Wimra – Bila Jumin Tersenyum
Apa daya, dua puluh cerpen ini dipilih dari ratusan cerpen yang diterbitkan dalam ruang sastra media koran. Setidaknya ada dua belas koran yang cerpen-cerpennya diseleksi, namun hanya empat koran, yaitu Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Suara Merdeka yang pilihannya masuk dalam daftar 20 cerpen Indonesia terbaik 2009. Sedangkan media lain, seperti majalah, jurnal, blog/internet atau lembar-lembar independen belum masuk dalam perhatian penyelenggara seleksi. Agaknya pihak penyelenggara masih mempertimbangkan faktor “popularitas” dalam arti luasan dan kemudahan sebarannya pada khalayak pembaca. Ini tidak begitu saja patut dikritisi. Bagaimana pun terbukti melalui media koranlah sastra Indonesia mampu terus hadir menyapa kita semua.
Pertaruhannya ada pada nama-nama juri yang di tangan mereka terputuskan 20 judul cerpen ini. Rasanya kita tak perlu sangsi dengan nama-nama Budi Darma, Joko Pinurbo, Linda, Christanty, Putu Wijaya, Sapardi Djoko Damono, Sitok Srengenge, Sutardji Calzoum Bachri. Saya cukup percaya 20 cerpen ini bisa memenuhi kebutuhan mengapresiasi karya sastra Indonesia mutakhir yang bermutu.
Akhirnya pihak penyelenggara menggoda kita untuk memilih satu cerpen Indonesia yang terbaik, best of the best, dengan mengirim SMS sebanyak-banyaknya. Semacam idol kontes versi sastra. Hasilnya? Entahlah. Lebih baik kita nikmati buku ini apa adanya.
Buku kumpulan cerpen ini diawali dengan esai “Beberapa Catatan Perihal Cara Berkisah dalam Cerpen” oleh Wicaksono Adi yang panjang lebar, yang mungkin baik sebagai bekal untuk mengapresiasi kumpulan cerpen ini.
Eka Kurniawan – Gerimis Yang Sederhana: tidak ada adegan gerimis, bahkan yang paling sederhana pun, dalam cerpen ini. Yang ada adalah penuturan adegan secara detail. Begitu detailnya seolah-olah cerita ini akan berakhir panjang. Terlebih lagi ketika Eka menyinggung masa lalu dan trauma tokoh Mei pada kerusuhan 1998. Semakin rumit dan berteka-teki ketika Eka tak jua menjelaskan apa hubungan antara Mei dan Efendi selain kegugupan dan kesalah-tingkahan mereka. Namun semua detail dan gerak-gerik dua tokoh ini hanyalah semacam jebakan untuk mengalihkan perhatian kita untuk sebuah penutup cerita yang mengejutkan. Tidak ada tema besar, hanya kebiasaan kecil seorang lelaki yang konyol, yang membuat saya tersengat dan terbahak. Saya suka cerpen ini.
Nukila Amal – Smokol: tidak mudah untuk mengerti apa yang dimaui oleh Nukila Amal melalui Smokol. Dengan gaya yang agak absurd, Nukila menjejali Smokol dengan berbagai ide, norma dan moralitasnya. Ia menyinggung intelektual hiperbolis dalam dunia kuliner, betapa baiknya untuk tidak makan berlebihan, gaya hidup berkurus-kurus yang menggelikan atau pola diet matematis yang menjauhkan kita dari kenikmatan makanan, akhirnya ia menutup dengan antitesis kenyang, yaitu lapar. Bagi saya, pesan yang ingin disampaikan Nukila dalam Smokol terlalu sesak dan tidak menghibur. Bagaimana pun, ini adalah cerpen tebaik Kompas tahun 2008.
Danarto – Cincin Kawin: Adegan tragedi pembasmian PKI yang salah alamat ternyata masih menarik perhatian Danarto. Di alam Danarto semua hal bisa terjadi, termasuk ditemukannya cincin kawin ibu dalam perut ikan yang sedang dimakannya. Ini pembukaan yang spektakuler. Tetapi setelah itu Danarto seolah kehilangan daya sihirnya. Tekanan cerita berangsur menurun meski Danarto berusaha menjaganya tetap mencekam. Cerita pun berakhir sebagaimana mestinya.
Stefanny Irawan – Hari Ketika Kau Mati: Cerita yang menarik. Sangat feminin. Dituturkan dengan lamat-lamat, menggambarkan suasana syahdu di hari ketika kekasih mati. Membaca ini, saya mulai mengerti apa yang sering dikatakan oleh istri saya, bahwa lebih baik ia mati terlebih dahulu karena ia merasa takkan sanggup hidup tanpa saya. Selama ini saya menganggapnya sebagai “rayuan”, namun melalui cerpen Stefanny ini saya menemukan pemahaman lain. Adakah yang dikatakan istri saya adalah sesuatu yang otentik dalam dirinya? Apakah istri saya sering bermonolog sebagaimana tokoh Maureen? Ending cerita ini sesungguhnya mudah ditebak, namun tiba-tiba saya jatuh cinta lagi, pada istri saya, tentu!
Zaim Rofiqi – Kamar Bunuh Diri: Kau tentu mengira ini tentang seseorang yang putus asa lalu bunuh diri. Tidak. Kau salah. Tidak ada kegelisahan si pelaku bunuh diri. Tidak ada leher yang terjerat dan tubuh yang tergantung. Malahan, tidak ada ada tentang bunuh diri. Ini tentang kematian, yang pasti akan menjemput tanpa ayal. O, tidak. Ini bukan tentang kematian. Siapa mampu bercerita tentang misteri mati? Zaim bercerita begitu detail tentang kamar, orang-orang, wajah si mayat, pintu, jendela dan lain-lain, namun tidak tentang mati itu sendiri. Memang semuanya akan begitu mudah dengan adanya dalih, namun siapa mampu menyibak tabir kematian?
A.S. Laksana – Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis: A.S. Laksana membuktikan dirinya seorang petutur yang piawai. Cerpennya tampak penuh main-main, ia berhumor di sana-sini, ia secara nakal mengalahkan Tuhan dalam sebuah pertarungan. O, tidak. Tentu saja, Tuhan tidak pernah kalah sebagaimana nasib selalu menang atas diri manusia. Ini hanya soal interpretasi untuk menghibur diri sendiri. Ini salah satu cerpen yang menghibur dibaca, yang pada bagian akhir cerita, lagi-lagi A.S. Laksana dengan bandelnya menghadirkan tokoh aku entah darimana dan apa urusannya.
Zelfeni Wimra – Bila Jumin Tersenyum: Ini cerpen yang paling singkat, dan namun bukan karena itu kebetulan ia ditempatkan di halaman paling buncit. Cerita yang singkat, mengalir efisien, cukup tangkas, namun menyampaikan pesan yang padat, rumit dan menggelitik. Tentang Pak Ustadz Jumin yang harus memilih untuk memenuhi permintaan jamaahnya atau uang kuliah anaknya. Sang cerpenis mengakhiri cerita dengan pilihan yang hidup, manusiawi dan jauh dari klise. Selamat!
Masih ada 13 cerita lain yang tak kalah memikat. Predikat terbaik bisa diperdebatkan panjang lebar. Tapi apalah artinya sebuah perdebatan?
Maret 2010